Episode delapan belas

338 32 0
                                    

Aku pernah membaca sebuah buku, jika otak atau pikiranmu terlalu banyak pikiran negatifnya, maka tumpuklah pikiran negatif itu dengan pikiran positif sebanyak-banyaknya. Agar pikiran negatif tadi, menghilang dari otakmu. Dan aku mencoba untuk menerapkannya.

Paska lamaran yang kutolak--tepatnya Aku yang ditolak, aku melakukan hal-hal kecil, yang kuanggap bisa membunuh pikiran negatif yang akhir-akhir ini, berseliweran di kepalaku. Gagalnya mendapatkan pekerjaan membuat hampir separuh hatiku, mempertanyakan kenapa bisa begini dan begitu? Apa yang salah, yang membuat tak satupun lamaran itu nyantol di perusahaan lain?

Apalagi, hampir sebagian teman-teman semasa kuliah, juga sudah mulai mendapatkan pekerjaan impian mereka. Walau banyak juga yang lebih memilih melanjutkan S2. Mereka saling bertanya kabar, dan akan membantu mencarikan info lowongan pekerjaan kepada teman-teman yang membutuhkan.

Dan disetiap persyaratan lamaran yang menerapkan 'harus berpenampilan menarik' membuatku sudah insecure duluan. Alarm ditolak sudah memasang siaga satu. Tak dipungkiri, jika beberapa perusahaan menolak mempekerjakan orang sepertiku. Sebagai perusahaan besar, penampilan pasti menjadi salah satu tolak ukur--meski ada juga perusahaan yang tidak begitu ambil pusing--yang harus mereka pertimbangkan. Mengenakan jilbab yang hampir menutupi setengah badan, seharusnya aku sadar diri, jika tempatku bukan di sana.

Aku juga kembali aktif membuka les yang sempat tersendat karena fokusku terbagi karena masalah pekerjaan, Pak Hasan dan tim DONAT yang tetap aktif. Kabar baiknya, kegiatan ini semakin terasa seru dan menyenangkan. Hasil dari infaq atau sedekah yang kami peroleh, ternyata sangat membantu untuk anak-anak yang memang membutuhkan biaya untuk pendidikan mereka, juga, kami sudah menerapakan sedekah juma'at yang diadakan setiap hari jumat berupa makanan dan minuman, lalu diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan.

Rencananya, nanti kami juga akan memberikan sedekah berupa Al-quran dan mukena serta baju koko untuk disumbangkan ke rumah-rumah tahfiz ataupun panti asuhan yang memang membutuhkan bantuan. Ada rasa haru tersendiri yang menggelitik di ruang hatiku, tatkala apa yang kulakukan bisa bermanfaat untuk orang lain. Terutama untukku sendiri.

Sedekah itu menghalangi kita dari mati su'ul kotimah.

"Sini, biar Nia yang pegang, bu!" Aku meminta kantong belanjaan Ibu yang terlihat lumayan berat. Alih-alih memberikan, Ibu menolak. Dan melanjutkan perjalanan mengitari mall yang terlihat ramai dikunjungi orang-orang.

"Sudah lama kita gak, ke Mall, ya?" Tanya Ibu yang kubalas anggukan.

"Memangnya, bapak gak mau di ajak jalan-jalan ke Mall, bu?" Tanyaku iseng. Bersisian di sampimg Ibu yang celingukan memperhatikan toko-toko yang menjual beragam kebutuhan.

Ibu tertawa. "Bapak itu tipe anak rumahan, Nia. Pulang kerja, ya, di rumah! Mana mau di ajak jalan-jalan begini. Jadi ingat waktu Ibu hamil kamu. Kandungan Ibu waktu itu udah masuk trisemester tiga. Selama hampir lima bulan lebih Ibu bed rest total, pas udah bisa kemana-mana, Ibu ingin banget keluar jalan-jalan. Ngajak bapak kamu ceritanya. Ehh, bukannya mau diajak, malah Ibu disuruh tenang-tenang di rumah dengan dalih disuruh jaga kesehatan, takut Ibu sama kamu kenapa-kenapa." Kenang Ibu, sambil tersenyum bahagia.

"Berarti bapak romantis juga ya, Bu? Walau dengan cara yang berbeda?" Ibu mengangguk.

Bapak adalah tipe laki-laki yang menurutku apa adanya. Gak terlalu suka pencitraan dan irit bicara. Tapi bukan berarti bapak sombong. Bapak juga tidak sungkan untuk mengemukakan pendapatnya. Di komplek, bapak sudah sering diminta untuk jadi ketu RT atau pengurus masjid. Dua-duanya bapak tolak, takut tidak amanah nantinya.

Aku masih tetap melanjutkan pembicaraan kami, sambil mengenang masa-masa dulu. Dan sekonyong-konyong, di depan aku dan Ibu, lebih kurang lima puluh meter kalau tidak salah, Aku melihat bu Hafsah tengah berdiri menghadap ke samping. Dia menatap toko baju di depannya. Sementara di belakangnya ada tempat duduk untuk istirahat sejenak. Tangan bu Hafsah terlihat memegang kakinya. Sedikit membungkuk sebelum akhirnya memutuskan duduk. Jadi ingat pembicaraan kami waktu itu, tentang kakinya yang sakit.

Ibu menyadari saat aku tak melanjutkan langkah. Memutar mata, ke arah yang sama denganku.

"Siapa, Nia?" Tanya Ibu.

"Dosen Nia, bu!" Lirihku.

"Kenapa tidak disamperi aja!" Ibu akan menggamit lenganku, namun buru-buru kutahan. Wajah Ibu menyiratkan tanda tanya. Aduh, bagaimana kalau bu Hafsah bercerita dan bertanya tentang email yang dikirmnya tempo hari? Apa yang akan kujawab? Bahkan Aku belum membukanya. Memberitahu Ibu juga belum.

"Nia!" Panggil Ibu, lebih keras. Tak punya pilihan, Aku mengajak Ibu mendekati bu Hafsah. Beruntung, bu Hafsah memang dosen yang punya sensifitas yang kuat. Begitu kami mengayun langkah, bu Hafsah sudah melihat Aku dan Ibu dari kejauhan.

"Nia?" Tegurnya tak percaya, menoleh pada Ibu.

"Iya, bu! Ini, Bu kenalkan, dosen pembimbing Nia, bu Hafsah. Dan ini Ibu Nia, bu." Aku memperkenalkan mereka berdua.

"Nggak nyangka bisa ketemu dosen Nia di sini." Ucap Ibu basa-basi. Bu Hafsah mengangguk. Tersenyum.

"Iya, bu. Saya lagi sama anak saya ke sini. Nggak tahu sekarang dia di mana. Katanya tadi mau cari sesuatu gitu. Karena kaki saya udah duluan sakit, saya milih duduk di sini saja, sambil menunggu."

Ibu seperti paham apa yang dirasakan oleh dosenku. "Wah, berarti masalah kita para orang tua ini, sama saja ya, bu? Sakit kaki, pinggang, reumatik, asam urat, punggung pegal..." celoteh Ibu yang dibenarkan bu Hafsah.

"Iya, bu. Mungkin karena sudah terlalu lama dipakai, makanya sakit." Celoteh bu Hafsah riang.

Ibu tertawa. Lalu menoleh ke arahku. "Nia, katanya tadi mau ke toko buku. Kalau gak salah ada di lantai atas, kan? Kalau kamu yang pergi sendiri, gak apa-apa, kan? Mumpung Ibu ada temannya, biar Ibu di sini saja." Kalimat Ibu sukses membuatku tercenung beberapa saatnya.

"Oh, baiklah kalau gitu." Jawabku gugup. Tak pernah terpikirkan apa yang akan diceritakan bu Hafsah kepada Ibu nantinya kalau mereka duduk berdua seperti ini. Akankah Ibu menerorku dengan berbagai pertanyaan nantinya setelah mendengarkan cerita dari mulut bu Hafsah?

Gontai, kuayun langkah menaiki eskalator, lalu berjalan ke arah toko buku yang cabangnya tersebar dimana pun di seluruh Indonesia.

Aku memang berniat ke toko buku, tapi niat itu mendadak menguap setelah bertemu bu Hafsah. Cap anak yang tidak sportif memenuhi ruang kepalaku. Tanpa sadar aku berjalan seperti orang bingung, dan terhenti tepat di depan rak buku yang menyajikan semua hal berbau pernikahan dan parenting.

Aku menatap barisan buku dengan beragam judul dengan bingung. Kenapa bisa sampai di sini? Pikirku? Sebuah judul tentang pernikahan membuat tanganku menggapainya, membalik badan buku dan membaca catatan singkat tentang isinya di sana.

"Mas, buku tentang fikih pernikahan sama psikologi pernikahan masih ada, gak?!" Tanya sebuah suara yang terdengar berat. Aku yang membaca buku yang dicarinya mengerutkan kening. Bukankah ini buku yang dia maksud?.

"Sebentar ya, Pak. Saya cek dulu di komputer. Mungkin masih ada di gudang." Jawab pramuniaga yang juga laki-laki itu, melangkah pergi.

Aku menimbang, apa sebaiknya aku berikan saja buku ini kepada laki-laki itu? Toh, aku juga cuma melihat-lihat. Tidak berniat membeli. Hmmp, baiklah, akan kusodorkan saja buku ini ke tangannya, lalu segera pergi.

"Mungkin ini buku yang Bapak cari--" aku menyodorkan buku di tanganku ke hadapannya. Namun, semua terasa berhenti berputar saat kutahu orang  yang mencari buku yang ada di tanganku adalah...

Ahmad Yahya!
Pemilik Yayasan Ahmad Yahya.

Walau tidak intens bertemu dengannya, tapi aku tahu seperti apa raut wajahnya. Tidak susah menemukan wajahnya di dunia maya, terlebih dengan segudang kedermawanan yang dia punya. Siapa saja pasti ingin mengabadikan wajahnya di kamera mereka.

"Jazakillahu khairan.." seperti tersadarkan oleh ucapan terima kasihnya, aku mengangguk kikuk.

"Waiyyaka..." balasku, mengangguk sedikit, lalu bergegas pergi. Samar-samar Aku mendengar Pramuniaga tadi berbicara dengan Ahmad Yahya.

"Oh, sudah ketemu ya, pak? Kebetulan di gudang juga habis. Hanya ada psikologi pernikahan.."

Setelah itu aku tidak mendengar apa-apa lagi, karena buru-buru keluar dari toko buku. Dan anehnya, aku bukan berjalan ke tempat Ibu menunggu. Justru berbelok ke toilet yang arahnya jelas-jelas berlawanan.

00000

KITA ISTIMEWA DENGAN CARANYA MASING-MASING ( Selesai)Where stories live. Discover now