Episode empat

541 42 1
                                    

Hari-hari selanjutnya, aku hanya menunggu panggilan wawancara dari beberapa lamaran yang sudah kukirim. Namun, hingga satu bulan menunggu, email-ku tak kunjung menerima balasan. Akhirnya, setelah bosan menunggu aku memutuskan mulai membuka les-lesan untuk anak-anak SD dan SMP di sekitar komplekku.

Dulu, sebelum disibukkan dengan skripsi dan persiapan wisuda, aku memang mengisi waktu luangku dengan mengajarkan anak-anak les. Berawal dari satu anak, berlanjut hingga delapan anak. Tiga diantaranya adalah anak SMP. Dan ide kembali membuka les muncul saat salah satu tetangga komplekku datang berbelanja ke kedai Ibu, menanyakan apakah Aku tidak berniat lagi membuka les untuk anak-anak sekolah?

Aku yang saat itu sedang di ruang tamu, serta merta meloncat ke luar dan menyanggupi permintaan Ibu itu. Jadilah Aku kembali mengajarkan anak-anak tetanggaku dua hingga tiga kali seminggu.

Ibu sedang ke pasar, saat pintu pagar rumahku didorong oleh seseorang. Membuka pintu, Aku berlari melihat siapa yang datang. Bapak masih lama pulangnya. Sementara Ibu, baru setengah jam pergi ke pasar. Belum ada tanda-tanda akan pulang cepat.

Nyaliku langsung ciut begitu melihat siapa yang datang. Uwak Fitri--kakak Ibu, dengan gaya khasnya mendorong pintu pagar. Aku berlari menyambut kedatangan beliau. Dengan misuh-misuh uwak Fitri menyalahkan pintu pagat rumahku yang sedikit susah didorong.

"Besok suruh bapakmu ganti pagar, Nia! Masak iya, udah lima belas tahun tinggal di sini, gak sanggup juga ganti pagar. Minimal dipoles sama oli kek, biar lancar." Cecarnya sembari masuk ke dalam rumah.

"Ibumu kemana?" Tanyanya saat melihat rumah sepi.

"Ke pasar, wak." Jawabku mengambil tangan uwak, dan menyalaminya.

"Nih, uwak bawa oleh-oleh untuk kalian. Semalam Diana baru pulang dari Singapura, perdin." Beritahunya. Entah sengaja memanasiku, aku mengambil kantong plastik hitam dari tangan uwak Fitri. Ohya, Diana adalah anak bungsu uwak Fitri. Usianya dua tahun di atasku. Seperti yang uwak Fitri katakan, Diana memang bekerja di perusahaan multinasional yang induk perusahannya berada di Singapura. Jadi tidak heran jika ke Singapura bagi Diana ibarat orang ngacir sebentar ke toilet untuk buang hajat.

"Jazakallahu khairon, ya, wak. Bilangin ama teh Diana oleh-olehnya sudah Nia terima. Semoga rezeki teh Nia semakin lancar, dan makin sering ngasih oleh-oleh." Candaku, membuat uwak Fitri mencibir.

Aku berlari ke dapur, menyiapkan minuman untuk uwak Fitri. Karena penyakit gula yang dideritanya, aku menyajikan uwak Fitri teh manis dengan gula jagung. Hal yang harus selalu ada di lemari dapur jika sesekali uwak Fitri berkunjung.

"Gimana lamaran kerja kamu? Udah ada yang tembus belum?" Tanya beliau, begitu aku duduk di dekatnya.

"Belum, wak."

"Kenapa? Kok belum tembus juga? Sekarang lagi buka lowongan pekerjaan besar-besaran. Seharusnya kamu lebih jeli dong, melihat peluang. Masa iya, udah hampir dua bulan belum ada kabar kamu bekerja? Dulu..."

Aku tahu lanjutannya. Diana selalu giat berusaha mencari pekerjaan. Entah berapa lama dia sering di depan laptop mengisi lamaran, sampai-sampai uwak khawatir sama kondisi Diana. Takut dia sakit. Tapi, sekarang buktinya apa? Diana jadi sukses, kan? Dia diterima bekerja di perusahaan yang gajinya dibayar pakai dolar. Bahkan, uwak udah beberapa kali bolak-balik ke Singapura.

Aku hanya diam mendengarkan uwak Fitri bicara. Kenapa aku hapal dengan lanjutan kalimatnya? Karena, hampir disetiap pertemuan keluarga uwak Fitri akan mengeluarkan pidato andalannya ini kepada siapa saja anak keponakannya yang baru lulus kuliah. Dan kebetulan sekarang aku yang jadi korbannya.

"Kalau kamu belum dipanggil, uwak bisa minta Diana atau Didi untuk mencarikan pekerjaan untuk kamu, Nia. Tapi ya, jangan berharap banyak. Apalagi kamu fresh graduate. Pengalaman kamu masih minim. Dikasih gaji kecil, ya terima saja dulu." Celotehnya.

KITA ISTIMEWA DENGAN CARANYA MASING-MASING ( Selesai)Where stories live. Discover now