Episode enam belas

334 31 0
                                    

Lalu, apakah Aku memikirkan permintaan bu Hafsah? Jawabannya belum. Bahkan setelah seminggu sesudah pertemuan kami. Aku belum memikirkannya. Ah, tepatnya tidak mau memikirkannya. Kalau memang jodoh, pasti Allah mudahkan. Toh, dari Bu Hafsah juga tidak menerorku untuk segera memberi jawaban kepada beliau. Menikah bukan seperti urusan bertanya, kamu mau makan bakso atau soto? Kamu tim bubur aduk atau bukan?

Marriage isn't as that simple.

Dan pembicaraan itu pun terlupakan segera. Dari pak RT aku mendapati kabar kalau pak Hasan dan anak bungsunya akan segera di operasi, karena sudah memenuhi persyaratan untuk layak operasi. Salah satunya dengan melakukan medical check up. Senang sekali rasanya bisa membuat senyum terukir di wajah pak Hasan, walau rasa takut dan cemas tetap tidak bisa pergi  dari wajahnya. Mungkin beliau takut dengan hasil akhir dari operasi yang beliau jakani sekarang. Mungkin juga bayang-bayang tidak bisa melihat anak-anaknya lagi berseliweran di pikiran pak Hasan.

Saat itulah, sebelum memasuki ruang operasi, Aku melihat pimpinan Ahmad Yahya itu berdiri di samping pak Hasan. Dia seperti memberikan semangat untuk pak Hasan. Berkali-kali kata-kata aamiin terucap dari bibir pak Hasan.

Hanya beberapa menit, sebelum akhirnya pak Hasan dibawa masuk ke dalam ruangan operasi, dan menghilang di balik pintu.

Mimi mencolek bahuku.

"Mimi pikir, seorang pimpinan itu pasti sudah tua, kak! Gak tahunya--" Mimi menunjuk dengan dagunya, tepat ke arah laki-laki bernama Ahmad Yahya itu. "Mana ganteng lagi!" Pujinya. Tanpa melepaskan bola matanya dari laki-laki yang masih--sepertinya selalu--mengenakan jas berwarna navy, dan celana di atas mata kaki.

Aku hanya membalas dengan seulas senyum, tanpa berniat memerhatikan laki-laki itu. Aku menarik Mimi keluar dari ruangan, berharap Mimi tidak terlalu intens menatap lawan jenis yang jelas-jelas bukan mahramnya.

Aku dan Mimi duduk di salah satu bangku tunggu yang menghadap ke arah instalasi farmasi. Tampak kerumunan di setiap kloter resep diserahkan. 

"Yang ini, kata Apotekernya di suruh tebus di luar!" Suara Ibu-ibu di sebelahku, berbicara kepada anak perempuannya. Setelah memasukkan plastik obat  ke dalam tas bahunya, ibu dan anak perempuan itu segera angkat kaki dari tempat mereka. Tak lama, tempat duduk mereka kembali di isi oleh orang lain lagi.

"Kak, Mimi ke toilet dulu, ya?" Aku mengangguk. Operasi pak Hasan diperkirakan selesai sekitar tiga jam lagi. Sementara operasi anak bungsunya masih dalam beberapa jam lagi. Aku mengedarkan pandangan menyapu sekitar instalasi farmasi. Tepat di salah satu tempat duduk yang berjarak sekitar sepuluh langkah dari tempatku, Aku melihat teh Diana tengah duduk seorang diri. Dia tampak memandangi kertas putih di tangannya.

Aku berniat menghampiri, tatkala tubuh teh Diana bangkit dan beranjak dari duduknya. Langkahku terhalang oleh segerombolan dokter koas yang masih muda, berseliweran di sepanjang jalan dengan stetoskop yang tergantung di leher mereka.

"Teteh!" Jeritku. Tapi suaraku dikalahkan oleh bunyi mikrofon dari instalasi Farmasi. Alhasil, saat sampai di lobi, teh Diana sudah masuk ke dalam mobilnya. Apa teh Diana sakit?.

"Kak Nia, nyari siapa?" Tahu-tahu Mimi sudah berdiri di belakangku.

"Tadi kakak melihat sepupu kakak di rumah sakit ini." Beritahuku. "Dikejar, malah pergi!"

"Buru-buru kali!" Celetuk Mimi asal, dan sayangnya hatiku membenarkan. Siapa tahu teh Diana hanya sedang menjenguk temannya, dan bergegas pergi karena banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikannya.

00000

Aku memutuskan pulang bersama Mimi, karena sesiang ini, Ibu sudah berpuluh kali meneleponku untuk segera pulang. Pamit kepada pak RT dan wakil pengurus masjid, Mimi membelah jalan raya yang terasa panas membakar kulit.

Sesampainya di rumah, Aku melihat uwak Fitri sedang duduk bersama Ibu di ruang tamu. Saling bercanda. Keakraban adik kakak itu terganggu, saat aku memberi salam.

"Sudah pulang, nak?" Ibu menegur. "Gimana operasi pak Hasan? Lancar?"

"Nia pulang duluan, bu. Nanti kalau selesai, dikabari pak RT." Jawabku, berjalan ke arah uwak Fitri dan menyalami beliau.

"Ini, uwak bawa oleh-oleh lagi! Kemarin Diana baru pulang dari Singapura." Cerita uwak Fitri menunjukkan sekotak coklat berbungkus kertas emas. Bangga. " si Diana itu benar-benar, deh! Baru pulang dari Singapura, udah berangkat lagi ke Surabaya, ada pertemuan. Mungkin sekarang udah sampai di bandara!" Beritahu uwak Fitri.

"Ke Surabaya? Ngapain, teh?" Tanya Ibu, menyodorkan cangkir berisi teh manis yang sudah tidak terlalu panas ke tangan uwak Fitri.

"Ya Kerja, atuh! Masak main-main! Diana itu emang tipe anak pekerja keras. Seumur ini saja sudah punya posisi keren! Gimana empat sampai lima tahun lagi, kan? Oh iya, sampai lupa! Nia, kata teteh kamu ada lowongan buat kamu, Coba kamu kirim CV kamu, ya?" Kata Uwak Fitri menatapku tajam. Lalu memberikan selembar kertas yang dilipat rapi. "Jangan lupa!" Tambahnya.

Tiba-tiba dering ponsel uwak Fitri memutus pembicaraan kami. "Yang diomongin, nelpon juga!" Cengirnya lalu menunjukkan nama Diana di layar ponselnya.

"Ya, Nak! Udah sampai di bandara? Oh, jam sebelas tadi?" Uwak Fitri melihatku. "Iya, udah Mama kasih ke Nia!" Ucapnya, "ya udah, kamu hati-hati ya, di sana, Nak! Apa?! Oh, oleh-oleh buat mama? Udah, jangan dibelikan lagi, kan tas sama baju yang kemarin aja belum dipakai," uwak Fitri terlihat sengaja meninggikan volume suaranya. Ibu tersenyum menatapku, seakan dalam hati berbicara 'jangan diambil hati ya, nak! Uwakmu kan, memang begitu?'.

"Iya, nih, Mama masih di rumah tante Ratna, apa?!! Bulan depan mau ke Eropa?! Apa?! Sama Mama?! Duh, yang benar?! Ya Allah, mama senang, nak! Makasih, yaaa...iya, iya, mama salamin, ahh, tante kamu mah ngerti kalau kamu gak datang, kan kamu sibuk! Iya, sama Nia juga, mama sampaikan! Nggak tahu, kayaknya masih belum kerja, kan susah atuh nyari kerja zaman sekarang!"

Aku berusaha menulikan telinga. Walau aku tahu tabiat uwak Fitri memang begitu, tapi kenapa tetap saja sakit rasanya mendengar omongan beliau?.

Pembicaraan Ibu dan anak itu akhirnya berakhir juga, bersamaan dengan langkahku yang memilih masuk ke dalam kamar, menutup pintu kamar rapat-rapat.

Ya Allah, apa sebegitu hinanya ya, tamat kuliah nggak langsung bekerja?!

"Nia, boleh Ibu masuk?!' Suara Ibu samar-samar terdengar dari luar pintu kamarku. Aku yang sedang menatap barisan kotak masuk email, hanya membiarkan gagang pintu diputar, seraut wajah teduh Ibu tersenyum menatapku.

"Uwakmu sudah pulang!" Beritahu Ibu, tanpa kuminta. Ibu menyentuh pergelangan tanganku. "Jangan diambil hati ya, Nia, omongan Uwakmu. Dia begitu juga karena dulunya pernah susah, pernah tidak sekolah. Sekali dapat anak yang bisa membuat dia bangga, uwak jadi terkesan melebih-lebihkan!" Tawa Ibu renyah.

Aku teringat tentang pembicaraan uwak dengan anaknya tadi.

"Apa teh Diana sekarang di Surabaya?!"

"Katanya sih, gitu." Aku manggut. Tidak mungkin Aku salah lihat, kan? "Aya naon?" Tanya Ibu.

"Oh, nggak, mungkin Nia salah lihat! Tadi di rumah sakit seperti melihat teh Diana."

"Salah kali!" Gumam Ibu.

Aku menggaruk kepalaku, "iya, bu. Mungkin Nia salah lihat! Lagian juga tadi lagi ramai orang di sana." Cengirku, membuat Ibu mengusap kepalaku.

"Geura salat heula, habis itu kita makan!" Seraya bangkit dari kasurku.

Seperginya Ibu, Aku hanya memandangi barisan tulisan yang berjejer rapi di kotak masuk email-ku. Sengaja ku tutup tadi, saat Ibu masuk agar beliau tidak melihat betapa banyaknya jawaban penolakan dari lamaran yang kukirim.

000000

02/12/2021

KITA ISTIMEWA DENGAN CARANYA MASING-MASING ( Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang