Episode tujuh belas

252 28 1
                                    

Jarum jam bergerak terasa lama sekali. Hampir lima belas menit keheningan melingkungi Aku dan perempuan dengan rambut panjang sebahu, yang duduk di hadapanku. Kami hanya dibatasi oleh meja yang isinya sedikit berserakan. Terlihat, begitu banyak tumpukan laporan di sisi kanannya. Kaca mata minus yang terlihat seperti kacamata gaya sedikit melorot dari hidungnya.

"Rania Rasyid, well, nilai kamu semasa kuliah cukup bagus juga ternyata, hmmph, pantas Diana bersikeras ingin kamu bekerja di sini!" Senyumnya sedikit asimetris. Matanya beralih menatapku. Seperti tatapan menyelidik.

"Kamu yakin, mau bekerja di sini? You know, di sini kita gak punya batasan antara laki-laki dan perempuan. I mean, perdin antar lawan jenis, meeting di hotel bareng kolega, bahkan di saat weekend-pun kita masih tetap harus bekerja. Twenty four hours in seven days, and sometimes we have to miss our comfort life! Lupa tidur, saking mendesaknya deadline yang harus dikejar!" Tekannya, seakan semua itu menakutkan.

Tangannya mengambil pena yang terletak di dekatnya. Memutar-mutarnya. "Di sini dunia majemuk, dimana agama terkadang hanya tertinggal di rumah. Apalagi dengan penampilan kamu yang saaangat tertutup like this. Can you make your customer impress with your that performance ?" Tanyanya tidak yakin. Menyipitkan mata. Aku melipat bibirku. Mencoba untuk tidak tersinggung dengan pendapatnya.

"Kamu bisa mencontoh Diana jika kamu ingin berhasil di dunia majemuk ini. Apalagi, di sini kita berurusan dengan pekerja-pekerja luar negeri yang sangat profesional. Bagi mereka brain, beauty, bahaviour and time management is important than everything! If you lost one, you'll die!" Serunya, menciptakan smirk di wajah putih mulusnya.

Aku bungkam. Dia menelengkan sedikit kepalanya sembari menyandarkan punggungnya ke kursi empuk di belakangnya. Menatapku, seakan pandangan matanya mampu menembus ke dalam pikiranku.

"Kamu smart! And I can see that. But, maaf jangan marah, akan sedikit mengganggu kalau kamu bekerja di sini dengan jilbab lebarmu itu!" Dia menghela napas, menarik punggungnya kembali menjauh dari kursinya. "Kalau kamu bisa merubah sedikiiit saja penampilanmu, mungkin kita bisa bekerja sama." Tutupnya.

Aku menghela napas. Menatap datar wajah tanpa dosa di depanku itu. Bagi sebagian orang, merubah penampilan demi posisi yang nyaman, itu bukan masalah. Tapi bagiku, merubah penampilan demi posisi yang nyaman, itu jelas masalah.

"So?! Could you--?"

Aku mengukir senyum tipis. "Maaf, mungkin tempat ini belum menjadi rezeki saya." Aku bangkit berdiri, menyalaminya dan berjalan menuju pintu keluar, dimana begitu banyak pegawai yang hilir mudik, dengan kertas-kertas di tangan mereka. Juga telepon yang tersampir di telinga, sementara tangan sibuk menekan keyboard laptop.

Gagal lagi.

00000

Aku sedang menatap layar laptop, saat notifikasi di laptopku memberitahukan ada email baru yang masuk beberapa detik yang lalu. Membuka email, aku terkejut menemukan nama pengirim email itu. Bu Hafsah. Ternyata bu Hafsah tidak main-main soal pembicaraan kami di restoran soto padang tempo hari.

Mendadak galau menyelimutiku. Antara ingin melihat isi email itu sama kuatnya dengan tidak ingin melihat. Akhirnya kuputuskan untuk tidak melihat dulu. Lagi pula, aku belum menceritakan perihal pertemuanku dan permintaan bu Hafsah kepada bapak dan Ibu.

"Nia," suara bapak menginterupsi pikiranku. Cepat kututup email itu, dan kembali ke layar utama.

"Ya, Pak! Masuk."

Bapak datang masih dengan baju kurtanya. Lalu memutuskan duduk di pinggir tempat tidurku.
"Ibu bilang, tadi kamu ikut wawancara, bagaimana hasilnya, Nia?"

"Gagal, pak." Jawabku, mengangkat bahu. "Mereka mencari karyawan yang mau merubah penampilannya, termasuk mengatur bagaimana cara berhijab, Pak." Ceritaku. "Nia gak bisa, Pak!" Aku menatap bapak. "Menurut bapak, Nia salah, nggak?"

Bapak membenarkan posisi duduknya. "Kenapa harus salah?"

"Yaaah, Nia seperti orang sombong saja, Pak. Udah dikasih posis bagus, malah ditolak. Apalagi, pekerjaan itu, teh Diana yang merekomendasikan. Nia merasa tidak enak hati saja, Pak." Aku memelankan suara. "Bapak tahulah, gimana uwak Fitri, kan?"

Bapak terkekeh mendengar Aku menyebut nama kakak kandung Ibu itu. Aku dan Bapak sudah tahu sama tahu, seperti apa karakter uwak Fitri tersebut.

"Kenapa harus tidak enak hati? Yang akan menjalankan pekerjaan itu, kamu. Yang diberi amanah itu, kamu! Lantas, kalau pekerjaan itu sudah menyinggung cara kamu berbusana, rasanya sah-sah saja kamu menolak, nak! Meskipun posisi itu sangat menjanjikan untuk karier kamu ke depannya!" Ucap Bapak, telak ke hatiku.

"Jadi, Nia gak salah, kan, pak, kalau menolaknya?" Mencari dukungan. Bapak menggeleng.

"Setiap kita, punya impian ingin bekerja seperti apa dan di tempat apa. Bahkan punya impian ingin mendapatkan gaji berapa. Yah, walau tidak semua bisa terpenuhi, tapi kita punya hak untuk menjaga hati dan iman kita tetap bersih, nak. Untuk apa punya gaji besar, posisi bagus, tapi setiap hari kita selalu bersinggungan dengan yang namanya dosa? Memang yang kasih kita rezeki, siapa? Lantas karena mengharapkan imbalan besar dan posisi nyaman, kita melawan yang maha pemberi rezeki?" Bapak menggeleng.

"Tidak bisa dipungkiri, campur baur dengan lawan jenis sekarang ini, memang tidak bisa dihindari nak! Laki-laki dan perempuan sama-sama ingin memiliki kontribusi yang sama besar dalam kehidupan mereka. Tapi, kita, kamu terkhususnya, punya hak untuk tetap menjaga diri kamu dari dosa ikhtilat, Nia! Lupakan posisi nyaman, jika yang kita lawan adalah yang maha pemberi rezeki, sekaligus yang bisa menurunkan azab juga!"

Bapak mengusap kepalaku. "Bapak sudah pernah bilang, kan? Perempuan itu tidak wajib mencari nafkah, nak! Yang wajib itu hanya laki-laki. Karena nanti, mereka akan menjadi qawwam untuk keluarganya. Tapi, jika pekerjaan itu darurat dan hanya bisa dilakulan oleh perempuan, maka tidak masalah jika perempuan ingin bekerja. Dengan syarat harus atas izin dari suami atau pun mahramnya." Jelas bapak.

"Sia-sia dong, ilmunya, Pak!" Bapak tertawa keras mendengar ucapanku.

"Tidak ada namanya Ilmu yang sia-sia itu, Nia. Memangnya, hanya orang yang akan bekerja saja yang boleh kuliah? Terus Ibu rumah tangga yang dua puluh empat jam mengurus rumah, tidak boleh? Kalau tidak punya ilmu, bagaimana seorang Ibu bisa mendidik anak-anaknya? Katakanlah, dia seorang sarjanan di bidang ekonomi. Setelah menikah, dia tidak bekerja lagi. Lalu, apa ilmunya sia-sia? Tidak, nak. Mungkin belum terpakai saat sekarang. Siapa tahu, tahun-tahun berikutnya dia malah punya usaha sendiri, dan ilmunya pun jadi terpakai."

"Tidak pernah ada yang sia-sia di dunia ini, Nia. Allah sudah tempatkan semuanya sesuai porsinya. Tinggal bagaimana kita yang harus menjalaninya lagi."

Malam ini, aku mendapatkan pencerahan dari bapak. Sekali lagi, bapak bisa memberiku penjelasan tanpa membuatku menjadi anak yang tidak bersyukur. Bapak, dengan segala kelembutan dan sikap bijaknya, mampu menjadikan Aku berpikir ulang, bahwa setiap kita berhak atas pilihan hidup yang baik. Bukan semata-mata demi mengejar dunia.

Ah, bapak. Selalu menenangkan setelah bercerita dengan beliau. Semoga Allah, panjangkan umur beliau, agar baktiku menjadi lebih lama dan panjang. Agar bapak bisa melihat, betapa bagusnya nasihat yang dia berikan untukku--anak semata wayangnya ini.

00000







KITA ISTIMEWA DENGAN CARANYA MASING-MASING ( Selesai)Where stories live. Discover now