Episode dua puluh

389 40 0
                                    

Aku mengelus kepala anak perempuan yang duduk di kelas dua sekolah dasar itu, tatkala Ibunya yang baru pulang bekerja, menjemput.

"Makasih, kak Nia!" Serunya, sambil melambaikan tangan. Aku ikut membalas lambaiannya hingga mobil yang membawa mereka menghilang dari pandangan.

"Wah, Nia, kenapa kamu gak rutin aja buka les untuk anak-anak di sini? Saya lihat, banyak yang senang belajar sama kamu!" Celetuk salah satu tetanggaku yang kebetulan sedang berbelanja di kedai Ibu.

"Takut gak konsisten, bu! Nanti kalau saya dapat kerjaan, gimana? Anak-anak yang lain kan, jadi terbengkalai. Mending sedikit aja, yang penting tuntas!"

"Wah, berarti sudah dapat panggilan kerja, dong?" Tanyanya, membuatku terdiam.

"Belum sih, bu! Baru nunggu panggilan saja!" Sambil menggigit bibir. Tetanggaku itu mencebik. "Susah juga ya, kamu nyari kerjaannya, Nia? Kenal Rahma kan, anak pak RT, diakan sebaya kamu, baru sebulan ini juga udah dapat panggilan kerja. Kabarnya udah seminggu ini masuk kerja!" Celotehnya, membuatku hanya bisa membalasnya dengan senyuman tipis.

"Namanya juga rezeki kan, beda-beda, bu! Belum tentu juga Nia gak dapat kerjaan selama-lamanya! Mungkin Allah punya rencana lain misalnya, untuk Nia! Umm, nikah misalnya!" Ibu yang sedari tadi sibuk memasukkan minuman dingin ke dalam show case ikut berkomentar.

"Ibu!" Pekikku, mendengar jawaban Ibu yang mengundang reaksi dari tetanggaku ini.

"Wah, yang benar bu Ratna? Nia udah ada yang lamar? Ah, bu Ratna jangan bercanda atuh, masak iya, baru tamat sekolah udah di suruh nikah? Bukannya urutannya sekolah, kerja, bahagiakan orang tua dulu, bikin rumah, baru mikirin nikah?!"

Ibu tertawa. "Siapa bilang, bu? Itu urutan cuma akal-akalan manusia aja. Kalau memang jodohnya sudah ada, baik dari segi agama, bertanggung jawab, dan dengan menikah rezeki semakin lancar, kenapa tidak? Toh, gak dosa ini nikah muda! Saya juga dulu nikah muda! Aman dan bahagia kok, saya! Meski cuma bisa jualan di kedai kecil ini, alhamdulillah Nia masih tetap lanjut kuliah." Jelas Ibu panjang lebar. Aku ternganga mendengar Ibu yang biasanya lebih suka diam dan tidak terlalu ikut campur, tiba-tiba jadi ikut menyela.

"Eh, gitu ya, bu Ratna?!" Tetanggaku itu terlihat kikuk mendengar ucapan Ibu. Setelah selesai dengan urusannya, dia langsung bergegas pulang. Menyisakan Aku dan Ibu yang saling pandang dan tersenyum.

"Bu, kok tumben?" Godaku, menggamit lengan Ibu.

"Tumben gimana?!"

"Itu, tadi! Sampai bilang Nikah segala!" Aku terkikik.

"Nanti juga kamu bakalan Nikah, kan, Nia?" Tatap Ibu dalam. Entah mengapa Aku merasa ada sesuatu yang disembunyikan Ibu dariku. Itu terlihat dari guratan wajahnya yang terlihat berpikir keras.

"Nia, duduk sini, deh!" Pintanya, menghempaskan tubuh di kursi panjang di teras depan. Siang terasa sangat terik, membuat hanya segilintir orang yang berjalan hilir mudik di jalan di depan rumah. Aku ikut duduk di samping ibu. Mencoba menerka apa yang akan dikatakan Ibu.

Hening.

"Sebenarnya, Ibu gak mau membicarakan ini sekarang. Ibu mau sampai kamu yang benar-benar siap dan mengatakannya sendiri ke Ibu dan bapak. Tapi, setelah ngomong sama bapak, dan gak pantas juga masalah ini disimpan lama-lama, makanya Ibu ingin mengajak kamu bicara." Ibu terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya melanjutkan bicara lagi.

"Kamu ingat, waktu kita ke Mal dan bertemu dosen pembimbing kamu?" Walau aku tahu cerita ini akan sampai ke telinga Ibu juga. Aku mengangguk. "Dosen kamu bercerita banyal hal, termasuk bagaimana dia menyukai kamu terlepas sebagai anak didiknya. Ternyata dosen kamu, membicarakan soal...intinya, dia mau kamu dan anak laki-lakinya saling mengenal, dan syukur  jika bisa membangun rumah tangga."

KITA ISTIMEWA DENGAN CARANYA MASING-MASING ( Selesai)Where stories live. Discover now