Episode delapan

345 34 1
                                    

Aku dan Mimi pulang dalam keheningan yang membuat kami tak sanggup berkata-kata. Jalan pulang terasa sangat menyesakkan untukku. Kusisir perumahan warga melalui mataku. Betapa ironinya hidup ini. Disaat ada orang yang sedang sibuk memencet-mencet tombol hp untuk membeli sesuatu di market place. Di tempat lain, ada orang yang bahkan untuk makan saja susah.

Disaat orang-orang bisa tidur dengan nyenyak tanpa takut diterpa hujan deras dan bunyi petir. Ada orang yang di rumahnya harus rela tidak tidur demi menampung air hujan yang kian deras masuk melalui celah-celah atapnya yang berlobang.

Disaat ada yang dengan mudah membuang uang hanya untuk mendapatkan surat izin sakit karena malas bekerja. Di tempat lain, ada orang yang bahkan untuk pergi ke rumah sakit dengan persyaratan sederhana saja tidak mampu.

Lalu, seperti apa hidup yang adil itu, jika disekitar warga komplek ini, hidup sebuah keluarga yang tidak mendapatkan bantuan apapun juga? Kemana perginya kejelian mereka dalam mencari data-data warga? Kenapa warga di komplek lain bisa mendapat bantuan komplek sini, sementara pak Hasan yang jelas-jelas masih warga komplek ini tak mendapatkan apa-apa?

Kemana bantuan yang digelontorkan pemerintah, jika yang susah seperti pak Hasan bisa luput dari pandangan?

Inilah dunia. Dengan segala sisi baik dan buruknya. Akan selalu ada pro dan kontra dalam setiap kehidupan. Tinggal kita yang memilih mau memilih yang mana.

00000

Aku melewatkan makan malam karena sibuk membuat proposal untuk diajukan kepada pak RT dan pengurus masjid untuk melakukan pemungutan infaq setiap dua kali seminggu. Setelah mencetaknya dengan mesin printer sebanyak lima rangkap, aku melipatnya dan menyimpannya ke dalam amplop putih. Besok Lia dan yang lainnya yang akan bertemu dan bicara dengan pak RT.

Aku? Entahlah. Aku seperti tidal yakin jika dana yang terkumpul akan bisa menolong pak Hasan. Melihat dari beragam kesusahannya, begitu banyak dana yang harus dikumpulkan. Aku harus mencari cara lain. Ya, meminta dana dari pengusaha-pengusaha muslim yang dermawan.

Tanganku kembali menari di papan komputer. Setelah besok Lia mendapatkan persetujuan dari pak RT secara tertulis yang ditanda tangani dan diberi matrai, maka aku akan mencari orang yang bisa membantu pak Hasan.

Ya, pasti ada jalan.

Selalu libatkan Allah dalam setiap keputusan.

Keesokan harinya, setelah mendapat persetujuan dari Pak RT dan kepala pengurus masjid, serta diketahui oleh ketua remaja masjid, aku memulai rapat kecil di pustaka yang terletak di samping masjid. Tidak seperti saat datang ke rumahku. Sekarang anggota yang hadir mencapai dua belas orang. Sebuah kemajuan yang baik. Sepertinya cerita pak Hasan menyentil nurani mereka.

"Jadi, kita akan bergiliran meminta donasi setiap minggunya." Jelasku. "Dalam satu minggu dilakukan oleh orang yang sama. Akan ada dua orang yang pergi mengambil donasi. Karena tidak mungkin dibebankan pada orang yang sama terus menerus. Mengingat kita punya kesibukan masing-masing."

Lia mengangkat tangan. "Pak RT juga sudah mengabari saat salat berjamaah dan istri beliau saat wirid ibu-ibu perihal infaq dua kali seminggu ini. Jadi, insya Allah tidak akan ada yang merasa tidak diberitahu." Jelas Lia. Aku mengangguk.

"Alhamdulillah kalau begitu"

"Kalau donasinya sudah terkumpul apa akan kita berikan langsung pada pak Hasan?" Tanya suara yang lain.

"Menurut kepala remaja masjid, donasi itu nanti akan dikumpulkan bersama infaq setiap hari. Lalu akan dibagi rata dengan kaum dhuafa yang lain." Timpal Mimi, yang bicara langsung dengan ketua remaja masjid.

KITA ISTIMEWA DENGAN CARANYA MASING-MASING ( Selesai)Where stories live. Discover now