Episode dua

645 42 1
                                    

Send.

Aku melepaskan tanganku dari kursor laptop. Setelah berjibaku seharian dengan seabrek lamaran pekerjaan, aku memutuskan menyudahi kegiatanku untuk hari ini. Sepuluh lamaran sudah kukirim melalui email.  Dan sisanya, sekitar tiga amplop akan aku kirimkan melalui jasa ekspedisi. Esok harinya.

Setelah hampir dua minggu terperap di rumah. Aku mulai memutuskan untuk mencari pekerjaan. Beberapa teman di grup telegram dan wa juga mulai sibuk mengirimkan lamaran mereka. Semua saling bertukar kabar agar masing-masing kami saling mendapatkan informasi.

Yani juga bercerita kalau dia sudah mengirimkan lamaran pekerjaannya melalui email. Karena aku dan Yani berbeda jurusan dan fakultas, maka aku tidak berharap banyak informasi dari Yani. Gadis itu berniat melamar pekerjaan ke perusahaan periklanan dan penerbitan. Salah satu perusahaan penerbitan itu adalah yang terbesar dan terkenal di Indonesia. Yani ingin melamar sebagai copy writer.  Selain pintar bicara, Yani juga sangat lihai dalam dunia tulis menulis. Beberapa kali, tulisan Yani ikut nangkring di media cetak maupun media online. Bahkan, Yani juga sudah mempersiapkan buku pertamanya yang merujuk tentang rendahnya literasi di Indonesia.

Ah, Yani memang beruntung. Belum diterima bekerja saja, dia sudah bisa menghasilkan pundi-pundi. Sementara Aku? Astaghfirullah. Aku menggelengkan kepala saat setan mulai menjarah isi kepalaku dengan pikiran buruk.

Manusia itu istimewa dengan caranya sendiri

Aku menatap kalimat singkat yang kujadikan pemyemangat saat kekufuran melanda. Lalu sebuah tulisan tanganku sendiri, surat Al-insyirah ayat empat dan lima.

Sesungguhnya dibalik kesusahan itu ada kemudahan.

Ya, Aku tidak boleh lemah dan menyerah. Allah tidak pernah meminta hambanya untuk lemah. Tapi Allah selalu menyuruh hambanya untuk senantiasa bersyukur dan ikhtiar. Kalau sekarang belum, bukan berarti tidak. Hanya saja waktunya yang belum tepat.

Selain lamaran pekerjaan, aku juga dirungsingkan dengan pesan-pesan nakal dari grup keluarga pihak Ibuku. Benar dugaanku. Sehari sesudah Aku wisuda. Uwak  Fitri mulai melancarkan aksinya. Dalam hitungan sepersekian menit, isi chat di grup keluarga sudah tidak terhitung banyaknya. Selain mengucapkan selamat, tentunya, para uwak-uwakku memgomentari dandananku yang menurut mereka biasa-biasa saja. Bahkan ada yang memarahiku karena tidak meminta tolong kepada mereka agar bisa didandani.

Aku mengabaikan pesan yang bernada menyudutkan, dan menggubris yang mengucapkan selamat atas wisudaku. Bukan apa-apa. Aku sudah kenyang dengan segala macam sindiran dari keluarga Ibuku. Entah itu karena pakaianku yang menurut mereka tak biasa. Maaf, bahkan ada yang bilang aku seperti teroris ( aku hanya bisa menghela napas untuk yang satu ini). Entah itu karena pergaulanku yang tidak sesuai dengan gaya hidup mereka dan keluarga mereka. Bahkan, uwak Fitri pernah mencibirku tatkala aku tidak mau membuka hijabku di depan suaminya dan anak laki-lakinya. Gara-gara keteguhanku itu, aku sampai jadi trending topik di grup keluarga. Sudah seperti twitter saja.

Sayup-sayup azan Asar berkumandang syahdu dari mesjid dekat rumahku. Tanpa menunggu lagi, aku segera bangkit dari duduk. Melangkah menuju kamar mandi untuk menunaikan kewajiban. Entah mengapa, hatiku tenang ketika air wudhu menyentuh kulitku.

Sungguh, Allah Maha Besar.

000000

Hanya ada kami bertiga di meja makan. Bapak, Ibu dan Aku. Ya, aku adalah anak satu-satunya dari Bapak Rahman Rasyid dan Ibu Ratna Cempaka. Menjadi anak tunggal, membuatku menjadi satu-satunya bahan topik hangat dari kedua orang tuaku. Seperti saat ini, dikala azan maghrib telah lewat, dan kaum laki-laki telah pulang dari masjid, Bapak membuka topik percakapan kemana aku mengirimkan lamaran kerja hari ini.

"Bapak sih, gak masalah kalau kamu belum mau cari kerja sekarang. Santai aja dulu, Nia. Baru juga dua minggu kamu lulus." Ucap Bapak begitu meneguk air putih yang diberikan Ibu. "Nikmati masa-masa liburmu. Siapa tahu kamu mau jalan-jalan kemana gitu, sama siapa itu..., teman dekatmu?" Bapak kesulitan mengingat nama Yani. Ya, dari sekian teman, hanya Yani yang sering kuajak ke rumah di luar dari teman komplekku.

"Yani maksud Bapak?"

"Nah, itu dia! Namanya lokal, kok Bapak bisa lupa terus, ya?" Kekeh bapak, membuatku tergelak.

"Abang, aja yang nggak niat mengingat Yani. Kalau Ratna mah, sekali dibawa Nia tiga tahun yang lalu juga langsung ingat." Protes Ibuku dengan nada lembut.

"Ah, yang benar? Perasaan kamu juga suka lupa!"  Bapak tak mau disalahkan. Membuat adu mulut mereka jadi tontonan keseharianku. Alih-alih aku  yang dijadikan topik mereka, justru mereka yang jadi tontonanku.

"Itu masalahnya, Pak. Yani sudah melamar pekerjaan juga. Teruss, dia juga lagi mempersiapkan buku pertamanya." Beritahuku.

"Jadi penulis, ya?" Tanya Ibu. Aku mengangguk.

"Ya baguslah. Kalau gitu kamu liburan ke Padang aja, Nia. Ketemu sama tante-tante kamu di sana." Usul Bapak menyebutkan asal kampung halamannya.

"Ya, Nia mana bisa sendiri ke sana, Pak. Mana bahasanya aja Nia gak ngerti." Bapak tertawa.

"Makanya belajar satu-satu, Nia. Nih, dengarin ya, ciek, duo, tigo, Nia rancak bana!!" Bapak dan Ibu tertawa bersamaan. Aku cuma bisa manyun.

"Kalau itu sih, orang mana juga bisa ngomongnya, Pak! Itukan udah hapal banget sama semua orang. Sama ini, nih..ummm...tambuah ciek, daaa!" Aku menirukan gaya bicara salah satu temanku yang memang berasal dari Padang saat dia makan ke Rumah Makan Padang. Tapi dengan logat yang membuat orang mendengarnya geli. Apalagi di dengar oleh orang Padang sendiri.

Bapak semakin lebar tawanya. Bahkan air mata mengalir dari sudut matanya.

"Doakan Nia, ya, Pak, Bu, biar dapat kerjaan yang sesuai passion dan sesuai syar'i."

Menilik dari gaya berpakaianku, Aku sedikit pesismis jika lamaranku akan diterima. Mengingat posisi yang kuincar juga banyak yang mengincarnya. Selain tekad yang kuat, aku cuma punya Allah yang akan menyelesaikan semua urusanku. Yah, pada siapa lagi Aku bisa berharap, selain kepada pemilik seisi bumi?

"Aamiin.." jawab Bapak dan Ibu bersamaan.

"Apapun jenis pekerjaanmu, yang penting halal dan toyyib ya, Nak. Bapak gak mau anak Bapak cari uang dengan cara yang salah. Ada identitas muslimah yang kamu bawa, Nia. Jangan sampai gara-gara Nila setitik, rusak susu sebelanga." Petuah Bapak yang kuangguki takzim.

"Soal uwakmu, jangan diambil hati ya, Sayang?" Kali ini Ibu yang angkat bicara.

"Nggaklah, Bu. Soal itu, Nia udah kebal dari dulu malah. Lagian, uwak Fitri kan, memang begitu orangnya."

"Syukurlah kalau kamu mengerti, Nia." Ucap Bapak, menutup makan malam kami. Karena akan melaksanakan salat Isya.

000000

KITA ISTIMEWA DENGAN CARANYA MASING-MASING ( Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang