Episode sembilan

311 30 0
                                    

Menyenangkan kembali bertemu dengan teman-teman satu komplek. Setelah lama vakum dari kepengurusan karena ingin menyelesaikan kuliah tepat waktu, lalu melamar pekerjaan, entah mengapa Aku merasa bersemangat hari ini. Berjalan mengunjungi tetangga, lalu bercerita dan mereka memberikan sedekah ala kadarnya.

"Satu rumah lagi, kak." Suara Nia. " lumayan banyak juga kalori yang terbuang ya, kak? Kalau begini terus, bisa besar nih, betis."

Aku tertawa. "Olah raga gratis dan sehat."

"Mantap. Ohya, kak Nia...umm, apa sudah mendapat panggilan wawancara? Perasaan Mimi, ini sudah lewat tiga bulan dari kak Nia wisuda. Apa kakak tidak mau cari kerja, kak?" Gerakan kakiku terhenti. Kami sudah sampai di depan rumah yang paling terrakhir yang akan kami minta sumbangan. Sejauh ini semua tetangga dan warga cukup bekerja sama. Walau sedikit bingung tidak mengenal siapa itu Pak Hasan.

"Assalamualaikuum.." koor suaraku dan Mimi memberi salam. Sekitar lima orang ibu-ibu yang tengah duduk di halaman rumah menatap ke arahku.

"Waalaikumsalam. Wah, Nia! Kamu ke sini mau minta sumbangan yang di umumkan pak RT itu, ya?" Bu Mirna namanya. Pemilik rumah terakhir ini. Aku mengangguk.

"Sebentar ya, saya ke dalam dulu ambil uang." Tergopoh-gopoh bu Mirna masuk ke dalam rumahnya. Menghilang di balim pintu. Meninggalkan teman-temannya yang lain. Sunyi. Sampai sebuah suara nyeletuk.

"Kamu Nia anak bu Ratna yang punya warung kecil itu, kan?" Tanya Ibu yang duduk di salah bangku, menatapku.

"Iya, bu." Anggukku. Warga di sini sangat banyak, sehingga Aku tidak begitu mengenali siapa dan dimana Ibu ini tinggal.

"Kamu ponakan dari Fitri, kan? Uwak Fitri?" Terangnya saat aku menatapnya dengan tatapan bingung. Bagaimana mungkin dia bisa tahu. Lagi Aku mengangguk. "Jadi, kamu yang diceritakan uwakmu itu, ya? Kata uwakmu, kamu baru lulus kuliah dan sekarang lagi sibuk melamar pekerjaan, kan?"

Aku bergeming. Selalu ada akhir yang tidak mengenakan kalau sudah menyebut nama uwak Fitri. "Jadi sekarang sudah bekerja?" Lanjutnya lagi.

"Belum, bu. Belum ada panggilan." Keningnya berlipat.

"Iya juga, sih. Zaman sekarang memang susah mencari pekerjaan. Kadang yang sudah lulus kuliah dan lulusan luar negeri saja masih nganggur." Ucapnya nyelekit. Dia melirik teman-temannya. Lalu balik menatapku. Kenapa sih, Ibu Mirna lama sekali mengambil uangnya?

"Kenapa tidak minta tolong sama dua anak Fitri saja, kamu? Teteh sama Aa-mu itu kan, sudah jadi orang sukses. Mereka kerja di tempat yang bagus pula. Gak ada salahnya kan meminta tolong sama mereka?" Lagi, perkataannya sungguh membuatku gerah. "Biasa kok, zaman sekarang itu nepotisme. Kalau gak gitu, mana mungkin bisa dapat pekerjaan? Ya, nggak?" Aku menelan ludah kasar. Semakin lama bu Mirna di dalam, semakin panjang cerita Ibu ini.

"Tetangga saya juga dulu gitu, nyari kerjaan udah kaya nyari jarum di tumpukan jerami. Susah. Padahal kualifikasinya bagus. Tapi apa? Tetap aja  nganggur. Akhirnya malah minta tolong sama pamannya yang kenal orang dalam. Baru deh, lulus. Emang ya, pendidikan tinggi itu gak jaminan dapat kerjaan bagus. Sekali dapat kerjaan, malah gajinya kecil." Dia melirikku sekilas. Entah sengaja menyindirku dengan mengucapkan kalimat-kalimat itu.

"Maaf ya, Nia. Lama ngambil uangnya." Akhirnya bu Mirna sudah berdiri di hadapanku. Untunglah. Setidaknya aku tidak akan mendegarkan omongannya lagi. Bu Mirna menyerahkan amplop berwarna putih ke tanganku. Setelah mencatat namanya, aku mengucapkan terima kasih.

Aku dan Mimi kembali berjalan, tanpa banyak bicara. Mimi menggaruk kepalanya yang terbungkus hijab.

"Kak Nia, soal yang tadi itu, maafin Mimi, ya...?"

KITA ISTIMEWA DENGAN CARANYA MASING-MASING ( Selesai)Where stories live. Discover now