Tujuh

3.9K 587 28
                                    

"Sana mandi, gue anter balik."

Lelaki itu mendudukan dirinya di sofa. Sedikit ngulet untuk membantu otot-ototnya yang semalaman tidur kurang nyaman. Semakin dibuat kesal oleh Mikha yang seenaknya mengusik tidurnya.

Sejak malam tadi, lelaki itu sudah menahan singa dalam dirinya untuk tidak mengaung. Melucuti mangsa yang tak berdaya. Kemudian meratapinya dalam penyesalan.

Gibran tak ingin itu semua terjadi.

Mungkin menyiram kepala dengan air mampu mendinginkan kepala juga nalurinya. Ditambah membersihkan diri, dan bersiap mengais rezeki.

Sepertinya, hidup Gibran hanya digunakan untuk mencari rezeki. Tapi malah bingung saat semua sudah cukup, dirinya tak tahu harus digunakan untuk apa.

Mikha keluar kamar mengenakan kemeja Gibran yang kebesaran di tubuh rampingnya. Untung tertolong oleh belt yang melingkar manis di pinggangnya. Membentuk lekukan yang semalam tak sengaja Gibran jamah.

Sial. Membayangkan pinggang Mikha yang padat tanpa lemak membuat lelaki itu seharusnya segera menghilang ke kamar mandi.

Meski tampak kebingungan karena Gibran enggan menatapnya lama. Mikha beranjak ke dapur yang terdapat di sisi sebelah kiri kamar. Berdampingan dengan ruang tamu yang merangkap sebagai ruang keluarga.

Apartmen ini tergolong minimalis. Tak begitu banyak perabot di dalamnya. Dindingnya pun lebih banyak terisi oleh lukisan daripada foto. Hanya satu figura terpajang rapi di sisi nakas, foto dirinya dengan wanita paruh baya. Pasti itu ibunya. Karena Mikha beberapa kali bertemu di acara arisan. 

Mikha merebus air dan menyeduhkan kopi untuk Gibran. Tak ada bahan makanan yang bisa dimasak, jikapun ada Mikha tak tahu harus memasak apa. Membedakan mana merica dan ketumbar saja tak tahu. Apalagi laos, jahe, dan kawan-kawannya.

Sungguh tidak istri-able.

Bukankah istri di zaman sekarang tak harus dituntut pandai memasak?

Celingukan. Mikha mencari Gibran. Ingin bertanya di mana bisa memesan sarapan karena perutnya sudah melilit kelaparan. Tanpa pikir panjang, tangannya mendorong pintu kamar.

Gibran yang tak siap terlonjak. Terbiasa hidup sendirian membuatnya tak pernah mengunci pintu kamar pun kamar mandi.

"Kalau mau masuk itu ketuk pintu dulu."

Bukannya menutup pintu, Mikha malah asyik menatap Gibran yang nampak kikuk memakai pakaian kerjanya. Meski di depan pintu, indra penciumannya sangat apik merekam wangi sabun yang menguar di ruangan tersebut. Sungguh rasa lapar Mikha langsung hilang melihat Gibran yang baru selesai mandi dengan rambut lelaki itu yang masih setengah basah. Segar.

"Pamali. Ntar bintitan kalau ngintip," ucap Gibran. Mendekati Mikha. Menutup matanya dengan telapak tangan Gibran.

Ada gelenyar hangat di dada Mikha.

"Keluar dulu, bentar lagi sarapannya dateng." Perintah lelaki itu kemudian.

Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Mikha mengangguk, membalikan badannya dan duduk di sofa ruang tamu.

Sejujurnya dia sudah terbiasa melihat Nando juga Januar selepas mandi tapi rasanya tak sama dengan yang dialaminya barusan.

Sesuatu terasa hangat menempel di pipinya. Mikha menoleh, Gibran berdiri. Sudah lengkap dengan pakaian kerjanya. Rapi. Lelaki itu selalu tampak rapi.

"Ayo sarapan. Gue tahu perut lo kosong karena muntah semaleman," tawarnya.

Mikha mengekor. Ikut duduk di hadapan Gibran. Membuka bungkusan di hadapannya.

M O N O K R O MWhere stories live. Discover now