Empat Belas

2.7K 670 68
                                    

Mau ngetik dari kemarin tapi malah nonton layangan putus wkwk

Happy reading

---

"Bos, balik bareng gue?" tanya Ardan saat Gibran masuk parkiran.

"Nggak. Lo duluan aja," tolak Gibran berjalan menjauhi mobil Ardan.

Mungkin mau di jemput pacarnya yang tadi pagi ketemu di lift, batin Ardan. Masuk dalam mobil dan bergegas pulang.

Gibran mendekati Honda Jazz berwarna kuning. Mobil yang dulu hits pada jamannya. Dia mengetuk kaca penumpang, membuat empunya otomatis membuka kaca.

Tanpa ba bi bu, Gibran merogohkan tangan lewat jendela mobil guna membuka kunci pintu, membukanya, kemudian duduk manis tanpa menunggu persetujuan pemiliknya.

"Gue ikut, ya, kasihan Ardan harus muter jauh kalau nganterin gue balik dulu," alibi Gibran. Membenarkan letak kursi yang menurutnya terlalu sempit.

Mikhayla, si pemilik mobil mendengus pasrah. Apa Gibran ini tidak mengerti kalau dirinya ingin social distancing bersama lelaki ini. Apa kurang jelas yang diucapkannya tempo hari hingga lelaki itu dengan santainya duduk manis, seperti tak terjadi apapun antara mereka.

Jalanan lumayan padat, mengingat ini hari jumat akhir bulan. Sudah pasti ada banyak tugas dan meeting mingguan yang harus di selesaikan.

Sesekali, Mikha melirik Gibran lewat kaca spion. Tak ingin Gibran menyadari jika dirinya harus menengokan kepala.

"Gue nggak menyangka, lo suka mobil ngejreng begini," ucap Gibran mengutarakan apa yang dipikirkannya. Sejak kemarin saat pertama kali Mikha membawa mobil ke kantor.

Padahal jelas, Mikha boleh saja memakai lamborgini atau sekelasnya.

"Mikha suka warna kuning," jawabnya.

"Lagian cuma mobil ini yang kalau Mikha pakai sampai lecet, nggak ada perasaan bersalah atau takut papa marah," imbuhnya.

"Kenapa?" tanya Gibran penasaran.

"Nggak usah di bahas," jawabnya. "Ini mau ke rumah atau apartemen?" tanyanya kembali saat mobil tiba di persimpangan.

"Ke rumah aja," jawab Gibran.

Mikha ini aslinya mau bungkam seribu bahasa. Cuma sistemnya sudah ter-default buat ngoceh kalau di samping Gibran. Dirinya pun heran.

Mikha selalu merasa jika air mata yang dikeluarkannya beberapa hari ini terasa sia-sia. Kalau Gibran saja masih sanggup tersenyum dan duduk santai di sampingnya.

Gibran menemukan lolipop kesukaan Mikha. Kemudian membuka dan mengemutnya. Situasinya persis seperti saat Mikha suka nebeng di mobilnya dulu.

Tak sampai tiga puluh menit, mobil Mikha sudah sampai depan rumah Gibran. Entah feeling darimana, Mama Gibran berdiri di depan gerbang.

"Mau mampir?" tanya Gibran.

Mikha menggeleng kuat. Bukan dirinya tak mau bersopan santun, tapi mengingat kembali ucapan Mama Gibran tempo hari lalu, rasanya masih sama. Mikha mungkin bisa memaafkan nanti, tapi melupakannya mungkin akan terasa sulit.

"Katanya mau belajar masak sama Mama," goda Gibran.

Gibran tak menyadari perubahan raut wajah Mikha. Dan masih bersikap santai saat Mama Gibran berjalan mendekati mobil. Ketukan di kacanya kembali terdengar.

Mikha menarik napas, kemudian membuka kaca mobil.

"Loh Mikha?" Mama Gibran tampak kaget, menemukan Mikha.

M O N O K R O MTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang