Dua Puluh Satu

4.5K 664 58
                                    

Maapkeun lama banget baru update. Jadi kemarin baru dapet musibah. Dan traumanya lama. Eh giliran udah enakan. Malah gantian serumah tumbang.

Kalian jangan lupa jaga kesehatan. Selamat membaca.

***

Mikha pernah membaca dalam sebuah caption instagram: takdir itu milik Tuhan, doa dan ikhtiar itu milik manusia. Dirinya sudah mengerahkan segala jurus ninja yang dimilikinya untuk menarik hati Gibran yang sudah bertahun-tahun terkubur dalam masa lalu. Baginya bagiannya sudah selesai, sekarang terserah Tuhan akan memilihkan takdir yang bagaimana untuk dirinya.

Jika memang Gibran adalah takdir Mikha, harusnya saat ini lelaki itu sudah bergerak menarik Mikha untuk terus di sampingnya. Tapi pada kenyataannya, hilal itu belum nampak. Bayangannya saja semu.

Bahkan saat Mikha berdampingan dengan lelaki lain dan berniat membuat Gibran cemburu, lelaki itu lebih terlihat santai. Karena tak perlu ditempeli Mikha setiap saat.

Seperti kali ini, Mikha menemukan Gibran tertidur pulas di ruangannya. Dengan meja kerja sebagai tumpuan. Lelaki itu terlihat sangat nyaman dengan posisi demikian. Padahal setiap malam Mikha tak pernah tertidur dengan nyenyak. Setiap membuka kontak milik Gibran, mengecek apakah lelaki itu membuat sebuah story atau tidak. Tapi Gibran adalah orang yang akan membuat story setahun sekali saat hari raya.

Tangan Mikha sejujurnya gatal ingin mengetikan sesuatu untuk dikirim pada Gibran, namun harga dirinya menolak. Kadang Mikha suka iseng, membuat story, memastikan apakah Gibran masih memperhatikannya atau tidak. Nyatanya, Nihil. Gibran tak pernah membaca story yang dibuatnya. Malah Aidil yang selalu memberi respon.

Embusan napasnya terasa berat, apa memang harus dalam keadaan lelaki itu tak sadarkan diri, barulah Mikha dapat menikmati keindahan lelaki itu seorang diri tanpa harus bersaing dengan masa lalu. Andai boleh berteriak dengan toa, Mikha ingin sekali mengumumkan betapa rindu dirinya pada Gibran.

Membuka pintu, Mikha kembali menoleh kebelakang. Haruskah dirinya memilih Aidil yang sudah jelas menerima dirinya, atau menunggu Gibran?

---

Gibran baru saja keluar dari lift basement. Hendak berjalan menuju parkiran. Gedung kantor sudah nampak lengang. Jelas saja, sudah hampir pukul sepuluh malam. Gibran tak pernah lembur lebih dari pukul sembilan malam. Selalu ada waktu untuknya beristirahat di rumah. Entah mengapa beberapa hari ini dirinya selalu pulang malam.

Selain itu tak pernah terjadi dalam sejarah, seorang Gibran tertidur di kantor. Bahkan jika ada deadline yang mengharuskannya menyelesaikan malam itu pula, dirinya selalu terjaga. Mungkin karena beberapa hari ini dirinya nge-DJ hingga pagi buta saat ayam sudah mulai berkokok dan dirinya baru lelap.

"Bang Gib!"

Gibran refleks menoleh. Bukan seseorang yang biasa memanggilnya demikian, melainkan Kila. Untuk apa wanita itu berkeliaran di gedung kantornya malam-malam begini tanpa Januar pula.

"Ngapain lo!" Merasa kena prank, Gibran menjawab dengan emosi. Sudah kepalanya pening karena terbangun mendadak, sekarang ditambah Kila berdiri di depannya persis kuntilanak penunggu kantor. Mengejutkan.

"Dari tadi gue panggilin juga kagak nyahut. Gue ke sini mau nyariin Mikha," ujar Kila mulai memperhatikan Gibran dengan seksama, "gue baru pertama kali ngelihat lo kusut begini tau, biasa lo selalu terlihat paling memancar 24 jam per 7 hari," komentar Kila. Baju kerja yang dikenakan Gibran berhamburan keluar. Belum lagi lipatan-lipatan baju yang mulai terlihat semrawut. Rambutnya yang nampak amburadul. Tidak seperti Gibran yang dikenalnya. Yang selalu nampak paling rapi meski sekedar nongkrong di kantor.

"Gue nggak tahu Mikha dimana," jawab Gibran malas. Biasanya menemukan Kila selalu menjadi penenang di antara penatnya kerja juga hari-harinya. Namun, tidak dengan saat ini bukan Kila yang ingin di temuinya. Bukan Kila yang diharapkan menemani malamnya yang gulita.

Ada sesuatu yang hilang hingga membuatnya berongga, namun kehilangan apa?

"Gue nggak tahu kalau patah hati membuat orang jadi males mandi sama ngaca," celoteh Kila mengikuti Gibran dari belakang.

"Lo emang pernah lihat gue patah hati?"

Kila mengangguk mantap. "Saat ini gue menyaksikan langsung. Di depan mata gue, seorang Gibran wiratama patah hati sampai mobil aja lo bisa lupa?" Kila menunjuk ke arah barat, padahal Gibran berdiri menghadap timur, "mobil lo ada di sana," ujarnya kembali.

Gibran mendengus, tak menjawab. "Gue tahu." Berbalik arah, menuju mobil yang ditunjuk Kila. Perasaan pagi tadi dirinya membawa HR-V, bagaimana bisa outlander hitam miliknya terparkir di sana.

"Kenapa lo selalu mengingkari fakta, kalau lo lebih dari sekedar membutuhkan Mikha?" Cegah Kila menahan pintu mobil Gibran agar tak terbuka. "Lo tahu, Tuhan udah ngasih kesempatan dua kali, ini yang ketiga kali. Kalau lo sampai kehilangan yang sekarang. Mungkin ini bakal jadi awal ke gamonan lo yang mendarah daging."

"Ada hal yang nggak bisa diterima logika gue kalau gue bilang sekarang gue butuh Mikha."

"Cinta tak butuh logika, Bran. Lo nggak pernah denger lagu Agnes Mo apa? Cinta kadang tak ada logika."

Gibran menghadap Kila, menatap wanita itu lekat, seperti dulu saat Kila belum dimiliki lelaki lain. Jika dulu selalu ada kelegaan karena mendapati Kila baik-baik saja, kali ini menatap wanita di hadapannya ini tak membuat sesuatu bergelenyar di dalam sana. Mungkin karena sudah tak ada ruang bagi dirinya.

"Lo pernah membayangkan gue jadi adik ipar lo? Adik ipar Januar? Ngebayangin aja gue ngerasa itu imposible, Kil. Logika gue selalu mengatakan bahwa ini salah. Dan gue harusnya pergi dan mencari kebenaran."

Kila menggeplak kepala Gibran. Gemas. Bagaimana bisa ada orang sepandai Gibran dalam urusan tander tapi sebodoh ini dalam urusan cinta.

"Kalau semua hal hanya berjalan sesuai logika. Gue mungkin udah gila karena Tuhan menakdirkan gue nikah sama calon anak tiri Shafa, yang jelas-jelas kakak kandung gue sendiri, Bran. Kakak kandungku, calon ibu mertuaku. Mungkin kalau udah jadi judul sinetron indosiar bakal lebih viral dari cinta fitri."

Gibran kembali menelaah ucapan Kila. Meski sudah terbiasa mendengar suara Kila yang sudah naik beberapa oktaf, tapi logikanya tetap meminta dirinya tetap diam.

Kila melepaskan tangannya, "semua pilihan ada di tangan lo, Bran. Seperti kata Januar tempo lalu. Lelaki itu memang hakikatnya berjuang. Ada banyak hal yang akan ditanggungnya kelak."

Mendapati Gibran dengan kondisi 'mengenaskan' seperti saat ini membuat batin Kila ikut terluka. Dulu saat dirinya terpuruk, Gibran dengan sabar terus di sampingnya. Membiarkan pundak dan jiwanya dibebani oleh dirinya.

Kini, saat Gibran berada di bawah. Dirinya tak punya kesempatan untuk sekedar memberi semangat.

"Tuhan itu pemilik skenario terbaik, Bran. Tuhan nggak mungkin typo dalam menakdirkan sesuatu. Kita nggak tahu siapa nanti yang bakal jadi jodoh lo, Bran. Bisa Mikha bisa yang lain juga, kan?

"Tapi untuk sekarang, paling tidak tolong berjuang biar kelak nggak tertimbun dan jadi penyesalan yang amat sangat mendalam. Lo tau, kan? Penyesalan itu kaya jerawat yang ilang satu tumbuh lagi satu." Kila tertawa, namun tak ada keceriaan di sana.

Menepuk pundak Gibran dua kali, "good luck, Bran," ucapnya, memberi jarak dengan Gibran. "Kalau lo sampai jadi duta move on tiga kali, lo harus beliin gue mobil ya," imbuhnya. Kali ini bergurau.

Gibran sudah nampak lebih bercahaya. Mungkin memang sudah tiba saatnya untuk bertapa, mencari jawaban untuk apa yang sudah terjadi pada dirinya saat ini.

Penyakit gila apa yang sebenarnya sudah menjangkitinya akhir-akhir ini.

Iya. Sebelum dirinya benar-benar gila karena tak mendapat jawaban apapun.

Ardan : Bos.
Ardan : ada gibah ter-update
Ardan : besok Aidil mau nembak Mikha di depan anak2 divisi marketing
Ardan : di club XX jam 12 siang

Hah?

M O N O K R O MWhere stories live. Discover now