30

1.9K 380 39
                                    

Sebelumnya, Gibran tak pernah lepas kendali terhadap seorang perempuan. Selalu dirinya pemenangnya. Bahkan saat bersama Kila, Gibran tak pernah melewati batas pada perempuan itu.

Namun, bersama Mikha. Melihat gadis itu dengan seenaknya bergerak ke sana ke mari dengan pakaian yang dapat dibilang kekurangan bahan membuat feromon dalam dirinya mulai menginvasi perlahan.

Gibran tahu dan sadar jika apa yang dilakukannya salah. Tapi daripada harus masuk angin karena mandi air dingin setiap hari?

"Urusan apaan sih, Bang?" Mikha dan kebingungannya. Karena sedari tadi tangannya terus di tarik hingga ritme berjalannya mulai cepat. Bahkan hampir berlari.

Bukan menjawab, lelaki itu membuka pintu unit apartmentnya dengan kasar. Tanpa melepas alas kaki. Gibran menangkup wajah Mikha. Kemudian mengemut bibir ranum yang terus saja bertanya urusan apa urusan apa.

Mendapati perlakuan Gibran, Mikha terhuyung hingga menbrak dinding. Gibran persis singa yang sedang kelaparan hingga tak memberi sedikitpun cela untuk Mikha menghirup udara. Bukannya melepaskan diri, Mikha memilih memejamkan mata dan merangkul leher lelaki itu erat. Memberi lampu hijau pada lelaki itu.

Cumbuan itu makin dalam. Bergerak ke sana ke mari hingga tanpa sadar heels yang dikenakan Mikha terlepas. Tahu bahwa Mikha memberi akses, Gibran membuka kancing dress bagian depan gadis itu mempertontonkan tulang selangka yang mempesona.

Tubuh Gibran mendidih dibuatnya.

Saat tangan Gibran hendak menaikan dress peach yang dikenakan Mikha. Tangan gadis itu menahannya. Gibran menatapnya penuh belas iba, namun tatapan Mikha yang polos menghantamnya. Meleburkannya bersama lantai yang dingin ini.

"Bang, Mikha belum ..."

Bagai tersiram air es, Gibran tersadar. Mikha tak seharusnya mendapatkan perlakuan demikian. Memang bangsat dirinya ini.

Dikecupnya kening Mikha lama. "Maaf ..." Gibran kembali mengaitkan kancing dress gadis itu. "Gue hilang kendali, Mikh."

Gibran hanyalah lelaki dewasa dengan segala hormonnya. Melihat bagaimana Mikha berdiri di sampingnya dengan sedemikian memesona tentu saja setan itu mulai merasuki dirinya.

Mikha hanya diam. Terlalu terkejut dengan apa yang sudah dilakukannya. Hanya terus memberi ruang pada dadanya. Menarik napas sedalam-dalamnya. Menenangkan gejolak yang juga membakar dirinya.

Bukan hanya Gibran yang tersiksa karena terus menahan hasrat. Mikha pun demikian. Hanya logikanya masih berperang di dalam sana.

Memilih memilin ujung gaun yang dikenakannya. Mikha masih berdiri tanpa alas kaki di hadapan Gibran. Hanya deru napas mereka yang saling beradu.

"Kenapa kita nggak menikah saja, Mikh?" tanyanya kembali memastikan. Gibran menyadari bahwa panas itu tak hanya berkobar dalam dirinya, Mikha pun demikian.

Mikha terus diam. Gibran lebih bingung menghadapi Mikha yang diam daripada cerewet seperti biasanya.

Tahu tak akan mendapatkan jawaban, Gibran mundur. "Lo rapiin aja dulu penampilan lo, nanti gue anter pulang." Titahnya berlalu. Mengambil heels Mikha kemudian berjongkok di depan gadis itu.

Gibran hanya meletakan heels itu di depan kaki Mikha kemudian bergerak menjauh.

Dari ujung matanya, Mikha melihat Gibran mendekati pantry dan menegak segelas air mineral. Dari punggung lelaki itu, Mikha sanggup melihat kekecewaan yang semakin menumpuk. Tatapannya kembali tertuju pada heels di hadapannya.

Mungkinkah dirinya cinderella yang pantas untuk Gibran?

Gibran kembali mendekat. Memberikan segelas air mineral pada dirinya. Mikha mengerjap beberapa kali kemudian menatap gelas di hadapannya. Gibran tetap kembali pada dirinya meski dirinya sudah berkali-kali dikecewakan.

Mikha memasukan kakinya pada heels itu dan pas. Tentu saja karena itu memang miliknya sendiri. Tangannya terjulur mengambil gelas yang diberikan Gibran. Mengesap perlahan.

Tangan lelaki itu bergerak membenarkan tatanan rambut Mikha yang sedikit kacau. Dibalik gelas yang masih bertengger di mulut, Mikha mengikuti pergerakan lengan lelaki di hadapannya.

Seulas senyum terpatri. Senyum kekecawaan.

"Gue nggak tahu apa yang membuat lo masih belum yakin sama gue, Mikh," jedanya. Kemudian membenarkan dress bagian lengan gadis itu yang sedikit terbuka, "harus dengan cara apa lagi agar segala ketakutan lo hilang?
Atau segala yang gue lakuin selama ini belum sebesar yang udah lo beri buat gue, Mikh."

Gibran kembali mengusap rambut Mikha. "Atau mungkin sebenarnya kita tidak berjodoh. Jadi Tuhan terus mengulur keyakinan lo sampai hari ini."

Terbelalak. Mikha menahan tangan Gibran yang berada di puncak kepalanya. 

Alih-alih menjauhkan tangannya. Gibran meraih tangan Mikha dan membawanya keluar dari unit apartmennya.

"Gue anter pulang."

Sepanjang perjalan Gibran dan Mikha saling membisu hanya hati mereka yang berteriak ke sana ke mari. Semesta pun sepertinya berkontribusi. Jalanan malam ini lenggang tak seperti biasanya. Membuat mobil yang ditumpanginya cepat sampai tujuan.

Mikha masih terduduk di tempatnya. Gibran lebih dulu membuka seatbeltnya kemudian beralih pada Mikha.

Kediaman rumah Wibisana sudah sepi. Gibran turun terlebih dahulu kemudian membuka pintu untuk Mikha. "Gue sampai sini aja ya, Mikh. Rumah udah sepi kayaknya udah pada istirahat. Kasihan nanti malah keganggu."

Mikha dan Gibran masih sama berdiri di depan gerbang.

"Bang ..." Ada sesuatu yang mengganjal tapi urung lepas.

"Hmm ..."

Hanya angin yang kembali menyergap mereka.

"Gue ada kerjaan di luar kota, untuk seminggu kedepan atau bisa lebih lama. Silakan ambil waktu sebanyak yang lo mau, Mikh. Gue nggak akan menginterupsi. Silakan berpikir sebaik yang lo mampu, Mikh. Semoga nanti saat gue balik. Lo udah punya jawaban untuk pertanyaan gue."

Gibran maju kemudian membawa Mikha dalam dekapannya. Erat. Mikha tak membalas pelukannya. Namun Gibran makin mengeratkan pelukannya. Menghidu bau strawberry yang menguar dari tubuh gadis itu. Meminta indra penciumannya untu menyimpan  bau khas gadis ini.

"Jangan makan seblak terus, Mikh. Makan yang bergizi. Kalau kata Bu Dian, guru SD gue makan itu harus 4 sehat 5 sempurna."

Raga gadis itu memang dalam dekapannya. Namun keheningan yang menjawabnya.

"Gue balik dulu," meski enggan, Gibran tetap melepaskan pelukannya. Membiarkan gadis itu keluar dari kungkungannya.

Ditatapnya lekat wajah gadis itu. Kacau. Gibran tak mau terus berada di tempat ini. Bukan karena apa. Gibran hanya tak mau lepas kendali dan kembali menculik gadis itu untuk dibawanya pulang.

Membuka pintu mobil. Gibran masih menatap Mikha yang tetap berdiri di tempat tanpa bergerak sesenti pun. Mungkin Gibran tahu akan bagaimana jawaban yang diterimanya nanti saat kembali.

Masuk ke dalam mobil. Tatapannya tetap tertuju pada Mikha. Meski terhalang kaca, Gibran tahu Mikha pun balas menatapnya.

Bisa jadi Gibran terkena karma karena sudah menolak gadis itu dulu. Mengatakan ketidakmungkinan untuk bersama Mikha. Mungkin saat itu malaikat ikut mengaminkan ucapannya hingga sampai saat ini dirinya dibuat jungkir balik tanpa kepastian oleh gadis yang sama.

Gibran menginjak pedal gas, kemudian menjauh dari sana. Meski ujung netranya masih melirik lewat kaca spion yang semakin lama makin kecil dan bayangannya pun menghilang.

Jika memang semesta tak menakdirkan dirinya untuk Mikha. Gibran hanya berharap tak menjalani kehidupan dengan kegagalan move-on seperti yang sudah dilewatinya bertahun-tahun ini.

Meski kelihatannya baik-baik saja. Gibran bersusah payah untuk mendapatkan semangat menjalani harinya.

Semoga.

---

Maafkaaaan lama pisan ... Jadi, hp mamak sakit parah dan harus masuk rumah sakit. Eh kok malah tidak membaik. Dan butuh waktu lumayan untuk ganti yang baru haha

Jadi gimana sih ini ya Gibran sama Mikha. Mau happy end apa gimana nih ... Keburu bangkotan Gibran nyaaah

M O N O K R O MWhere stories live. Discover now