Delapan Belas

2.6K 652 26
                                    

Nulis sekarang tu agak ribet ya teman. soalnya diriku tim satu gendong satu gandeng. Kalau ada yang samaan. Kita satu frekuensi, Mim 🤭
gimana kalau buat naikin mood, 400 vote 100 coment.

***

Murka. Satu kata yang menggambarkan perasaan Zulaikha saat ini. Mendapati anak lelakinya tidur satu ranjang dengan seorang wanita bahkan berbagi selimut.

Membayangkan saja membuat kepalanya pening.

Jika pukulan dapat mengurangi rasa kecewanya. Mungkin ribuan pukulan baru menuntaskannya. Pandangannya sedari tadi jatuh pada Mikha. Menguliti dari ujung rambut hingga kaki.

Maju, Mikha menjulurkan tangannya, hendak menyalami Zulaikha tapi wanita paruh baya itu mundur.

"Ma ..." Gibran ganti bersuara.

Mikha sudah kembali mundur, sejajar dengan Gibran. Yang masih bersikap santai.

"Ini nggak seperti yang Tante pikirkan," ucap Mikha bersuara.

"Apa yang akan kamu pikirkan kalau menemukan lelaki tidur dengan wanita dalam satu ranjang?"

Diam. Betul juga, jika orang awam melihat kondisi dirinya dan Gibran tadi, sudah pasti mereka berpikiran yang iya-iya. Jadi, bagaimana cara menjelaskan pada Zulaikha jika tak ada bukti.

Tak ada test keperawanan, kan? Supaya Zulaikha percaya kalau Gibran tak memerawani dirinya.

Zulaikha tak berkata apapun. Bibirnya kelu. Kenapa harus Mikha?

Apa teori buah jatuh tak jauh dari pohonnya itu memang benar?

Mengambil tas yang dibawanya, Zulaikha berlalu. Melirik Gibran terlebih dahulu tanda dirinya menunggu penjelasan Gibran nanti.

"Kenapa Bang Gib nggak ngomong apapun sama Tante Zulaikha?" Protes Mikha.

"Buat apa? Nggak ada guna, Mikh. Nyokap lagi tersulut emosi, jadi kalau gue ngomong sama aja menabur bensin di atasnya. Makin menjadi yang ada. Biarin reda dulu, kalau perlu sampai padam. Baru ngomong pelan."

Mikha menggigiti bibir bawahnya, "makin jelek dong image Mikha di hadapan Tante Zulaikha."

Gibran memegang bibir Mikha, memintanya tak melukai diri sendiri, "kan gue udah bilang kemarin kalau lo nggak perlu terlalu mikirin omongan orang. Makan ati yang ada, Mikh. Nyokap gue pasti ngerti kalau kita nggak ngapa-ngapain," terang Gibran.

Mikha ganti menggigit jempol Gibran, "Mikha nggak mau ada drama mantu sama mertua kaya di indosiar itu, Bang."

Bukannya marah karena jempolnya digigit oleh Mikha, Gibran malah tergelak. Meraup wajah wanita di hadapannya.

Mendadak pikirannya yang sedikit kacau karena kedatangan Zulaikha tadi tiba-tiba hilang. "Kejauhan mikir lo. Pakai beha aja belum bener," gurau Gibran lepas.

Mikha menatap wajah lelaki di hadapannya. Tertawa tanpa dosa. Sementara Mikha masih bergulat dengan pikirannya sendiri. Maju selangkah, tangannya memelintir kaos bagian depan yang digunakan Gibran, "kalau Tante Zulaikha beneran nggak suka sama Mikha, apa Bang Gib bakal pergi?"

Kemarin, Mikha sudah meminta Gibran untuk memilih antara dirinya dan Shilla. Gibran memilih dirinya. Tapi bagaimana jika Zulaikha yang memilih Shilla untuk Gibran?

Eh? Tawa Gibran terhenti dengan pertanyaan Mikha. Jangankan memikirkan bagaimana penilaian Zulaikha pada Mikha. Memperkenalkan Mikha pada Zulaikha saja belum terlintas di otaknya. Harus memperkenalkan sebagai apa?

Kediaman Gibran memacu ketakutan pada Mikha. Cengkraman pada kaos lelaki itu semakin kuat. Mendapatkan hati anaknya saja sudah melelahkan, apalagi harus mengemis hati pada sang Ibu yang memang sudah tak menyukainya.

M O N O K R O MWhere stories live. Discover now