Dua Puluh Empat

1.5K 338 23
                                    

Jadi, hp ku kemarin error. Maklum punya dua bocil rusuh2. Lah, dikira hp mamaknya bola pingpong, kan.
Draft-nya ilang, dan untuk memulai kembali. Ternyata sulit sekali.

So, jangan lupa like dan komen biar mamak semangat melanjutkan kisah mereka yang tak kunjung usai.

Happy reading.

***
"Terima kasih untuk kesekian kalinya karena sudah menolong istri saya," tutur Panji.

"Kembali kasih juga untuk kesekian kalinya," ujar Gibran, sedikit melongok kebelakang pria di hadapannya, memastikan bahwa Nata sudah lelap. Bisa jadi karena lelah menahan nyeri atau pengaruh obat tidur yang diminumnya.

Panji, lelaki di hadapan Gibran ikut menoleh, "Nata baik-baik saja," ujarnya, "dan saya sudah ada di sini, Nata sudah aman," imbuhnya kembali memperjelas.

Gibran mengangguk. "Kalau gitu gue balik dulu," pamitnya. "Salam buat Nata," tambahnya sebelum benar-benar berlalu dari sana.

Tak dipungkiri, Gibran merasa tidak nyaman dengan tatapan Panji saat tahu bahwa dirinyalah yang membawa Nata ke rumah sakit. Jadi, daripada kehadirannya hanya memperburuk suasana, lebih baik undur diri.

Tiba di parkiran, langit sudah mulai menggelap. Ketika membuka pintu mobil, hendak menghidupkan mesin. Gibran tersadar akan sesuatu: Mikha tidak ada di mobil ataupun di sekitar mobil. Dengan panik, ia membuka layar ponselnya dan menghubungi nomer Mikha namun suaranya terdengar menggema dalam mobil.

Astaga. Kemana sebenarnya Mikha ini.

Gibran keluar dari mobil. Langkahnya panjang, berputar dari satu sisi ke sisi yang lain parkiran rumah sakit ini. Dirinya belum ada satu jam meninggalkan mobil tapi Mikha menghilang.

Mikha jelas tak tahu jalan dari rumah sakit ini ke tempat tinggalnya. Gibran mengerti karena Mikha jarang menggunakan transportasi umum. karena Mikha tak pernah melewati rute selain rumah, kantor, dan apartmen.

Memilih menghidupkan mesin, Gibran melajukan mobilnya ke tempat yang mungkin Mikha kunjungi. Jantungnya berdetak tak menentu. Matanya menyisiri sekitar jalan, barang kali menemukan Mikha diantar orang-orang yang bergerombol di halte. Nihil.

Bayangan Mikha yang menangis sambil ketakutan muncul di kaca mobilnya. Entah Mikha ini memiliki kekuatan seribu bayangan atau bagaimana namun sering sekali dirinya muncul dalam benak Gibran.

Menghubungi Januar juga seperti bukan solusi apalagi menghubungi Pak Wibisana. Tapi, hati kecilnya menyakini jika Mikha dalam kondisi baik-baik saja. Karena tak mungkin Pak Wibisana membiarkan anak perempuan kesayangannya hilang karena tak tahu arah.

Mengikuti intuisi, Gibran melajukan mobil ke apartmen miliknya. Benar saja, saat membuka pintu apartmen. Pandangan tertuju pada gadis yang meringkuk di sofa bed depan televisi miliknya. 

Dengan langkah pelan, Gibran berjalan mendekat. Betul saja, Mikha sudah lelap. Segala prasangka dan ketakutan yang sedari tadi membayangi dirinya seketika menghilang. Tahu bahwa Mikha dalam kondisi baik-baik saja.

Gibran membawa tubuhnya berbaring di samping Mikha. Membenarkan posisi tidur Mikha hingga kepala gadis itu berbantal lengannya. Menarik tubuhnya mendekat dalam dekapannya. Hangat. Wangi khas strawberry milik Mikha menguar pada indra penciumannya.

Mikha yang menyadari kehadiran Gibran semakin merangsek mendeket. "Tadi Mikha mau ikut Bang Gib ke IGD tapi udah nggak ada.

"Mikha mau ambil hape di mobil ternyata mobilnya ke kunci ... Mikha laper jadi Mikha pulang pakai taksi. Tas sama hape Mikha ketinggalan di mobil. Jadi, tadi Mikha belum sempet bayar taksi. Cuma si Masnya kasih nomer hape sama rekening. Nanti Bang Gib bayar, ya."

M O N O K R O MTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang