Tujuh Belas

2.9K 592 66
                                    

"Nge-DJ itu semacam self healing buat gue," terang Gibran.

Hah? Orang lain healing-nya jalan-jalan, traveling, jajan, atau sex mungkin. Namun, lelaki di hadapannya ini memilih nge-DJ.

"Sejak kecil, nyokap selalu mendidik supaya gue menjadi 'anak teladan'. Selalu masuk lima besar di kelas, jadi ketua kelas, ketua OSIS, lulus dengan nilai memuaskan, bisa masuk universitas kesukaan beliau, dan pakai toga sesuai dengan waktunya.

"Kerja di tempat yang bagus, dapat jabatan yang menjanjikan pula ... Tapi kayaknya ada yang telat, nih. Telat nikah!" Seloroh Gibran.

Saat ini Gibran dan Mikha sudah berdiri di depan pintu apartemen masing-masing. Namun, terhenti karena Gibran merasa ada yang terus mengganjal di hatinya dan berontak ingin keluar.

"Jadi, Tante Zulaikha nggak tahu kalau Bang Gib nge-DJ?"

Gibran menggeleng, "stigma masyarakat soal dunia malam begini kan selalu negatif, nyokap juga beranggapan demikian. "

"Terus, kok Bang Gib bisa nge-DJ?" Its mean, dia hidup berpuluh tahun dengan Mama-nya, bukan?

"Dulu waktu gue kuliah di luar negeri, rasanya kaya burung lepas sangkar. Bisa terbang ke sana sini, bisa mencoba makanan ini itu, bahkan harus bisa menyesuaikan dengan iklim yang belum familiar buat gue. Tapi gue selalu suka dengan pengalaman baru."

Pijar netra Mikha yang tadinya hampir redup, kali ini membara. Mendengar Gibran bercerita, lelaki yang selama ini selalu dianggapnya 'baik-baik saja'.

"Mas Janu selalu bilang sama Mikha: kita hidup itu nggak harus selalu menyenangkan buat orang lain. Membuat semua orang harus suka sama kita. Nggak. Kita juga butuh menyenangkan diri, pun menyukai diri sendiri dahulu."

"Terus, kenapa lo persis keong yang kemana-mana selalu bawa rumah. Tiap ketemu orang selalu sembunyi di 'rumah' lo."

Gibran tahu Mikha tidak pernah mengiyakan ajakan ciwi-ciwi kantor tiap makan siang?

"Itu karena Mikha males aja interaksi, terus harus pura-pura baik di hadapan orang. Sok senyum sana sini, aslinya dongkol di hati."

Gibran mendekat. Membuka kacamata miliknya yang dipakai Mikha. "Tapi lo juga makhluk sosial. Suatu saat nanti, lo pasti butuh orang lain selain keluarga lo sendiri, Mikh. Asli nggak ada guna sembunyi dalam tempurung. Sekali-kali lo perlu menghirup bagaimana udara dunia luar."

Lelaki itu kembali memakaikan kacamata pada Mikha, "sana tidur. Jangan sampai besok telat ngantor."

"Mikha nebeng, ya."

"Ogah!" Balik lagi deh Gibran yang biasanya.

Lelaki itu sudah berbalik dan masuk ke dalam apartemennya. Sementara Mikha sedari tadi menggedor pintu tapi tak ada jawaban. Tadi malam sebelum Mikha berdiri di depan pintu apartemen Gibran, dirinya lupa mengganti kode pintu dengan yang baru. Dan yang lama tak tahu berapa.

Melihat arloji di pergelangan tangannya, pukul empat dini hari. Orang-orang pasti sudah lelap dengan mimpinya. Mikha pun mulai dilanda rasa kantuk tapi pintu tak kunjung terbuka.

Dengan keberanian. Mikha balik kanan, grak. Membuka pintu kamar Gibran yang sudah hapal di luar kepala berapa sandinya. Sungguh, lelaki luar biasa ini memberi kode, 1 hingga 6, untuk unit apartemennya. Sangat mudah sekali, bukan. Bagaimana jika ada yang membobolnya.

"Ngapain lo di sini?"

Mikha terperanjat bak maling yang ketahuan masuk kamar orang. "Mbak Suti nggak bangun, Bang."

"Terus?"

Gibran sudah mengganti celana panjangnya dengan kolor setengah kaki.

"Boleh nggak, Mikha loncat lewat balkon."

"Mau ngapain lo? Jangan aneh-aneh. Kalau mau bunuh diri jangan di sini." tolak Gibran.

"Nggak. Mau loncat ke sebelah, hehe." Mikha cengengesan.

"Tidur aja di kamar, gue tidur di sofa. Bahaya kalau lompat lewat balkon. Bukannya membuka pintu apartemen malah membuka pintu surga." Gibran mulai meringkuk di sofa.

"Nggak apa-apa Mikha tidur di sini?"

"Pakai izin segala. Dulu juga lo pernah tidur di sini, Mikh. Masak lupa."

Mikha menggaruk kepalanya yang tertutup kupluk. Aslinya hanya basa basi saja. Dengan langkah riang, dirinya berjalan menuju kamar Gibran. Kemudian menjatuhkan badannya di ranjang lelaki itu. Dulu, saat pertama kali tidur di sini, Mikha dalam kondisi tak sadarkan diri. Jadi, saat sadar masuk kamar Gibran. Matanya tak bisa untuk tidak mengabsen barang apa saja yang terdapat di dalamnya.

Nihil. Kamar Gibran polos. Tidak ada foto terpajang. Hanya ada lemari dengan tiga pintu di sisi kiri, dengan nuansa krem.

Mikha menarik selimut, kemudian menenggelamkan tubuhnya di sana. Merasakan kehangatan lelaki yang selalu membuat jantungnya berdegup. Bahkan hanya mendengar bunyi nafasnya saja, Mikha sudah di buat kalang kabut. Dasar bucin.

Menghirup aroma tubuh Gibran yang tertinggal di selimutnya. Kemudian Mikha pun ikut lelap.

***

Kring ... Kring ... Kring ... Bunyi jam weker yang berada di meja samping ranjang kamar membangunkan Gibran yang tertidur di luar. Sayup-sayup matanya terbuka, belum ada cahaya matahari masuk. Mungkin masih pagi.

Kakinya melangkah menuju kamar. "Bangun, Mikh. Udah pagi, sana balik!" Ucap lelaki itu menarik selimut yang menggulung Mikha.

"Iya..."

Gibran menidurkan tubuhnya di samping Mikha, "sana balik. Gue mau gantian tidur." ujarnya sedikit menarik selimut. Ganti menyelimuti tubuhnya.

"Dingin!" Mikha pun ikut menarik selimut Gibran.

Bukannya beranjak dari sana, Mikha malah ikut lelap di samping Gibran.

***

Wanita itu berjalan menuju apartemen Gibran. Zulaikha merasa perbincangannya dengan Gibran beberapa waktu lalu membuat anak lelaki-nya itu mungkin sedang marah pada dirinya.

Bagaimana tidak. Anak lelaki kesayangannya pulang dengan wajah babak belur. Hati ibu mana yang tidak ikut sakit. Padahal saat kecil dulu, dirinya selalu berhati-hati agar Gibran tidak terjatuh apalagi terluka.

"Jadi, kenapa muka kamu bisa bonyok begini? Padahal selama ini kamu nggak pernah punya musuh sama sekali. Apa ini karena Mikha?"

"Mikha mana ada tenaga buat mukul orang sampai kaya gini, Ma. Dia ngangkat galon aja seumur hidup kayaknya belum pernah."

Gibran sedikit bergurau, berharap ketegangan di wajah Zulaikha memudar.

"Mama serius, Ban. Kamu jangan terlalu deket sama Mikha. Mama takut kamu kenapa-kenapa. Baru kenal berapa waktu aja kamu udah babak belur begini. Padahal kemarin-kemarin nggak pernah ada masalah apapun kan sama orang."

Gibran meradang. "Mama sendiri, kan, yang bilang kalau Iban boleh berteman dengan siapa aja. Nggak boleh memilih teman, apalagi hanya karena dia anak kurang mampu. Mama nggak lupa, kan?"

Zulaikha berdiri. Belum pernah seumur hidupnya, Gibran bersuara dengan nada tinggi di hadapannya. Hanya demi membela seorang wanita.  Hatinya terluka. Dibentak oleh anak saja rasanya sakit luar biasa.

Anak yang dulu saat kecil, kita ajarkan berbicara.

Orang tua dan rasa khawatirnya. Malam itu juga Gibran pergi dari rumah. Kemungkinan menuju apartemennya. Memang, beberapa hari ini tiap kali Zulaikha mengirim pesan. Selalu Gibran balas dengan manis seperti biasa. Tapi, ada yang mengganjal di hatinya jika tak menemui langsung anak lelakinya itu.

Zulaikha mengetuk pintu tapi tak ada jawaban. Masih pukul enam pagi. Harusnya Gibran belum berangkat ke kantor. Menekan tombol bel. Tapi tak ada respon juga.

Pikiran Zulaikha melayang ke mana-mana. Rasa khawatirnya menjulang. Apa Gibran tak ada di tempat.

Tangannya menekan beberapa tombol dan kemudian pintu terbuka. Masuk ke dalam, tapi tak ada yang menyambutnya.

Kakinya melangkah menuju kamar milik Gibran.

"Iban!"

M O N O K R O MWhere stories live. Discover now