dua

14.1K 2.7K 187
                                    

Mikha tengah membenarkan posisi duduknya tepat saat outlander hitam itu mulai merayap di jalan raya. Meski sudah jam pulang kantor, tapi terik matahari masih saja menembus kaca mobil milik Gibran. Mikha merogoh tasnya dan mengeluarkan dua permen lolipop milkita rasa coklat, menyodorkan salah satunya di depan Gibran. Tapi lelaki itu menggeleng. Menolak.

Mikha mengedikan bahu, membuka bungkus permen tanpa menarik plastiknya keluar dari tangkai. Mengemutnya dengan syahdu seolah permen ini adalah hadiah paling menarik.

"Bang, masa Mikha seharian dipanggil Bu Rinda enam kali. Rekor banget, kan?" Mikha mulai berceloteh.

Gibran hanya melirik sejenak. Tak ingin ambil suara, dekat dengan Kila dan Mikha memberikan respon yang berbeda. Kila yang tulus hanya berteman membuat Gibran lebih nyaman, sementara Mikha yang sudah jelas menyimpan perasaan padanya membuat lelaki itu seperti bimbang. Bingung harus merespon apa. Direspon baik, takut dianggap PHP. Direspon biasa, Mikha galau sendiri. Jadi, Gibran memilih diam.

"Lagian Bu Rinda kayaknya terobsesi jadi editor kali, Bang, masa koma aja dipermasalahkan... Ya ampun, memang susah kalau jomblo, nggak ada yang diurusin jadi koma aja diperhatikan sebegitunya."

Mikha mengemut lolipopnya, mengeluarkannya kembali, "Mikha tu sering banget dikatain masuk sana cuma modal dada sama paha. Itu nggak bener kan, Bang Gib? Kalau cuma mau nyari dada sama paha aja harusnya mereka ke KFC," gerutu Mikha sembari membayangkan muka sangar Rinda saat menggerutu demikian.

Gibran menarik satu ujung bibirnya, menertawakan kepolosan Mikha dalam diam. Jika melihat perawakan Nando dan sifatnya, sungguh berbanding terbalik dengan perempuan di sebelahnya.

"Cieilaaah, Bang Gib senyum...  nggak usah ditahan Bang!" Mikha merangsek, mendekat ke arah Gibran. Menempatkan dua telunjuknya pada kedua sisi bibir Gibran, menariknya.

Gibran yang terkejut karena Mikha berada sedekat ini membuatnya sedikit hilang akal. "Awas!" Tangannya secara otomatis memutar setir saat menemukan mobil di depan outlander miliknya.

"Kira-kiralah, Mikh, kita lagi di jalan. Kalau nabrak gimana? Lo nggak sayang sama nyawa lo?" Gibran mengucapkan dengan nada sedikit tinggi.

Mikha yang terdorong menabrak pintu mobil hanya sanggup mengangguk. Mengakui bahwa perbuataannya tadi memang membahayakan. Dia hanya terlalu exited karena menemukan senyum di wajah tampan Gibran.

"Maaf, Bang..." ucap Mikha menyesal.

Gibran menarik napas panjang, kemudian mengembuskan secara perlahan. Mengeluarkan sedikit demi sedikit emosi yang terendap di dadanya. "Ya udah," akhirnya, Gibran memilih mengalah.

Kemudian mengheningkan cipta dimulai.

Gibran sebenarnya orang yang supel, mudah berbicara pada orang banyak bahkan meski belum mengenalnya, tapi kembali lagi jika harus dihadapkan dengan Mikha. Dengan perempuan yang menyimpan perasaan padanya. Tak perlu diucapkan pun, Gibran sudah melihat gamblang dari sikap Mikha selama ini.

Gibran hanya berusaha tak membuat Mikha nyaman, tapi juga tak berniat mengusirnya menjauh. Biarkan hanya diam saja seperti saat ini.

Mikha yang bingung harus berbicara apalagi sama Gibran akhirnya mengeluarkan komik doraemon yang selalu dibawanya di dalam tas. Membacanya sambil mengemut permen. Menenggelamkan dirinya dalam gambar abstrak yang sejak kecil selalu menjadi temannya.

Meski dalam kondisi fokus pada komik di hadapannya, sesekali Mikha melirik Gibran. Kemeja putih yang sudah tergulung sesiku, jam tangan rolex hitam, dan kulit tangannya yang tak memiliki banyak bulu. Hanya tangan, tapi pesonanya sudah membuat Mikha kalang kabut.

Gibran sebenarnya mulai merasa bersalah kala hening menyergap mobilnya. Ditambah Mikha yang juga memilih diam. Harusnya tadi dirinya menghidupkan radio. Mikha menunduk, terlihat begitu menikmati komik dan permen milkita di mulutnya. Persis anak TK. Helai rambutnya yang sedikit berjatuhan membuat Mikha terlihat menarik. Gibran akui itu, karena sensornya sebagai seorang lelaki tak mungkin salah.

---

"Bang, ini rumah siapa?" tanya Mikha saat kecepatan mobil mulai pelan. Ini bukan komplek perumahan miliknya  pun bukan perumahan Gibran.

Shit!

Gibran memaki tingkat kebodohannya yang kian hari kian meningkat. Apalagi semenjak Kila akan menikah. Bego bego... ngapain gue belok ke rumah Nata.

"Bang!" Mikha menoleh, mencoba mencari jawaban dari Gibran yang sedari tadi juga ikut kebingungan.

"Salah jalan," kilah Gibran.

"Masa sih salah jalan sampai sejauh ini. Bang Gib nggak tiba-tiba pikun, kan? Apa karena udah udah lewat 30 tahun. Makanya jadi pelupa."

Gibran tak tau harus menjawab apa. Sesaat sebelum terdengar suara dering ponsel. Mikha merogoh tasnya dan menempelkan ponsel pintar tersebut pada telinganya.

"Mikha, lo di mana? Bisa dirajam Mas lo ini gue kalau tahu lo nggak ada di kantor." Suara Kila menggema di seberang sana.

"Jalan Palem nomer 12 RT 09," jawab Mikha saat melihat plakat yang tertancap di depan rumah megah itu.

"Lo ngapain ke rumah Nata?"

"Nata?" tanya Mikha.

Ponsel di genggaman Mikha terlepas, Gibran menyerobot paksa karena merasa tahu siapa yang menelpon Mikha.

"Bilang sama Janu, adeknya sama gue. Tiga puluh menit lagi nyampe. Nggak kurang apapun."

Klik. Panggilan terputus. Gibran menyodorkan ponselnya pada Mikha. Berniat membelokan mobilnya dan mengantar Mikha.

"Nata siapa, Bang?"

"Bukan siapa-siapa," jawab Gibran sembari memasukan perseneling.

"Nggak mungkin bukan siapa-siapa kalau Abang aja sampai nggak sadar nyetir sampai di sini."

"Diem deh, Mikh, atau gue turunin di sini," ancam Gibran karena Mikha terlihat antusias mengetahui siapa Nata.

"Tadi kan udah janji sama Mbak Kil mau balikin aku ke rumah tanpa kurang apapun. Mikha bisa jaga rahasia kok, Bang. Nggak akan ngadu sama siapa pun." Mikha menoleh pada Gibran dan memberikan tanda pis dengan jarinya.

Gibran berpikir, mungkin dengan menceritakan siapa Nata sebenarnya bisa membuat Mikha mundur sendiri tanpa harus terdorong. Seperti yang dilakukan Kila dahulu. Tak ingin berdesakan dengan orang lain di hatinya.

"Nata itu mantan gue, Mikh, mantan yang belum bisa gue lupain sampai sekarang."

Mikha menoleh, meneliti raut wajah Gibran. Ada satu pukulan dan tamparan telak di wajahnya mendengar penuturan Gibran.

"Bang Gib selalu inget Mbak Nata? Maksudnya setelah putus nggak ada menjalin hubungan lagi sama perempuan?"

Gibran mengangguk. Mengiyakan keduanya. Dia sungguh mengharapkan perempuan manja dan polos ini mundur saja. Karena dia tak mungkin mendorongnya menjauh. Entah kenapa.

Mikha terdiam sejenak, pikirannya berkecambuk. Selama ini yang dia tahu Gibran adalah sosok yang mengagumkan. Bahkan dirinya berpikir Gibran tak mungkin memiliki masalah hati. Namun, semua di luar dugaan. Gibran masih menyimpan satu nama di hatinya.

Itu artinya Gibran masih punya perasaan untuk Nata bukan?

Mikha menelisik jauh pada wajah Gibran yang terlihat lelah.  "Mikha siap gantiin posisi Nata di hati Bang Gib," ucap Mikha lantang.

---

Karanganyar, 27 Mei 2017

FatmaLotus

M O N O K R O MWhere stories live. Discover now