Sepuluh

3K 557 56
                                    

Gaes... Follow akun karyakarsaku ya : Fatmalotus

Happy reading...

---

Akhir bulan yang selalu tidak menyengkan. Deadline ini dan itu. Laporan satu dan lainnya. Menguras tenaga dan pikiran saja. Untung hilal gajian sudah muncul, kalau nggak bisa makin kelabu hari-hari berlalu.

Mikha sedari tadi masih menenggelamkan diri dalam laporan yang sejak tadi pagi tak ada yang benar--menurut Rinda. Sekalipun Mikha lulusan universitas di luar negeri, tetap saja pengalaman kerjanya masih sangat minim dibanding dengan yang lainnya.

"Eh, Bu Rinda kira-kira ada main nggak sama Pak Wisnu? Kapan hari gue lihat mereka masuk mobil yang sama," ungkap Siska, yang duduk di sebelah kanan Mikha.

Masih pagi sudah ghibah!

"Siapa, sih, di kantor kita yang nggak di gebet sama Bu Rinda? Kalau ada yang masuk kriteria pasti di deketin," ujar Ardan, yang duduknya di belakang Mikha.

Kalau begini bagaimana Mikha bisa konsen menyelesaikan pekerjaannya.

"Bos Gibran aja yang paling kebal sama godaan Bu Rinda. Kalau cowok normal pasti udah salto lihat melon Bu Rinda."

Mendengar nama Gibran disebut. Tiba-tiba radar Mikha berbunyi. Secara otomatis, dia memiringkan duduknya menghadap Siska. Siska sendiri udah menebak kalau Mikha pasti akan berbalik.

"Bu Rinda bukannya sudah nikah, ya?" tanyanya memastikan. Kalau Mikha perhatikan; penampilan, kulit, juga dandannya. Harusnya Bu Rinda sudah jauh di atas Mikha.

"Belum nikah, anjir... Dia baru 30 tahun!"

Hah? Mikha membeo persis orang kesambet setan di siang bolong. Sungguh tidak dapat dipercaya.

"Gibran itu termasuk yang super high quality, udah banyak anak magang masuk sini langsung klepek-klepek sama si Bos, jadi, pas lu dateng dan ngaku bakal jadi jodohnya Gibran," ungkap Ardan, "lo jadi bahan gosipan ibu-ibu. Malah ada yang taruhan juga bisa nggak lu ngegaet  si Bos," imbuhnya.

Mikha menerawang ruangan kerja Gibran, memang segitu aneh jika dirinya mengharapkan Gibran menjadi jodohnya. Bukankah ucapan adalah doa?

"Di kantor kita, ada nggak yang pernah jalan sama Gibran?" Akhirnya ke kepoan Mikha muncul juga.

"Kayaknya belum ada. Dari gedung sebelah, sih, kemarin yang paling heboh. Namanya Kila."

Itu Mikha juga tahu.

"Tapi dari semua yang ngedeketin Gibran cuma elu yang bisa keluar masuk mobil Gibran pagi sama sore. Nimas aja, yang udah deket sama Gibran, belum pernah nebeng sama si Bos." Siska kembali menginformasikan.

"Pantes aja Bu Rinda kalau sama gue kaya punya dendam kesumat. Oh, bisa jadi karena gue ngaku kalau jodohnya Gibran. Titik sama koma aja sama dia jadi masalah. Lagian, tunggu aja bentar lagi undangannya pasti nyebar!" curhat Mikha.

Siska dan Ardan saling lirik. Mikha ini tergolong pendiam. Terus sekarang anak itu bisa ngomong lo gue. Berasa udah asik aja, kan, sama Siska dan Ardan. Padahal awalnya mereka pikir si Mikha ini, nggak akan bisa ngomong panjang kaya pas ngomong sama Gibran.

Bayangkan saja, sudah dua minggu duduk bersebelahan. Mikha dan Siska belum pernah makan siang bareng. Ngegibah aja baru kali ini. Itupun karena objek yang diomongongin si Gibran.

Beda sama Ardan yang memang suka ceplas ceplos sana sini. Kadang nggak di gubris Mikha aja, lelaki itu masih suka pinjem pulpen lah. Ini lah itu lah.

"Gue ke ruangan Bang Gib dulu, ya," pamit Mikha. Mengambil paperbag yang dibawanya dari rumah.

Pagi tadi Mikha memang tidak meminta dijemput padahal biasanya sudah merengek dan mengancam pada Gibran akan membangkrutkan kantornya. Dan jawaban Gibran saat itu dengan santainya, "kalau ntar kantor bangkrut, gue tinggal pindah kerjaan. Jadi kita nggak bakal ketemu lagi."

M O N O K R O MWhere stories live. Discover now