Satu

22.2K 3.5K 379
                                    

Dingin masih menyelimuti, begitu juga dengan matahari yang terlihat enggan menampakan cahayanya, pun demikian dengan lelaki yang masih betah bergulung di ranjangnya. Gibran sudah terbangun sejak sepuluh menit yang lalu, hanya saja nyawanya belum terkumpul sempurna. Ditambah dengan kebingungan membaca pesan dari sang Mama.

From : Mama
Ban, besok ikut Mama ke rumah Sitta, ya?

Shit!

Gibran menggeram dalam hati, Sitta siapa? Gadis mana lagi yang hendak Mamanya coba kenalkan dengan dirinya. Lelaki itu meloncat dari ranjang, berjalan menuju lemari kaca yang berada tepat di sisi apartmen. Menilik adakah yang salah dengan dirinya hingga tetap sendiri di usia kepala tiga.

Tampang? Oke.

Pekerjaan? Menjamin.

Kurang apa? Gibran meneliti tubuhnya yang hanya terbalut bokser hitam di atas lutut.

Hati? Gibran menggeleng, dia melupakan bagian terpenting. Wanita tak hanya butuh uang dan tampang, mereka juga butuh dicintai.

Gibran menjulurkan tangan guna mengambil ponsel di atas nakas, menekan speed dial nomer sembilan.

"Hallo...." sapa Gibran saat teleponnya terangkat.

"Hallo," jawab suara berat di seberang sana.

Aelah, si Monyet. Desis Gibran saat mendengar suara lelaki di seberang sana bukanlah yang dicarinya. Matanya melirik jam dinding, masih pukul setengah enam pagi.

"Ngapain lo di apartmen Kila pagi buta?"

"Ada perlu apa telepon Kila pagi buta?"

Shit! Gibran kembali mendesis saat mendengar pertanyaan Januar. Benar juga, untuk apa dirinya menelepon Kila sepagi ini?

"Kila di mana?"

"Mandi..." Kemudian terdengar krusekan di seberang sana, "hallo, Bran, ada apa?" sapa seorang wanita yang dicarinya.

"Ntar malem ikut gue ya, Bun. Gue males ikut nyokap ke rumah temennya," ucap Gibran jujur.

"Ogah. Bisa gagal kawin gue kalau ketahuan masih suka jalan nggak jelas sama lo."

"Ya udah kawin aja sama gue," ujar Gibran santai.

"Ogah ya, Bran. Lo aja terancam gagal dapet warisan karena belum nikah sampai sekarang," Kila cekikikan di seberang sana.

Telak. Gibran melupakan seberapa realistis Kila ini.

"Gimana kalau sama adeknya Januar yang waktu itu?"

"Mikha?"

"Yoi, gimana?"

"Ogah, Kil. Gue nggak mau dianggap pedofil karena bawa anak dibawah umur ke sana. Yang ada gue langsung disuruh kawin sama nyokap gue," jelas Gibran menolak.

"Mikha udah 23 tahun, Bran. Dia udah bisa nonton film yang kena sensor, Bran."

"Baru 23 tahun, Kil," ucap Gibran jengah, "ya udah, gue ngajak yang lainnya aja."

"Ya udah, Januar udah melotot juga dari tadi."

Klik. Sambungan telepon Gibran putus terlebih dahulu. Kila akan menikah bulan depan. Teman sejawat. Teman segilanya. Teman dari segala macam teman. Sudah mendapatkan titik akhir dari hidupnya, sementara dirinya? Masih berputar di tempat yang sama, yang entah di mana ujungnya. Gibran mendesah berat, menarik handuk dan memilih mandi. Setidaknya air bisa mendinginkan kepalanya dan mengalirkan segala sesak yang selalu dirasanya.

M O N O K R O MWhere stories live. Discover now