Dua Puluh

3.7K 696 114
                                    

Mikha bersidekap, memberi tatapan bertanya pada Gibran, "kenapa memang kalau Mikha jalan sama Aidil?"

Tak ada jawaban. Gibran malah menyelami netra hitam milik Mikha yang terasa memabukkan. Mencoba mencari jawaban atas pertanyaan dari wanita itu.

"Kalau cuma masalah kami belum kenal lama, Bang Gib tenang aja, besok besok besoknya lagi akan menjadi waktu perkenalan kami," imbuh Mikha.

"Tapi gue nggak suka," kembali Gibran mengulang pernyataannya barusan.

"Alasannya apa?" Mikha maju selangkah. Ikut menantang Gibran lewat tatapan matanya. "Orang nggak suka sama sesuatu itu pasti ada alasannya. Sama kaya seseorang yang nggak suka makan sesuatu, mereka pasti punya alasan. Dan Mikha mau tanya apa alasan Bang Gib nggak suka Mikha jalan sama Aidil."

Menerima tantangan Mikha, Gibran pun memajukan langkahnya. Membuat tubuhnya hanya beberapa senti di depan wanita itu. Dari jarak sedekat ini, Gibran mampu menghidu bau strawberry yang menguar dari rambut Mikha.

Ingin hati, Mikha loncat saja ke dalam dekapan lelaki ini tapi egonya menolak. Ada sesuatu yang selalu membelenggunya untuk tetap diam di tempat, "persis sama Bang Gib yang nggak suka sama Mikha," memundurkan langkahnya, memberi jarak antara keduanya, "karena Bang Gib terlalu abu," imbuhnya. Lebih baik memang kembali ke sangkarnya, daripada dirinya luluh kembali oleh pesona Gibran yang selalu menenggelamkan dirinya.

***

"Lo kaya daster gue yang udah tahunan numpuk di keranjang tau nggak, Bran." Nimas meletakkan nasi goreng di meja yang sama dengan Gibran. "Kusut.," ungkap Nimas kembali. "Jangan kaya cowok yang habis ditinggal nikah dong, Bran."

"Lo ngelihat Mikha nggak?" bukannya menjawab, Gibran malah ganti bertanya.

Nimas mengembuskan napas, malas menjawab pertanyaan Gibran, "tadi gue lihat sama Aidil jalan keluar gedung."

"Tumben," komentar Gibran pada informasi yang diberikan Nimas.

"Lo suka sama Mikha?"

Melotot, Gibran menoleh pada Nimas. Memberi tatapan yang tak mampu diartikan. Karena tak mungkin dirinya menyukai Mikha sebagai seorang lelaki kepada wanita.

Gibran hanya terbiasa dengan suara bising Mikha yang jika bercerita tak ada habisnya. Gibran hanya terbiasa dengan Mikha yang selalu menempel padanya persis lintah. Gibran hanya terbiasa dengan Mikha di hari-harinya yang membosankan. Jadi, saat menemukan Mikha sudah tak berada di sekitarnya, mungkin Gibran hanya belum terbiasa. Pasti.

"Gue duluan, Mas," pamit Gibran.

"Udah gue peringatkan buat nggak manggil gue Mas."

Kembali ke ruangan kerja. Gibran sudah duduk di kursi kebesarannya. Walau terhalang dinding, tapi tawa Mikha di luar sana masih mampu menembusnya.

"Thanks ya, Dil. Udah ngajak gue makan cakalang yang wenak pol."

Mikha yang selalu memuji makanan apapun yang masuk ke perutnya. Bahkan jika rasanya aneh, Mikha akan tetap mengatakan enak.

"Gue pikir lo nggak bisa masuk warteg."

Gibran memasang headset dengan volume maksimal. Membuat obrolan di luar sana tak terdengar sama sekali, bahkan jika ada yang mengetuk pintu, Gibran pun tak akan menyadari.

Padahal biasanya, Gibran tetap akan berkosentrasi meski kantor riuh seperti apapun. Mengapa kali ini rasanya berbeda...

***

Sore itu Gibran mengisi bahan bakar di salah satu pom yang memang dilewatinya saat pulang kerja. Ketika hendak keluar dari sana, Gibran melihat badut mengenakan kostum sapi membawa balon dan kardus bertuliskan 'bayar seikhlasnya'.

M O N O K R O MWhere stories live. Discover now