Enam Belas

2.8K 588 69
                                    

Jika mengikuti teori balas dendam. Harusnya Mikha membalas semua yang terjadi padanya lebih dari yang diterima. Air mata dibalas dengan air mata. Jika perlu dengan air mata buaya.

Namun, dalam prakteknya. Nihil. Padahal sedari awal Mikha sudah meniatkan dalam hati akan mengremasikan nama Gibran di hatinya, kemudian akan disebar dalam toilet dan berakhir dengan menekan tombol flush.

Gibran itu seperti air mengalir yang jika Mikha berdiri di sisi airnya langsung terkena arus dengan sangat mudah. Bagaimana tidak, hanya disogok kupat tahu saja dirinya sudah lembek persis nutrijel yang tadi pagi dibuatkan Suti untuk dirinya.

Tengah malam dan Mikha berdiri di depan flat apartemen Gibran. Tangannya ragu ingin memencet tombol bel yang tersedia di samping pintu. Belum sampai niatnya terlaksana, pintu tersebut sudah terbuka.

Lelaki itu kaget menemukan Mikha berdiri di depan pintu apartemennya. Kepalanya menengok ke kanan kiri. Tapi tak ada selain Mikha. Matanya ganti memindai dari atas sampai bawah. Takutnya kaki wanita di depannya ini tidak menginjak tanah.

"Lo ngapain di sini tengah malam begini, Mikh?" Akhirnya Gibran bersuara.

Belum sempat Mikha menjawab, pintu flat depan apartemen Gibran terbuka, "Mbak, nggak mau langsung tidur?"

"Lo pindah ke sini??" Kali ini Gibran benar-benar menunjukan keterkejutannya.

Mikha mengangguk. "Biar Bang Gib nggak perlu muter kalau mau jemput atau nganter Mikha pulang. Judulnya sekarang kan satu arah. Udah nggak ada alasan lagi," jelas Mikha cengengesan.

Gibran menengok ke belakang punggung Mikha, "si Mbak lo bawa juga?" tanyanya sambil mengangguk sopan menyapa Suti.

"Jelas. Kalau nggak ada Mbak Suti bagaimana nasib cacing-cacing dalam perut Mikha."

Mikha mengamati Gibran. Lelaki itu memakai kaos hitam, celana jeans berwarna hitam, dan sepatu converse. "Bang Gib mau kemana?" tanya refleks. Tak mungkin jika hanya ingin di dalam apartemen saja lelaki itu memakai sepatu, bukan?

"Ada urusan," jawab Gibran. Mengalungkan tas di pundaknya.

"Urusan apa? Jangan bilang mau ketemu sama Mbak Shila. Mikha nggak kasih izin." Mikha membentuk huruf 'x' di dada menggunakan kedua lengannya.

"Nggak ada urusannya sama Shila."

"Kalau begitu Mikha ikut."

"Bukan untuk anak dibawah umur, ya. Lo di apartemen aja tidur. Biar besok nggak kesiangan buat ngantor."

"Bang Gib sendiri gimana?"

"Besok bolos." Gibran sudah berjalan menuju pintu lift.

"Mbak. Mikha pulang agak telat, ya," ucapnya setengah berlari. Takut kehilangan jejak Gibran.

Sampai di basement. Mikha duduk tanpa di persilakan oleh Gibran. Sungguh sangat mandiri sekali dirinya ini. Memakai seatbelt pun seorang diri.

Desau angin malam membuat bulu kuduknya merinding. Padahal AC mobil sudah paling rendah. Tak sampai tiga puluh menit, HR-V hitam yang dikendarai lelaki itu berhenti. Di sebuah tempat yang sangat tidak familiar untuk Mikha.

Setelah mematikan mesin. Gibran menoleh pada Mikha. Wanita itu hanya memakai kaos dan celana setengah paha. Tangan Gibran terjulur ke belakang jok guna mengambil hoodie, penutup kepala, dan kacamata.

"Pakai itu, Mikh," titahnya.

Mikha mengambil pemberian Gibran dengan wajah bingung,"kita di mana, Bang? Jangan bilang ini tempat prostitusi."

M O N O K R O MWhere stories live. Discover now