31

3.1K 449 36
                                    

"Seriusan lo belum nikah? Jangan karena istri lo nggak di sini jadi lo bisa ngaku jomlo seenaknya," timpal Haikal merasa tidak percaya dengan pernyataan Gibran.

"Gue tunjukin KTP gue kalau nggak percaya," jawab Gibran. Menjelaskan kenyataan yang ada.

Haikal dan Gibran satu alumni. Di sekolah menengah yang sama. Tidak menyangka sekarang dipertemukan kembali sebagai kliennya.

"Padahal dulu lo most wanted banget, ya, Bran. Kayaknya dulu cap cip cup sekali tunjuk cewek langsung pada mau jadi cewek lo," imbuh Haikal mengenang masa lalu.

Gibran mengaduk es tehnya menggunakan sedotan, "sampai sekarang juga masih begitu, Kal. Masalahnya sekarang gue nyari teman hidup bukan teman main," ujarnya. Menyeruput minumnya.

Gibran memperhatikan Haikal. Dulu lelaki itu hanya biasa saja di sekolah. Tak pernah mengikuti organisasi apapun, tak pernah menjuarai olimpiade sekalipun, dan tidak seterkenal dirinya. Intinya Haikal hanya siswa biasa di sekolah.

Namun lihatnya setelah belasan tahun berlalu, Haikal memiliki perusahaan property, sudah menikah, dan memiliki dua anak.

Sementara dirinya. Si most wanted tadi kata Haikal. Ketua OSIS, selalu menjadi lima besar paralel, Pun masuk kampus impian. Masih menjadi seorang karyawan yang bisa dihempas kapanpun. Walapun jika Gibran memutuskan untuk pensiun dini, dirinya tak akan kelaparan.

Tapi tetap saja, dirinya bekerja untuk memperkaya orang lain.

Bagaimana dengan kalian si juara kelas, sudah jadi apa sekarang?

"Mau gue kenalin sama karyawan gue?"

Ponsel Gibran bergetar.

Mikhacu : bang gib
Mikhacu : bu Rinda kurang sajen apa hari ini. Semua-semua kena amuk. Salah font aja merepetnya setengah hari :(

Seulas senyumnya terbit. Menscroll kembali pesan-pesan dari Mikha yang hari ini hanya terbaca tanpa ada balasan dari dirinya. Semenjak tiba tadi pagi, Gibran tak sempat membaca pesan. Hanya sempat memberi kabar bahwa dirinya sudah tiba di Surabaya.

Sepertinya Mikha juga mengalami hari yang melelahkan. Membayangkan wajah kusutnya hari ini pasti mampu meleburkan lelahnya.

"Tapi kayaknya lo udah punya pacar?"

Gibran mengangguk. Entah menyebut hubungan dirinya dan Mikha bagaimana. "Tapi belum mau dikawinin, Kal." Jujur.

Haikal membereskan laptopnya, "semua perempuan juga kayaknya begitu, Bran. Tapi kalau lo hamilin pasti langsung mau dinikahin juga," guyon Haikal.

Gibran tergelak. Bagaimana bisa Gibran melakukan hal demikian jika menatap wajah Mikha yang setengah ketakutan karena diserangnya malam itu sudah membuatnya menyesal setengah mati. Beruntungnya Gibran masih sanggup menginjak pedal rem di dirinya. Jika tidak mungkin hari ini dirinya tak akan mendapatkan pesan konyol dari Mikha.

"Gue balik dulu, ya, Kal. Besok langsung ketemu di proyek ya," pamit Gibran. Badannya sudah tidak nyaman. Ingin merebahkan badan kemudian menyapa Mikha lewat panggilan telepon.

"Naik apa? Mau gue anter nggak?"

"Nggak usah." tolak Gibran, tak enak hati karena Haikal pasti ditunggu anak dan istrinya di rumah. "gue bisa ngojek atau ngegrab ke hotel."

Selama perjalanan dari tempat meeting sampai hotel. Gibran banyak berpikir. Menemukan Haikal kembali membuatnya menyadari bahwa sebenarny kita tidak boleh menjudge seseorang hanya karena masa lalu.

Pun Gibran sedikit malu karena waktu pertama kali bertemu Haikal. Lelaki itu langsung mengenali dirinya sementara Gibran terus memaksa otaknya memroses kenangan masa lalu. Hanya karena mulutnya sulit mengucap nama Haikal. Mengenali wajah Haikal tapi lupa dengan namanya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 13, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

M O N O K R O MWhere stories live. Discover now