Sembilan

2.9K 524 40
                                    

Ada, tapi tak teraba; hatiku

---

Menikah. Andai prakteknya semudah kencing di celana. Gibran nggak mungkin masuk nominasi jomblo ngenes lagi tahun ini. Tapi, nikah bukan sekedar ijab, enak-enak, punya anak, lalu bahagia.

Bah! Kalau begitu, nggak mungkin perceraian marak dimana-mana. Apalagi musim PHK begini. Sudah pasti pengadilan agama penuh dengan pengajuan perceraian.

Contoh sederhana: menemukan sahabat yang pas. Kita butuh proses yang lama untuk menemukan yang cocok. Begitu juga mencari teman hidup.

Lelaki itu menoyor kepala Mikha, ringan, "ayo balik. Gue takut lo kesambet penunggu trotoar ini," ajak Gibran. Berdiri dari tempat. "Lagian kasihan kalau lo sampe masuk angin di sini," imbuhnya kembali.

Jika dalam novel yang sering diceritakan Nata. Sang lelaki akan memberikan jas-nya sebagai pelindung untuk sang wanita. Berdeda dengan situasi kondisi saat ini. Dirinya hanya mengenakan batik panjang ditambah chinos krem. Terkesan kasual tapi nggak malu-maluin kalau dibawa ke acara formal.

Ah... Nata lagi.

"Nggak mungkin sampai masuk angin! Soalnya kalau deket sama Bang Gib itu malah kehangatan yang menyerang Mikha. Menghalau angin yang mau masuk ke tubuh. Bang Gib itu penambah imun," selorohnya. Ikut beranjak dari sana.

Gibran tersedak ludahnya sendiri. Biasanya lelaki yang tukang gombal lah ini kebalikannya. Mikha belajar dari mana rayuan gombal tapi garing begini. Mungkin dari Januar?

Tangannya tanpa sadar meraup wajah Mikha. Kesel juga gemes.

"Bulu mata Mikha copot," gerutunya karena bulu mata pasagannya sudah lepas dari tempatnya. Dengan kesal dirinya menarik keduanya. Sekalian aja lah nggak usah pake. Kelihatan gundul, gundul dah.

Gibran tergelak melihat Mikha memanyunkan bibir.

Tawa itu tak lepas dari indra pendengaran Mikha. Berterima kasih kepada semesta karena menjadikan Gibran tetap sendiri hingga saat ini. Membuat dirinya dengan leluasa menikmati karya Tuhan yang begitu sempurna.

Suasana mulai sepi saat dirinya membuka ruangan tempat resepsi berlangsung. Mungkin sudah pada pulang karena waktu pun sudah cukup malam. Matahari sudah selesai dari tugasnya dan beristirahat guna menjalankan tugasnya esok hari.

"Mikh, ayo foto!" ajak Kila.

Mikha menarik tangan Gibran, mengajaknya berfoto di pelaminan bersama Kila dan Januar.

"Mikha boleh nyolong bunganya nggak? Biar cepet nyusul Mas Janu sama Mbak Kil," ungkap Mikha.

"Tiga atau empat tahun lagi lah, Mikh, Mbak aja dapet Masmu udah mau 28 tahun." Meski demikian, Kila tak sungkan memberikan beberapa butir bunga pada Mikha.

"Kelamaan Mbak, ntar Bang Gib keburu makin tua."

"Gibran???" tanya Januar. Mukanya penuh tanda tanya. Apa di dunia ini tak ada lelaki selain Gibran Wiratama.

Selepas mengucapkan selamat, Gibran beranjak turun dari pelaminan. Tetap berada di sana membuat lukanya yang belum sepenuhnya sembuh terasa seperti tersiram minyak panas. Pedih!

Apalagi Kila nggak ada malunya mencolek dagu Januar, memintanya untuk tersenyum. Gibran masih cemburu karena Kila menikah?

Tentu saja tidak! Dirinya bahagia karena Kila jatuh pada lelaki yang tepat. Gibran hanya iri. Iri karena Kila juga sudah menemukan tambatan hati sementara dirinya masih seorang diri.

Tubuhnya hampir terjengkal karena Mikha tiba-tiba mengalungkan tangan pada lehernya, "Mikha cariin juga dari tadi, taunya udah mau pulang aja, Mikha nebeng dong!"

M O N O K R O MTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang