Dua Puluh Lima

2K 410 35
                                    

Gibran tak serta merta memahami definisi berjuang. Dirinya melepaskan Nata demi pendidikan, dan saat mengetahui bahwa perempuan itu telah menjadi istri orang. Yang dilakukannya hanya menyesali segalanya.

Pun saat Kila memilih Januar. Gibran tak jua meminta perempuan itu untuk bersanding dengannya. Yang Gibran lakukan hanyalah merelakan sahabatnya itu menjadi milik Januar yang lebih banyak memperjuangkan Kila daripada dirinya.

Tapi dengan Mikha? Gibran juga tak banyak berjuang. Gibran cukup menerima segalanya. Tapi bukankah sebuah hubungan itu harus terjadi dengan dua interaksi.

Betul kata Mikha. Jika hanya Mikha saja yang terus-terusan menarik dirinya untuk keluar dari labirin ini sementara Gibran hanya tutup mata. Bukankah sama saja dirinya pengecut? Seperti yang dikatakan Januat dulu saat dirinya mendapatkan pukulan di wajahmya.

"Rom, lo gantiin gue dulu hari ini," pinta Gibran pada seorang lelaki yang duduk di sampingnya.

"Belum juga perform, udah nggak jadi aja. Mau ngapain sih lo?" Tanya Romi.

"Ada urusan sama nyokap," jawab Gibran mengambil jaket dan berlalu dari sana. Dirinya sudah mengenakan kaos hitam dan celana hitam yang memang sengaja Gibran bawa di mobil.

Sesaat sebelum Gibran naik ke atas panggung, sebuah pesan masuk di ponselnya. Pesan dari Mamanya berisi sebuah foto Mikha. Mengingat terakhir kali pertemuan mereka, Gibran sepertinya harus segera pulang. Khawatir Mikha tak sanggup menghadapi Mamanya.

***

Sampai di depan apartmen, Gibran bergegas masuk tanpa melepas alas kakinya terlebih dahulu. Takut jika Mikha menciut di hadapan Mamanya yang sejak awal tak suka dengan Mikha.

"Iban, kamu udah pulang?" Ibunya datang dari arah dapur. Seorang dirinya.

Gibran celingukan mencari Mikha. Kemudian matanya tertuju pada pisau yang di bawa Zulaikha. "Mikha mana?" tanya Gibran.

"Kamu nggak nyariin Mama? Kamu udah beberapa minggu nggak pulang loh!"

Gibran kemudian mendekat dan mencium pipi Mama tercintanya. "Iban juga kangen sama Mama," ucapnya, Gibran tahu maksud mamanya ke sini karena rindu.

Gibran tak sengaja melihat siluet di dapur, meninggalkan Mamanya, dia berjalan menuji dapur. Mikha berdiri dengan apron hitam miliknya.

"Mikh ..."

Gadis itu menoleh, "loh udah balik? Sopnya belum mateng."

Berjalan mendekat. Gibran meneliti gadis itu dari atas sampai bawah. Tangannya terulur memegang pundak Mikha. Memutar gadis itu 180 derajat ke kanan dan ke kiri.

"Kamu tenang aja, Mama nggak sejahat itu sampai nyincang anak orang," ujar Zulaikha yang menyaksikan anak lelakinya khawatir.

Hembusan napas lega terdengar. "Lo masak?"

Mikha mengangguk, "Tante Zulaikha yang ngajarin, nanti cobain. Pasti enak."

"Iyalah. Mama nggak mau kamu mati kelaparan nanyi," jawabnya.

"Iban udah biasa hidup sendiri, Mah. Dan baik-baik saja."

"Mama hanya memastikan."

Gibran menoleh pada Mamanya, memberi isyarat agar Zulaikha mengikuti dirinya ke dalam kamar.

Zulaiikha menurut, mengikuti anak lelakinya. "Kenapa kamu natap Mama gitu?"

"Ma ... Iban kqn udah bilang kalau ..."

"Kalau apa? Kamu menolak Mama kenalkan sama anak temen Mama dan memilih Mikha itu?"

"Astaga ... Masih aja, Iban cuma nggak mau bikin Mama kecewa kalau sampai nggak cocok sama salah satu dari mereka."

M O N O K R O MDonde viven las historias. Descúbrelo ahora