Lima Belas

2.8K 655 75
                                    

Gibran : gue di luar.

Mikha terpekur sejenak. Sedikit memroses pesan yang barusan di kirim Gibran. Mungkin karena efek bangun tidur semua sistem sarafnya belum terkonek.

Ketika sadarnya sudah menyapa. Mikha terduduk di ranjangnya. Ini weekend, bukan?

Sejujurnya Mikha penasaran tapi hatinya kecilnya mewanti-wanti untuk tidak kecewa. Takut Gibran hanya memberi prank pada dirinya.

Namun, bukankah sudah biasa dirinya dilambungkan kemudian dihempaskan.

Jadi, daripada penasarannya makin membuncah. Mikha keluar kamar dan turun menuju ruang tamu. Tidak ada siapapun.

"Mbak, mau kemana?" tanya Suti, pengasuh yang merangkap sebagai ART di rumah ini.

"Keluar bentar, Mbak. Siapa tau ada tukang cilok lewat," tukas Mikha beralasan.

Suti yang mengelap meja tersenyum, "kalau ada Mbak juga mau, lima ribu aja ya," pintanya.

Mikha mengangguk.

Selama dalam pengasuhan Suti, Mikha tak pernah diajarkan untuk memilih makanan. Suti pula lah yang mengatakan bahwa ada banyak orang di luar sana yang bahkan untuk membeli beras saja tak sanggup. Sejak kecil, selalu itu yang terpatri di kepalanya. Itulah mengapa, lidahnya terlalu merakyat.

Tiba di gerbang, Mikha menyapa satpam rumahnya. "Pak. Ada tamu nggak?"

Beliau menggeleng. "Nggak ada, Mbak. Emang nungguin siapa? Paketan?"

Mikha menggeleng. Melongokan kepalanya lewat lubang terdapat dalam besi penyangga itu.

Nihil. Tidak ada outlander hitam milik Gibran. Kesal. Mikha harusnya sudah hapal dengan lelaki itu. Kenapa pula masih masuk jebakannya.

Gibran : sebelah kanan.

Hah? Mikha akhirnya membuka pintu dan menengok ke arah kanan.

Gibran di sana. Duduk dalam mobil H-RV hitam. Entah milik siapa.

"Mau kemana, Mbak?" tanya Satpam rumah.

"Ke sana dulu, Pak. Ada temen," jawab Mikha.

Langkahnya mendekati Gibran. "Kenapa, Bang?"

Gibran memberi kode dengan kepalanya, untuk Mikha masuk ke dalam mobil.

Mikha pun mengitari mobil dan masuk dalam mobil.

"Temenin gue sarapan."

"Nggak mau!" tolaknya.

Bagaimana tidak, Mikha hanya mengenakan celana panjang, dan baju baby doll bergambar minion. Iler masih di mana-mana. Makin jatuh kalau dibanding Gibran yang sudah rapi dengan kaos hitam berkerah dengan aksen garis merah di depannya. Ditambah celana pendek berwarna senada. Rambutnya pun sudah klimis. Itu artinya Gibran sudah mandi.

Bisa dianggap adik pungut kalau begini caranya.

"Kata Ardan di deket sini ada tahu kupat enak, gue pengin nyobain. Makanya ngajakin elo biar ada temennya makan."

"Ogah! Mikha masih kaya gembel kaya gini," tolak Mikha kembali.

"Gue belum makan dari semalem," ujar Gibran kemudian.

"Loh, bukannya Bang Gib pulang ke rumah. Emang ..." Omongan Mikha terputus, biasa dirinya memanggil Zulaikha dengan embel-embel mertua. Lah kalau sekarang harus bagaimana. "Nggak masak?" Lanjutnya lirih.

"Semalem gue balik ke apartemen."

"Sama siapa?"

"Sendirian," jawab Gibran santai. "Males kena omel Mama."

M O N O K R O MTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang