Dua puluh tiga

3.1K 490 54
                                    

Suara gemericik air terdenger saat Gibran membuka pintu. Ada pemandangan tak biasa tertangkap netranya. Mikha tengah berdiri di depan westafel. Membiarkan jari lentiknya basah dan bercampur dengan sabun. Mikha nampak sudah lihai mencuci gelas dan mangkok.

Dengan perasaan penuh rasa haru, Gibran meletakan gelas kotor yang dibawanya dari kamar untuk Mikha cuci sekalian.

Mikha menoleh. Gibran sudah berpakaian lengkap. Polo shirt warna putih, dipadukan dengan celana kargo selutut berwarna hitam. Bolehkah Mikha tersenyum bahagia?

Gibran sudah tak abu.

"Bukannya lo ke klub ya?" tanya Gibran. Teringat dengan pesan yang dikirim Ardan kemarin siang.

Mikha menggeleng. Menyelesaikan cuciannya dan mengelap tangannya sebelum beranjak. Mengikuti Gibran duduk di sofa depan televisi. Memberi beberapa senti jarak antara mereka. "Lah ngapain Mikha ke klub siang-siang? Ikut bantu beberes?"

Lah, iya juga ya. Gibran merasa sungguh bodoh karena dengan mudahnya tertipu pesan dari Ardan.

"Bang Gib sehari ngopi berapa kali?" tanya Mikha gantian, karena gelas kotor itu berisi sisa kopi. Bukankah Gibran di apartmen hanya saat pulang kantor.

Gibran menepuk sofa di sebelahnya, meminta Mikha mendekat. Mikha pun dengan senang hati duduk di sebelah Gibran.

Lelaki itu berbaring, kemudian meletakannya kepalanya di pangkuan Mikha. Kemudian memejamkan mata. Sungguh, Gibran juga lelah. Andai Mikha tahu. Beberapa hari tak mendengar suara berisiknya saja membuat tidur lelaki itu tak nyenyak.

"Kalau kepala gue pusing, gue selalu minum kopi hitam," Gibran menjawab tanpa repot membuka mata.

Mikha yang tanpa persiapan mendapatkan perlakuan demikian dari Gibran hanya mampu menahan nafas. Semoga Gibran tak mendengar detak jantungnya yang mulai tak teratur.

Kruuuk ...

Mikha memegang perutnya. Gibran yang mendengar pun membuka mata. Wajahnya sekatika berhadapan dengan wajah Mikha yang sedang menunduk. Membiarkan rambutnya tergerai ikut menutupi sebagian wajahnya. Kenapa Gibran tak pernah menyadari jika selama ini Mikha selalu ada,  kenapa Gibran selalu saja mempersulit keadaan dengan mengatakan tak butuh Mikha.

Memperumit hidup saja memang Gibran ini. Andai sejak dulu dirinya tak banyak berfikir, mungkin tak perlu merasakan sakit kepala karena kurang tidur tiap malam.

"Lo laper?"

Anggukan kepala itu sebagai jawaban. Tadi saat di ruko bakso milik keluarga Aidil. Mikha hanya menyeruput es tes sedikit tanpa memakan satu bakso pun. Jadilah perutnya hanya terisi air. Ditambah energinya habis untuk menangis dan berteriak tadi.

"Ayo, makan. Lo mau makan di mana?"

Mendengar ajakan Gibran, Mikha tersenyum lebar. Menampilkan deretan giginya yang tertata rapi.  "Lagi pengin steak."

Mikha beranjak, "kalau gitu Mikha ganti baju dulu," celotehnya.

"Ngapain ganti baju?"

Mikha meneliti dirinya, celana jeans hitam ditambah blouse hijau muda. Mikha merasa tampilannya terlalu biasa saja. "Gue juga cuma kaosan, santai aja."

"Bang Gib lebih suka cewek kue atau cewek bumi?"

Gibran masih diam saja. "Apaan cewek kue?"

"Jawab aja, suka yang mana?"

"Suka sama lo ..."

Pipi Mikha menghangat, ada gelenyar di perutnya. Ah ... Lelaki ini bisa saja. Dengan spontan Mikha menutup wajahnya, menyembunyikan rasa bahagia hanya karena pernyataan suka yang dilontar Gibran.

M O N O K R O MWhere stories live. Discover now