PVSA - 06

208 12 0
                                    


Keesokan harinya, para polisi menghadiri upacara pemakaman tiga orang polisi yang tewas di rumah sakit saat menjaga Rayna. Terlihat Bella dengan seragam lengkapnya dalam foto yang diletakkan di meja. Ya, Bella adalah seorang polisi, bukan suster. Waktu itu dia menyamar menjadi suster untuk mengawasi Rayna dari dekat. Sementara dua polisi lainnya adalah yang berjaga di depan pintu kamar Rayna.

"Seandainya waktu itu dia membawa pistol, maka dia tidak akan berakhir seperti ini," gumam Marla. Dia menitikkan air matanya.

Setelah upacara pemakaman selesai, para polisi pun kembali ke kantor. Mereka melakukan aktivitas seperti biasa. Terdengar suara dering telepon setiap waktu. Ya, itu adalah hal yang biasa terjadi.

Ferdad tersentak kaget saat ponselnya yang berada di dalam saku celana bergetar. Pria itu segera melihat ponselnya, ternyata Rayna mengirimkan chat.

Jangan lupa makan siang, yaaa. Semangat bekerja.

Ferdad membalasnya, "Iya, kau juga. Jangan lupa minum obatnya."

Pria itu meletakkan kembali ponselnya ke saku celana. "Tentu aku semangat bekerja. Pekerjaan ini mengharuskanku menangkapmu, Rayna."

Ferdad sedang melihat kembali data-data para penjahat yang dia kejar.

** Flashback **

Dor!

Ferdad bersembunyi di balik dinding sambil memegang pistol. Seorang gadis membidik ke arah dinding dengan senapannya.

Dor!

Ferdad memasukkan peluru ke pistolnya. Dia menembak ke arah gadis itu, tapi gadis itu lebih cepat dan berhasil menembak lengannya.

"Hhh." Ferdad memegang lengannya yang berdarah.

Gadis itu menegakkan tubuhnya. Ternyata dia adalah Rayna. Gadis itu tampak berbeda. Selain tatapannya yang tajam, dia juga tidak terlihat memiliki belas kasihan.

"Apa yang kau harapkan dari misi ini? ARN saja tidak mampu menangkap kami. Apalagi kalian," ucapnya.

Ferdad melihat beberapa rekannya sudah tewas bergeletakan karena kecerobohannya.

"Seharusnya kau tahu posisimu."

** End Flashback **

Ferdad menghela napas berat.

Di rumah, Rayna melihat album foto kenangan dirinya bersama Ferdad. "Kenapa ekspresiku datar sekali, ya? Hanya ada satu atau dua foto saja aku tersenyum."

Rayna mendengar suara tembakan di luar rumah. Dia melihat ke jendela. Ternyata ada dua orang pemburu. Mereka memburu seekor rusa.

Melihat salah seorang pemburu yang menenteng senapan, tiba-tiba sosok pria berpakaian serba hitam yang membawa senapan terbesit dalam benaknya. Saat itu juga Rayna merasakan sakit yang luar biasa di kepalanya.

"Hhh." Rayna berjalan terhuyung menuju ke meja untuk mengambil obatnya.

Pandangannya menjadi kabur.

** Flashback **

Pria berwajah tampan itu tersenyum. "Kita akan mengalahkan mereka. Berapa pun jumlah mereka, kita pemenangnya."

Rayna menatap senapan di tangannya. "Tentu kita pemenangnya."

** End Flashback **

"Aarrrggghhh!" Rayna terkulai dan hampir jatuh tersungkur ke lantai, tapi sepasang tangan kekar menangkap tubuhnya, ternyata Ferdad.

Pria itu mengangkat tubuh Rayna yang tak sadarkan diri. Dia membawanya ke kamar lalu menghubungi dokter.

Beberapa menit kemudian, dokter datang dan memeriksa Rayna. "Dia memerlukan istirahat yang cukup dan meminum obatnya secara rutin. Karena terlalu memaksakan diri untuk mengingat kembali memori yang hilang, dia pasti sangat tertekan."

Ferdad mengangguk mengerti. "Terima kasih, Dok."

Dokter pun berpamitan. Ferdad duduk di kursi dan menatap Rayna yang terbaring lemah di ranjang.

"Jangan mati dulu, Rayna. Kau harus merasakan dinginnya tinggal di dalam sel."

☆★☆

20.01| 20 April 2021
By ucu_irna_marhamah

POLICE VS ASSASSINWhere stories live. Discover now