9

3.2K 272 47
                                    

Pelayan Dante mengatakan majikannya sedang mandi saat Karen datang pagi itu. Satu jam yang lalu Karen menelepon pria itu, memberitahu ada yang ingin disampaikannya sebelum Karen berangkat kerja. Karen mengira pria itu akan marah sebab dia mengajak bertemu dadakan, tapi pria itu terdengar tenang saja dan malah suaranya memberi kesan ceria, "Ya silakan saja, kalau perlu benahi barangmu sekarang dan bawa ke sini. Kau kan sebentar lagi jadi istriku!" Karen hanya mengatakan iya sekenanya untuk merespons.

Selama menunggu Dante bersiap, Karen berkeliling di ruang santai rumah pria itu, melihat pajangan-pajangan di dalam lemari kaca. Dari sekian barang antik di sana, hanya satu yang menarik perhatian Karen, sebuah pigura ukuran sedang berisi foto Jena. Hah, gerutu Karen. Dia masih menyimpan foto perempuan ini rupanya. Karen memperhatikan sekitarnya lagi dan foto mendiang istri Dante cuma ada satu di sana. Baru disadarinya rumah Dante yang lama terbakar dan mungkin itu foto Jena yang tersisa.

Di sana hanya ada Karen seorang diri. Hati-hati, Karen membuka lemari kaca tersebut kemudian ditariknya napas panjang-panjang. Aku tidak mau kau ada di sini meski hanya dalam bingkai, pikirnya sinis. Ditaruhnya pigura itu di bagian belakang lemari hingga tak ada yang bisa melihatnya saat melihat lemari itu dari luar, lalu ditutupnya lagi lemari kaca itu.

"Karen."

Suara Dante membuatnya bergidik. Dia menoleh pada Dante yang tahu-tahu sudah berdiri di dekatnya tanpa disadarinya. Dante memang tidak melihat, kendati begitu Karen tetap berusaha untuk terlihat biasa saja di hadapan pria itu.

"Pak Dante, saya ingin..."

"Temani saya sarapan dulu di taman."

Karen menurut. Dia menggandeng pria itu, mengantarnya ke taman belakang rumah di mana para pelayan sudah menyiapkan sarapan untuk mereka di atas meja makan. Karen membantu pria itu duduk, lalu duduk di sebelah pria itu.

"Pak Dante mau makan apa?" tawar Karen.

"Kok manggil Pak lagi? Panggil Dante saja," kata pria itu menegur. Tangannya terulur sendiri untuk menyendokkan nasi dan lauk. "Saya sudah biasa makan dalam keadaan begini, jadi jangan anggap kau pelayanku."

"Oh," sahut Karen seadanya.

"Kau juga makan."

"Saya ada meeting satu jam lagi sebenarnya," kata Karen terdengar bersalah. "Saya ingin segera saja memberitahu Pak-Dante-terkait anak saya."

"Anakmu?" Satu alis Dante menaik. "Kenapa dia?"

"Saya ingin mengundangnya ke pernikahan kita nanti."

"Anakmu-anak itu-dia akan terlibat dalam pernikahan kita?" tanya Dante meminta persetujuan pada Karen. "Kau tidak apa-apa dia punya ayah tiri sepertiku?"

Di telinga Karen pertanyaan itu lebih terdengar seperti protes. Apa kau keberatan mengurus anak yang bukan anakmu, pikir Karen geram. Aku ingin tahu apakah kau tetap seperti ini setelah bertemu Val. Adakah perasaanmu sebagai ayah terhadapnya?!

"Selama Anda menerima dia, saya tidak masalah," jawab Karen.

"Di mana dia sekarang?"

"Dia sekolah di New Zealand, dan hari ini saya minta dia untuk pulang, ikut membantu mempersiapkan pernikahan kita."

"Dia anak yang pintar?"

Kenapa memangnya, dengus Karen. Jika dia tidak pintar, kau akan mengusirnya?!

"Ya."

"Seperti apa dia? Apakah dia anak yang ceria? Suka bercanda? Atau ambisius? Bisakah kau ceritakan seperti apa anakmu? Siapa namanya? Ya, Oom Najib pernah memberitahu nama lengkap anakmu.. Val... Valerie?"

"Mengapa Anda ingin tahu sekali?" tanya Karen bingung.

"Dia akan menjadi anak saya, dan saya akan menjadi ayah sambungnya," sahut Dante ikut bingung. "Bukankah wajar saya penasaran? Apakah dia tidak ingin tahu seperti apa ayah sambungnya? Atau kau sudah menekankan bahwa pernikahan ini hanya sebatas harta, Karen?"

"Maaf, tentu Anda ingin tahu," kata Karen menyesal. Dante terlihat sungguh-sungguh ingin tahu soal anaknya, dan meski Karen benci setengah mati pada pria ini, dia tidak tega bersikap keras padanya. "Anak itu, Valerie, sudah saya didik agar suka belajar. Dia harus punya pendidikan yang baik agar bisa punya pekerjaan yang baik."

"Kau belum jawab. Seperti apa anak itu? Karen..." Omongan Dante terhenti sejenak. "Apa kau tidak terlalu dekat dengan anak itu karena kau suka bekerja dan anak itu jauh darimu?"

"Itu urusan saya."

Wajah Dante tampak muram. Dia kecewa mendengar Karen yang tidak terlalu peduli pada anaknya. "Saya sudah kehilangan istri dan anak saya. Jika waktu bisa saya putar, saya akan mengesampingkan pekerjaan agar bisa bersama mereka," kata Dante lirih.

Dan apakah kau akan mengesampingkan Jena untukku dan Valerie waktu itu, pikir Karen getir.

"Saya akan mencatat masukan dari Anda. Untuk berikutnya saya akan meluangkan waktu lebih untuk Val."

"Saya ingin bertemu dengan Valerie. Segera ajak dia bertemu saya."

"Ngg, soal itu..."

"Apa saya perlu datang ke rumahmu?"

"Tidak, tidak!" sergah Karen. "Saya akan bawa dia ke sini agar kalian bisa berkenalan."

Dante mengangguk-angguk. "Good."

Mereka tidak terlibat dalam perbincangan lagi. Dante meminta Karen untuk mengisi perutnya juga sebelum meninggalkan rumah Dante. Karen menurut, toh dia juga sudah terlambat, sekalian saja sarapan di sana. Usai sarapan, Dante mengingatkan Karen untuk bergegas ke kantor. "Tidak apa-apa, tinggalkan saja saya di sini. Saya ingin menghirup udara pagi."

"Baiklah. Terima kasih atas sarapannya ya," kata Karen. Dia meninggalkan pria itu dan berjalan buru-buru ke luar rumah. Tidak diketahuinya bahwa Dante tersenyum sinis di tempatnya.

Setelah Karen tak ada di dekatnya, Dante bangkit dari duduknya. Dia masuk ke rumah, berjalan mendekati lemari kaca tempat Karen melihat-lihat tadi. Dibukanya lemari kaca itu, kemudian dipindahkannya pigura berisi foto Jena ke tempat semula.

*Semoga kalian suka cerita ini. Maaf slow update.*

Ex Wife's Revenge #CompletedOnde histórias criam vida. Descubra agora