22

3.2K 252 46
                                    

Satu jam lalu Dante pulang dari rumah pamannya. Pak Najib selama ini tak pernah menunggu kepulangan Erik. Sejak muda Erik tidak bergantung pada ayahnya, terutama soal pekerjaan. Itulah sebabnya Erik lebih banyak menghabiskan waktu di luar. Perjuangannya dalam bekerja lebih keras karena ayahnya tidak membantunya. Bahkan, saat Erik membutuhkan modal untuk perusahaan pertamanya, ayahnya meminta hal itu diatur dalam perjanjian formal dan Erik mengembalikan uang yang dia pinjam dari ayahnya beserta dengan modalnya.

Pak Najib tidak menyiapkan kursi khusus untuk Erik di semua perusahaan keluarga Amran. Hal itu pernah ditanyakan istri Pak Najib, kenapa tega membiarkan anak mereka bekerja lebih keras padahal Erik bisa bekerja di perusahaan keluarga dan tidak harus capek-capek membangun perusahaan-perusahaannya sendiri. Pak Najib merespons pertanyaan itu dengan amarah dan mengingatkan istrinya, "Kita harus sadar diri. Semua perusahaan itu milik almarhum kakakku dan dengan dia sudah meninggal, itu artinya semuanya milik Dante. Kita tidak bisa semena-mena!"

"Alasan apa itu! Perusahaan itu kan sudah punya struktur sendiri, dan kau komisaris di beberapa perusahaan. Kau juga direktur, bukan? Mengapa dengan kekuasaan yang kau punya kau tidak bisa mengizinkan Erik bekerja?" Istrinya berdecak-decak kesal pada Pak Najib. "Kau terlalu menganakemaskan Dante sejak dulu. Itulah sebabnya Erik pun enggan minta jabatan darimu!"

Erik masuk ke rumah tanpa mengucap sepatah kata pun. Selama ini dia memang begitu. Dia tidak membiarkan orang lain tahu kepergian dan kepulangannya. Dan orang-orang di rumah sudah terbiasa dengan hal itu. Maklum, mereka semua punya kesibukan masing-masing dan mengerti pertanyaan atau teguran mereka pada satu sama lain menimbulkan ketidaknyamanan.

Tidak pada hari itu. Pak Najib menyapa Erik dan meminta anaknya itu bicara di ruang kerjanya. Dahi Erik mengernyit. Dia heran, apa yang ingin dikatakan ayahnya sampai tidak boleh didengar orang lain.

"Ini penting," kata ayahnya tegas.

Mereka masuk ke ruang kerja Pak Najib. Sesaat Pak Najib memperhatikan anaknya-yang selama ini tak pernah dilakukannya. Fokusnya selama ini hanya bekerja, bekerja, dan Dante. Baru disadari oleh Pak Najib wajah Erik yang pucat dan tubuhnya yang mengurus.

Pak Najib menyampaikan apa yang Dante katakan padanya hari ini. "Papa tidak pernah melarangmu bermain dengan siapa pun, Erik. Tapi jika apa yang diduga Dante benar, kau membawa istrinya kabur dan terlibat dalam penipuan yang dilakukan Indy dengan menjadi Karen, Papa tidak bisa melakukan apa-apa."

Melihat kekalutan di wajah ayahnya, Erik tertawa sinis. "Memangnya, apa yang bisa Papa lakukan untuk saya?"

"Erik!" bentak Pak Najib tersinggung. "Papa bekerja keras untukmu. Menurutmu, kau bisa kuliah di luar negeri jika kau bukan anakku? Tidak pantas seorang anak bicara tidak tahu diri seperti itu!"

"Bukankah memang kewajiban orangtua untuk mendidik anaknya?" sahut Erik tenang. "Sejak dulu, aku tidak pernah merasa aku punya ayah. Papa bahkan tidak pernah ingat kapan ulang tahunku. Papa juga tidak datang saat aku wisuda. Dan apa yang paling menyedihkan? Papa selalu ada untuk Dante. Papa selalu meluangkan waktu Papa bagi Dante."

"Apa kau mengatakan kau iri pada sepupumu, Erik? Itukah sebabnya kau merebut istri Dante darinya? Karena rasa irimu pula jugakah, kau dan perempuan itu bekerjasama untuk membunuh istri dan anak Dante?"

Aku sudah tahu Dante akan secepat ini tahu tentang Karen atau Indy, pikir Erik tidak terkejut. Otaknya yang licik itu pasti sudah mengendus ketidakberesan istrinya yang sekarang. Pasti mudah baginya menyadari bahwa Karen adalah Indy, dan dia pasti sudah punya bukti kuat. Tapi apakah dia punya bukti yang kuat juga untuk membuktikan Indy membunuh Jena dan Alden? Bahkan aku sendiri tidak bisa memastikan hal itu.

Dan kenapa Dante memberitahukan hal itu pada Papa? Pikirnya aku akan menjauhi Indy karena Papa memarahiku? Apakah dia tidak tahu hal ini justru menguatkan perasaanku untuk melindungi Indy dari Dante yang pintar itu?

Dada Erik berdebar lebih kencang dan dia merasa nyeri. Dipegangnya dada kirinya, berharap nyeri itu hilang.

"Aku tidak sekotor yang Papa dan Dante tuduhkan padaku," jawab Erik datar. "Iri? Untuk apa aku iri? Rasa iri itu sudah aku kubur sejak aku remaja. Mengubah perasaan orang lain terhadap kita adalah hal yang sia-sia. Mengubah Papa untuk meyayangi aku adalah hal yang dulu aku coba lakukan." Erik menatap ayahnya tajam. "Aku.. Aku sudah tahu tentang hubungan Papa dan almarhumah ibu Dante. Aku tahu kenapa Papa sayang pada Dante, karena dia anak dari perempuan yang dulu dan mungkin sampai hari ini masih Papa cintai."

Wajah Pak Najib sontak berubah kaget. Dia memandang Erik dengan sorotan getir. "Kapan kau tahu hal itu?"

"Aku pernah tak sengaja melihat surat-surat yang ibu Dante pada Papa. Surat-surat yang Papa simpan di salah satu buku di rak." Mata Erik sekilas menoleh pada lemari dekat meja kerja. Lemari dengan pintu bening yang berisi buku-buku. "Bahkan buku itu masih ada. Apakah surat-surat itu masih ada juga?"

"Apakah ibumu tahu soal ini?"

Erik mengangkat bahu. "Aku tidak mau tahu soal urusan keluarga ini. Bagiku setiap orang sudah punya masalahnya. Termasuk masalahku, Papa tidak usah ikut campur."

"Papa tidak bisa membiarkanmu berhubungan dengan Indy atau orang yang menyamar menjadi istri Dante sekarang," sergah Pak Najib. "Erik, perempuan itu sekali lagi memilih Dante. Dia bukan milikmu. Kenapa kau tidak pergi saja ke luar negeri?"

"Apakah Dante yang menyarankan hal itu? Mengasingkan aku, maka masalahnya akan selesai?" Erik menggeleng-geleng. Dia mengeluarkan sebuah amplop dari kantong celananya. "Ini. Surat pernyataanku. Umurku mungkin sudah tidak lama lagi, dan aku siap mendonorkan beberapa organ tubuhku pada yang membutuhkannya, termasuk kornea mataku. Dante tak usah memusingkan aku. Papa tak usah memikirkan aku. Aku takkan menjadi benalu bagi siapa pun, bahkan dari dulu pun aku sudah bukan beban keluarga ini, bukan?"

"Kau sakit?" Suara Pak Najib menjadi pelan.

"Papa selama ini tidak peduli padaku, dan bersikaplah seperti itu sampai aku mati," tandas Erik kemudian meninggalkan ayahnya. "Dan jangan lakukan apapun terhadap Indy atau Karen atau aku akan beritahu semua orang skandal Papa di masa lalu."


**


Enam bulan kemudian..

Perusahaan Dante telah resmi menjadi pemegang saham mayoritas di perusahaan tekstil milik Karen. Dia mulai dilibatkan dalam urusan-urusan korporasi. Hubungannya dengan Karen semakin dekat tidak hanya di rumah, tapi juga di kantor. Bahkan, Dante beberapa kali mengejutkan Karen dengan kedatangannya. Dante tidak hanya datang untuk rapat saja, tapi dia juga datang untuk mengajak istrinya makan siang bersamanya di restoran yang ada di gedung kantor Karen.

Bukan hanya Karen dan Dante yang menjalani kehidupan mereka. Valerie pun juga beradaptasi dengan lingkungan sekolahnya yang baru di Jakarta dan hampir setiap hari Dante menjemput anak itu dari sekolah.

Walaupun hubungan ayah dan anak itu kian dekat, Valerie masih tidak bisa membawa dirinya untuk memanggil Dante "Papa". Pernah suatu kali dalam perjalanan pulang, Dante bertanya pada Valerie tentang ayah kandung Valerie. Dia bertanya apakah Valerie tahu sesuatu tentang suami pertama ibunya. Valerie menjawab, "Siapa pun dia, dia orang yang jahat karena dia meninggalkan Mama yang mengandung aku. Mama harus bekerja keras untuk aku. Orang itu, ayah kandung aku, tidak pantas disebut Papa oleh siapa pun."

"Kau kan hanya tahu dari sudut pandang ibumu saja," kata Dante berkilah. "Bisa jadi, ayah kandungmu punya alasan yang kuat untuk membiarkan ibumu sendiri. Kau tahu, saat kau dewasa, kau akan mengerti bagaimana seseorang bisa menjadi kejam karena disakiti orang lain. Bisa jadi ibumu menyakiti ayah kandungmu sampai ayah kandungmu harus meninggalkan ibumu."

"Jangankan menjadi seorang ayah. Aku rasa orang itu tidak pantas menjadi manusia. Manusia macam apa yang meninggalkan orang hamil besar di tempat antah-berantah?"

Jika Dante bisa melihat, dia akan memandang tatapan penuh kebencian dari Valerie padanya. Valerie menggigit bibirnya. Dia melengos, mencoba membayangkan bagaimana penderitaan ibunya karena pria itu..

Pria yang duduk di sebelahnya.


*I hope you like the story*

Ayo tinggalkan komentar dulu sebelum up chapter berikutnya..

Ex Wife's Revenge #CompletedWhere stories live. Discover now