25

8.9K 321 105
                                    

Suasana kantor biasa-biasa saja sampai pada pukul setengah enam, di saat sebagian karyawan sudah pada pulang dan kantor menyepi, seseorang datang ke ruang kerja Karen. Saat itu Karen sedang rapat dengan vendor di ruangan lain. Ketika sekretarisnya memberitahu Pak Anwar, yang notabene pemegang saham minoritas perusahaan tekstil itu menunggu Karen di ruang kerjanya, Karen tahu ada yang tidak beres.

"Ada yang bisa saya bantu, Oom?" tanya Karen heran.

"Ya, bersihkan barang-barangmu mulai sekarang," sahut Pak Anwar dengan nada cemooh. "Sebentar lagi kau akan dilengserkan dari jabatanmu. Dante tadi menelepon menawarkan sahamnya untuk saya. Dan begitu saya sebagai salah satu pemegang saham utama, saya akan mengangkat anak saya sebagai direktur, menggantikanmu."

"Tiba-tiba?" Karen mulai marah. "Selama ini Oom tidak mau mengurus perusahaan ini, kenapa sekarang berubah pikiran?"

"Well, business is business," jawab Pak Anwar tenang. "Dan saya sebagai keluarga Samad lebih berhak menentukan hal-hal yang berkaitan dengan perusahaan ini, bukan? Kaulah yang tidak layak di sini. Kau hanya..." Pak Anwar memberikan senyum licik. "... Karen palsu."

"Ah, Oom tidak punya bukti," jawab Karen mencoba untuk tenang walaupun dia merasa dadanya sesak. Brengsek Dante. Dia juga sudah memberitahu keluarga Samad tentang dirinya yang sebenarnya. "Karena sekarang orang tahu saya sebagai Karen, sebaiknya Oom tinggalkan kantor ini. Bisa, kan?"

"Satu hal lagi. Tadi Dante menambahkan, ada yang ingin disampaikannya. Tentang anakmu Valerie." Senyum Pak Anwar semakin lebar melihat Karen terkesiap. "Ah! Selama ini saya penasaran siapa ayah dari anak itu, rupanya Dante sendiri! Ya ya ya, Dante juga memberitahukan masa lalumu dengannya dan ayah kandung anakmu. Karen-maksud saya Karen palsu-saya tidak punya niat untuk jahat denganmu. Tidak juga ingin membalas dendam. Pasti ada alasan kuat bagi Ramli untuk mengangkatmu sebagai anak. Kau juga bukan orang yang buruk selama ini. Saya terpaksa mengambil alih perusahaan ini, karena bagaimana pun ini perusahaan keluarga saya. Kau paham, kan?"

Karen tidak mau dengar apa-apa lagi. Dia tidak peduli dengan hal lain selain Valerie. Dia meminta sopirnya mengebut kencang agar dia cepat tiba di rumah. Dia masuk, bergegas ke kamar Valerie. Betapa leganya dia melihat Valerie tengah sibuk belajar. Selama di perjalanan tadi, dia berpikir Valerie sudah diperlakukan amat buruk oleh Dante.

Dante.

Karen menemui pria itu di kamar. Dante yang sedang berdiri di dekat jendela, menoleh ke arah Karen yang menghentakkan langkahnya. Dari jarak yang agak jauh, dengan gerakan yang amat hati-hati agar tak terdengar oleh Dante, Karen mengambil guci di atas meja dekatnya. Dia tidak tahu apa yang bisa dilakukan Dante.

Dengan Dante yang sudah tahu siapa dirinya, bisa saja Dante menghabisinya saat itu juga.

Lebih tepatnya, Dante akan membunuhnya karena pria itu berpikir dia yang membuat Jena dan Alden meninggal.

"Kau," kata Dante tajam. "Aku sudah memperingatkanmu hari ini, bukan? Mengapa kau masih menemui Erik? Kau pikir, aku tidak tahu kau masih menemuinya di belakangku?"

"Kenapa kau begitu marah, Dante?" sahut Karen menantang. "Kau tidak mencintai aku, bukan? Kau hanya tidak tenang ada orang yang lebih baik darimu. Egomu, uangmu, dan kekuasaanmu yang luar biasa hebat itu, tidak bisa menerima bahwa kau bukan pilihan orang lain." Karen berjalan mendekati Dante dengan berani.

"Indy," geram Dante bengis. "Ya kau Indy. Aku sudah melakukan tes DNA pada Valerie dan empat bulan lalu hasilnya sudah keluar. Selama ini.. kau pikir kau mampu menipuku, eh? Kau tidak akan menang sekeras apapun kau melawanku. Kau akan sangat kalah!"

Nama itu disebut lagi oleh Dante dan kali ini Indy tidak takut. Kini posisinya hanya beberapa centi dari Dante. Perlahan, dia berbisik dengan nada menghina, "Kau sudah kalah, Dante."

Ex Wife's Revenge #CompletedWhere stories live. Discover now