24

4.2K 246 43
                                    

Pagi itu entah mengapa Karen ingin menghabiskan waktu dengan anaknya. Biasanya dia menunggu Valerie di ruang makan saat sarapan, tapi hari itu dia memilih untuk membangunkan Valerie pada pukul lima pagi. Disuruhnya anaknya untuk mandi dan memeriksa tugas sekolahnya, takut-takut ada yang lupa dikerjakan. Valerie mengeluh. Dia terbiasa bangun pukul setengah enam dan tak pernah mengecek tugasnya sebab hal itu dilakukannya sebelum tidur.

Valerie menurut. Ibunya masih di kamarnya setelah dia mandi dan siap dengan seragam sekolahnya. Valerie memperhatikan ibunya yang merapikan buku-bukunya di atas meja belajarnya. Mama tidak pernah bercerita tentang masa lalunya yang berat, pikir Valerie sedih. Kenapa? Apakah karena aku masih dianggap anak kecil? Aku memang belum jadi orang dewasa, tapi aku mengerti bagaimana rasanya berat jadi Mama.

Valerie memeluk ibunya dari belakang, mengejutkan Karen. "Kenapa? Kau kangen dengan Mama? Padahal dulu kau di luar negeri, hanya beberapa kali menelepon Mama," goda Karen pengertian. Dibiarkannya anaknya terus memeluknya sambil dia menata buku-buku Valerie.

Gerakan Karen berhenti saat dia melihat buku-buku Shakespeare. Dibukanya salah satu buku itu. Betul sesuai dugaannya! Ada tulisan Dante di sana. Buku-buku ini...

Karen membalikkan tubuhnya, menunggu jawaban dari anaknya.

"Aku sudah tahu semuanya. Aku sudah tahu bahwa orang yang menjadi suami Mama, orang yang tidur di kamar sebelah, adalah ayah kandung aku," kata Valerie pelan. Dia menatap ibunya dengan sendu. "Aku sudah cukup besar untuk mengerti hal-hal yang Mama simpan."

"Valerie," desah Karen tak percaya. "Kau sungguh sudah tahu? Apa kau juga tahu mengapa Mama dan Dante berpisah?"

Valerie mengangguk. "Orang itu... Orang itu menuduh Mama berselingkuh dan membawa Mama ke villa yang tak bisa dijangkau siapa-siapa. Oom Erik yang memberitahuku di rumah kita saat aku mengepak barang-barangku." Valerie diam sejenak. "Jangan salahkan Oom Erik, Ma. Selama ini, Oom Erik selalu ada buat kita. Oom Erik yang membantu Valerie belajar menghitung, membaca. Oom Erik juga yang membuat Val bisa naik sepeda." Kenangan-kenangannya di masa kecil menghampiri pikiran Valerie. Dia tidak merasa sedih, bahkan tidak menyadari ketiadaan kehadiran figur ayah karena Oom Erik ada di dekatnya. "Oom Erik begitu baik. Oom Erik menjelaskan semuanya agar Val tidak memusuhi Mama."

Mata Karen berkaca-kaca. Tentu Erik tidak bermaksud jahat menceritakan hal itu pada Valerie, pikir Karen. Akulah yang bodoh. Akulah yang terlalu buta karena dendam! Aku tidak menyadari-ralat-sengaja membutakan mataku untuk tidak melihat ketulusan dari Erik!

Semua karena aku belum memaafkan Dante.

"Mama tidak usah pikirkan aku lagi. Mama tidak usah melanjutkan pernikahan ini jika alasannya karena aku," tambah Valerie. "Aku tidak akan memaafkan orang itu. Aku juga tidak akan menganggapnya ayah kandungku."

Mendengar itu kelegaan merambati hati Karen. Dia tersenyum dengan air mata berlinang. Dipeluknya anaknya erat. Inilah dendam yang sebenarnya, Dante, pikirnya. Kau... Kau bahkan takkan bisa memperoleh kasih sayang anak kandungmu sendiri! Dan sebentar lagi... Ya, sebentar lagi, kau akan kehilangan kami.

Karen tidak memperhatikan perubahan sikap Dante pagi itu. Dia tetap melayani Dante saat sarapan. Menuangkan makanan ke piringnya. Menyodorkannya gelas. Tak ada gerak-gerik yang mencurigakan.

Setelah sarapan, Valerie pamit duluan untuk berangkat ke sekolah. Karen segera berdiri, mengumpulkan piring-piring kotor. Suara Dante mengejutkannya, "Kau." Cara Dante memanggilnya sangat dingin. Pandangan matanya juga menakutkan.

"Jagalah dirimu baik-baik dari Dante. Dia sudah tahu siapa kau."

Tenang, Karen, tenang.

"Ya?" sahut Karen seakan dia tidak kaget.

"Aku hanya ingin mengingatkan, walaupun aku buta, aku tidak bodoh. Kau lebih banyak menghabiskan waktu di luar. Jangan berpikir untuk macam-macam."

Macam-macam. Karen ingin tertawa sekencang yang dia bisa mendengar ancaman yang halus itu. Aku sudah melakukan lebih dari sekadar macam-macam, pikir Karen. Kau takkan bisa membayangkan apa yang telah aku lakukan selain menipumu dengan identitasku. Andai saja kau tahu apa yang kulakukan dengan isi rekeningmu dan tanah-tanahmu...

"Kau tak usah khawatir," kata Karen lembut. "Aku tahu seberapa pintarnya kau. Mana mungkin aku berani?" Untuk menambah kekesalan Dante, Karen membelai tangan pria itu dan mengecup pipinya.

**

Anak buah Dante ada di mana-mana, karena itu Karen harus lebih pintar daripada mereka. Dia meminjam mobil karyawannya yang terparkir di basement. Dengan begitu, anak buah Dante tidak akan tahu dia pergi pada jam makan siang, karena Karen selalu menggunakan mobilnya yang diparkir di depan gedung kantor.

Dia ke tempat yang diberitahu Erik. Tempat itu adalah sebuah rumah di kawasan elit. Setelah dia menghentikan mobilnya di depan lobi rumah, dia turun dan satpam memberitahu Erik telah menunggunya.

Ketika dia masuk, Erik yang sedang duduk langsung berdiri dan menghampiri Karen. Mereka berpelukan untuk waktu yang lama. Erik membiarkan kepala Karen menekan dada kirinya dan perempuan itu dapat mendengar detak jantung Erik yang berdegup cepat.

Perlahan, pelukan itu terlepas. Erik menunduk menatap Karen, mengangkat dagu perempuan itu dan menurunkan bibirnya ke bibir perempuan itu. Bibir mereka saling memagut. Tangan Karen membelai punggung Erik. Setelah beberapa saat, Erik melepas diri. "Sekali pun aku ingin melakukannya, aku tidak bisa."

"Kenapa?" tanya Karen menelan kecewa.

"Jantungku bermasalah," sahut Erik tenang. Terlalu tenang malah bagi orang yang menderita sakit parah. "Indy, kau tidak bisa bermain-main lagi dengan Dante. Kalau kau memang tidak bisa mengambil apa yang kau ingin ambil darinya, menyerah saja. Tinggalkan dia dan pergi bersamaku ke suatu tempat."

Karen mengangguk. "Aku sudah melakukannya." Dia kemudian merogoh isi tasnya. Dikeluarkannya sebuah paspor dan diberikannya pada Erik. "Paspor dengan identitas palsuku. Aku ingin segera meninggalkan negara ini."

"Hanya satu? Bagaimana dengan Valerie?"

"Tidak, aku tidak akan melibatkan dia dalam masalah."

"Kau tidak tahu apa yang bisa Dante lakukan padanya!" tegur Erik gemas. "Dia bisa menjadikannya sebagai ancaman bagimu."

"Dante tidak bisa melakukan hal itu. Aku tidak akan lemah." Karen menatap Erik dengan sungguh-sungguh. "Valerie tidak senaif yang kubayangkan. Aku akan biarkan dia tinggal dengan Dante."

"Apa kau yakin? Dante tidak cukup kuat untuk menjaga Valerie. Dia buta, kau ingat?"

"Dia tidak bodoh. Dia tidak akan membiarkan hal yang buruk terjadi lagi pada keluarganya. Pastilah tragedi yang menimpa Jena dan anaknya cukup membuatnya belajar."

"Soal itu. Apa kau yang membakar rumah Dante, Indy?" tanya Erik penasaran. "Apa kau berniat menghabisi nyawa Jena dan Alden?"

Reaksi Karen di luar dugaan Erik. Perempuan itu menyunggingkan senyum berani. "Sekali pun aku melakukannya, apa perasaanmu padaku akan berkurang?"

"Sekali pun kau pembunuh, aku tidak peduli," sanggah Erik. "Aku kenal kau. Tidak mungkin kau melakukannya."

"Bagaimana jika iya?"

Erik mengangkat bahu. "Well, aku sudah telanjur mencintaimu. Mencari orang lain untuk dicintai pastilah melelahkan. Pertanyaannya, apakah kau mencintai aku?"

"Oh, Erik!" Karen memeluk Erik kuat-kuat. "Aku mencintaimu. Sangat. Semoga tidak terlambat bagi kita untuk bersama!"


*I hope you like the story*

Jangan lupa vote dan comment

Ex Wife's Revenge #CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang