20

4.2K 262 46
                                    

Di depan Valerie, Dante bersikap ramah dan penyayang. Selama sarapan dia tidak mengharapkan orang lain untuk melayaninya. Sebaliknya, dia malah dengan keterbatasannya, membantu menuangkan makanan ke piring Valerie sebelum Valerie tiba di ruang makan. Karen yang saat itu di ruang makan juga, membantu Bibi menata piring di atas meja makan, terkesima saat Dante memberitahunya, "Valerie tidak boleh telat makan. Dia sukanya apa? Lekas beritahu chef biar chef memasak kesukaannya mulai hari ini."

"Dia suka apa saja," jawab Karen merasa terharu melihat perhatian Dante. Bibi berbisik di dekat Karen, memberitahu baru hari itu Bapak terlihat semangat. Karen menegur Dante, "Biasanya Anda selalu sarapan di halaman, Pak Dante?"

"Betul, tapi saya rasa kasihan Valerie jika harus kepanasan. Saya pokoknya ingin makan dengan anak itu," sahut Dante, kemudian duduk di kursi dekat meja makan. "Anak itu lama sekali ke sini. Matahari seharusnya sudah silau, kan?"

"Ya, mungkin dia terlalu nyaman tidur di kamar barunya," pendapat Karen. "Kamarnya di sini dua kali lebih besar, dan sepertinya AC-nya lebih dingin." Dia tertawa kecil.

"Biar saja, mungkin dia capek juga karena kemarin seharian ikut pesta," sambung Dante.

Baru saja dibicarakan anak itu muncul di ruang makan. Karen memberitahunya Oom Dante sudah menaruh makanan di piringnya. Valerie tidak menyembunyikan rasa senangnya. "Wah, terima kasih, Oom." Valerie duduk di samping Dante. "Porsinya pas. Makanannya juga sesuai keinginanku."

"Sama-sama, Nak. Oh ya, jangan panggil Oom lagi, panggil saja Papa. Kau mau, kan?"

Hampir terjatuh gelas yang ada di tangan Karen. Dadanya berjengit hebat. Valerie memanggil pria brengsek itu dengan sebutan Papa! No way! Karen tidak ikhlas dan semoga saja Valerie mengerti isi hati ibunya yang berkeberatan.

Valerie menoleh pada ibunya yang tampak terkesiap. Dia lalu menjawab, "Akan aku coba, Oom. Terus terang Val belum terbiasa memanggil orang lain dengan sebutan Papa. Maaf ya, Oom."

"It's okay, take your time," sahut Dante tenang. "Habiskan makananmu. Setelah ini, Oom akan mengantarmu ke rumahmu dan Oom akan pergi sebentar ke tempat lain."

"Ke mana, Pak Dante?" tanya Karen.

"Ada urusan berkaitan dengan perusahaan saya."

"Perlu saya temani?" tawar Karen.

"Tidak usah, bukan hal yang urgent juga. Saya juga tak lama."

Karen mulai menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya, lebih tepatnya situasi di mana hanya mereka bertiga. Dia merasa tidak dianggap ketika berada di antara Valerie dan Dante. Dua orang itu begitu nyambung dan tak putus-putus melontarkan kata.

Ketika semuanya sudah selesai makan, Valerie izin sebentar untuk ke kamarnya mengambil tasnya, meninggalkan Dante dan Karen. Senyum yang selama ini tersungging saat bersama Valerie, hilang dari wajah Dante.

Dia mengingatkan Karen, "Karena saya sudah memberi modal, perusahaanmu lekas urus komposisi presentasi kepemilikan sahamnya. Saya ingin pemberian modal itu berupa pembelian sahammu."

Pernikahan ini adalah bisnis, Karen mengingatkan dirinya. "Tentu, akan saya minta bagian hukum untuk mengurus ke notaris soal itu," sahutnya. "Dengan modal sebanyak itu, artinya Anda pemegang saham utama di perusahaan yang kini saya kelola."

"Exactly," jawab Dante datar. "Tapi saya tidak akan melakukan apa-apa. Kau tak usah khawatir saya akan mengganti nama perusahaan menjadi nama saya."

"Terima kasih," kata Karen sekenanya.

Dia memperhatikan Dante sejenak. Pria itu diam saja selagi menunggu Valerie. Tatapan pria itu sulit diartikan bagi Karen. Semalam pun, saat mereka saling memberi kenikmatan, Karen dapat melihat betapa antusiasnya Dante melakukannya, seakan memberi kesan bahwa susah lama Dante tidak melakukannya-yang agak Karen ragukan. Pria seperti dia yang punya segalanya dan menganggap sentuhan badani adalah hal yang biasa, tidak sulit menyewa orang untuk memuaskannya, bukan?

Ex Wife's Revenge #CompletedWhere stories live. Discover now