14

3.3K 270 38
                                    

"Jika kau menceraikan Indy, dia akan mendapat hak asuh dari bayi kalian dan tentu saja harta gono-gini," Jena mengingatkan. "Apa kau mau, istri yang telah berselingkuh darimu, malah senang-senang dengan hidupnya setelah kalian bercerai? Bahkan, dia bisa menikah lagi dengan sepupumu..."

"Bagaimana dengan kau?" Dante menatap Jena dengan sendu. "Apa kau tidak apa-apa aku memilih rumah tanggaku?"

"Kau yang tidak mencintai istrimu saja bisa marah karena dia dekat dengan Erik. Bagaimana dengan aku? Yang mencintaimu, tapi kesempatanku untuk bersamamu sudah tidak ada..."

Erik, desis Dante jengkel. Kau sudah menjadi benalu dalam rumah tanggaku dengan Indy. Dunia tidak adil. Mengapa justru aku sekarang yang memohon padamu? Meminta belas kasih dari orang yang telah mencoba merebut istriku?

Tapi apa pilihan yang aku punya, pikirnya lagi. Sekali pun Karen bukan Indy dan Valerie bukan anak kandungku, aku tetap bersikeras menginginkan mereka sebagai keluargaku. Aku memang belum mencintai Karen, tapi ikatanku dengan Valerie tak bisa kusangkal. Hanya itu alasanku untuk memintamu menyingkir dari hidupku.

"... Aku memohon padamu, Erik. Jangan lagi ada pertengkaran di antara kita. Sudah saatnya kita bersikap selayaknya keluarga."

Erik termakan omongan itu untuk beberapa saat sampai akhirnya dia tertawa. Tawanya mengandung muak. Dilihatnya permukaan wajah Dante yang kesal.

"Bagaimana aku bisa percaya padamu, Dante?" Erik berdecak sinis. "Sampai hari ini saja kau tidak bisa bicara langsung pada Indy. Kau bahkan belum memohon ampunan darinya!"

Rahang Dante mengeras. Kurang ajar, makinya. Erik juga punya andil dalam menghilangnya Indy. Jika Erik tidak punya main dengan Indy, tidak mungkin aku menyembunyikan Indy di villa itu, kan?

Tenang, Dante, tenang...

"Pencarian masih tetap dilakukan," jawab Dante. Apa yang Erik bilang tadi? Dia belum memohon ampunan dari Indy? Erik bisa bermimpi. Dante melanjutkan, "Apa kau tahu sesuatu soal Indy?"

"Tidak, tidak tahu sama sekali."

"Kuharap kau benar jujur padaku, Erik," kata Dante tajam. "Aku takkan memaafkanmu jika kau ternyata membantu Indy kabur dariku."

"You wish," sahut Erik acuh tak acuh.

"Lalu kau mau apa lagi di sini? Apa kau masih ingin melanjutkan chit-chat-mu dengan Karen?"

Erik mendengus. Dia membalikkan tubuhnya dan meninggalkan ruang makan dengan hentakan kaki keras agar Dante bisa mendengarnya. Senyum Dante mengembang.

Tak lama kemudian dia mendengar suara Karen dan Valerie. Karen bertanya padanya, "Sepupumu sudah pulang?"

"Kenapa?" sahut Dante kesal. "Kau merindukannya?"

Karen menoleh pada anaknya. Dia menggeleng memberi tanda agar Valerie tidak perlu menyahut kesinisan Dante. "Dia datang untuk menawarkan kerjasama."

"Dan kau tidak bisa menolak? Dia tidak hanya masuk ke rumahmu, dia masuk ke.. Di mana ini? Ruang makan, kan?"

"Betul, Pak," jawab salah satu anak buahnya.

"Kau harus punya keberanian untuk menolak orang, Karenina," sahut Dante tegas. Dalam hatinya dia dongkol mengapa Karen dan Indy ini sama saja menyebalkannya. Mereka memberi kesan polos tapi tindakan mereka tidak sesuai dengan omongan mereka. "Saya tidak mau lagi kau berhubungan dengan Erik. Jelas?"

"Iya, Dante."

"Valerie. Di mana dia?"

"Aku di sini, Oom," kata Valerie sambil berjalan mendekati Dante. "Maaf, Oom. Aku tidak tahu Oom ingin aku datang ke rumah Oom pagi-pagi."

Di depan Valerie, kegarangan Dante menghilang. Dia tersenyum ramah. "Ah, bukan salahmu, Oom-lah yang tidak sabar bertemu denganmu. Kau masih mengantuk? Kau mau tidur lagi? Tidak apa-apa, tidur lagi saja. Oom tunggu di ruang tamu."

Sikap Dante yang berubah secepat kilat membuat Karen heran. Tak pernah dilihatnya Dante berlaku lembut begitu pada orang. Atau dia memang benar-benar sudah tahu bahwa Valerie anaknya? Bagaimana bisa? Pria yang tidak punya hati itu tidak mungkin tahu berdasarkan feeling-nya saja, kan?

Entahlah.

Karen tidak bisa mengingatkan Valerie untuk bersikap ketus pada Dante. Tampaknya Dante sungguh-sungguh ingin menghabiskan waktu bersama Valerie.

"Tidur lagi? Aku sudah bangun dari tadi kok, Oom. Mama paling marah jika aku bangun siang," sahut Valerie. "Ini aku sudah siap. Oom mau makan dulu di sini?"

"Val, sini telingamu."

Valerie menurut. Dia mendekat dan membiarkan Dante berbisik padanya, "Apakah makanan di sini enak?"

Pertanyaan itu membuat Valerie tergelak. "Oom! Aku kira mau ngomong apa. Tentu di sini makanannya enak, walaupun tidak seenak di rumah Oom sih..."

"Val, kok jadi jelekin Bibi," tegur Karen.

"Maaf, Ma. Soalnya Oom Dante lucu, sih. Makan kan tinggal makan saja?"

Lucu, ulang Karen dalam hati. Ayahmu adalah segalanya. Dia kaya, sukses, dan tampan tapi ayahmu tidak lucu, Val. Dia tidak punya sense of humor.

Bahkan Karen tidak ingat Indy pernah tertawa bersama Dante yang dominan itu.

"Apa kau keberatan, Karen, saya sarapan di sini?"

Sejak kapan kau menanyakan pendapat orang lain, pikir Karen nyinyir. Biasanya kau melakukan sesuka kehendakmu.

"Jelas tidak," jawab Karen tenang. "Silakan sarapan, Dante, Val. Saya mau mandi dan bersiap dulu untuk kerja."

"Mari, Oom," kata Valerie sambil memundurkan sebuah kursi. Dibantunya Dante untuk duduk. "Oom mau makan apa?"

"Adanya apa?"

Jantung Karen berdegup sangat kencang. Matanya tak berhenti memandang kedekatan ayah dan anak itu. Apakah mungkin kau bisa berubah begitu saja, Dante, pikirnya getir. Kenapa tetap sulit bagiku untuk memaafkanmu? Apalagi setelah kutahu kau takkan menyayangi Val.

"Bayi ini." Dante menunjuk perutnya. "Kau sudah periksa perempuan atau laki-laki?"

"Perempuan," jawab Indy ketar-ketir. Dia takut Dante akan kecewa jika kelamin anak pertama mereka tidak sesuai dengan keinginan pria itu. "Kenapa?"

Dante diam sejenak, lalu menggeleng. "Tidak, aku hanya takut aku tidak bisa menjadi ayah yang bisa menjaga anak gadisnya. Itu saja."

"Tidak ada yang berani menyakiti anak ini begitu tahu ayahnya adalah kau."

"Aku tidak yakin aku bisa menyayanginya. Aku tumbuh tanpa figur ayah, dan selain itu aku bukan panutan yang pantas." Dante menarik napas frustrasi. "Aku bukan orang yang suci. Aku bahkan tidak mencintaimu istriku sendiri. Bagaimana jika anak ini bernasib sama? Bahkan lebih parah?"

"Kita masih punya waktu untuk memperbaiki keadaan. Kau harus bisa belajar mencintai aku dan memperlakukan aku dengan baik, Dante."

Dante tidak menyahut. Bukan tidak mau, tapi Indy tahu pria itu tidak bisa berjanji untuk mencintainya. Kehamilan Indy tidak mempengaruhi perasaan Dante terhadap Jena, malah dari kejauhan Indy selalu memperhatikan wajah Dante yang murung (yang Indy duga karena merindukan Jena), dan hampir setiap malam pria itu keluar dari kamar mereka. Indy mengikutinya hanya untuk tahu Dante secara diam-diam menelepon Jena untuk menanyakan kabar perempuan itu.

Oh, Val, gumam Karen keluar dari ruang makan. Bagaimana perasaanmu jika kau tahu yang sebenarnya? Bahwa pria yang makan denganmu sekarang, dulu mengusir ibumu dan hampir membunuh kita berdua?

*Semoga kalian suka cerita ini*

Author's note:

Maaf guys slow update karena plot cerita ini jauh banget dari yang aku rencanain sebelumnya, jadi kemungkinan ini bakal panjang dan bertele-tele banget (as usual). Terima kasih yang sudah baca mohon berikan dukungan melalui vote dan comments :)

Ex Wife's Revenge #CompletedUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum