Chapter 2. Unbothered

563 45 17
                                    

Saat ini Tarra, Hugo, Joshua, Devon dan Harza sudah berkumpul di living room apartemen Tarra. Devon masih nampak mengatur nafasnya dengan muka pucat dan panik karena tergesa-gesa. Ia masih tidak menyangka sahabatnya akan mengalami hal ini.

Tarra, gadis yang tadi terlihat acak-acakan itu sekarang sudah mengganti bajunya dan sedang menyeruput kopi hangat buatan Joshua. Rambut panjang ikalnya dibiarkan terurai basah. Bara, yang saat ini sedang diluar kota, beberapa kali menelfon Hugo hanya untuk mendapatkan kabar terbaru.

Sudah hampir pukul 3 dini hari. Harza yang saat ini sedang menyendiri di balkon, sedari tadi sibuk dengan ponselnya. Hal ini membuat beberapa senyum tidak enak di wajah sahabat-sahabat Tarra. Dari tempatnya berdiri, bola mata Harza tidak bisa berhenti mengamati gerak-gerik Tarra. Tatapan terpesona dan khawatir berbaur menjadi satu.

Harza masih mengangkat satu telfon terakhir dan membalas beberapa email dari balkon apartemen Tarra. Selain mengurus kerjaannya yang menggunung, dia menghubungi Bang Fikal, yang bisa dibilang managernya selama 2 tahun terakhir ini sambil memberi update untuk beberapa hal. Lalu ia menelfon seseorang lain yang ia panggil "Bang". Tidak ada satupun yang tahu apa yang Harza bahas.

Sok sibuk. Itulah kalimat yang terlintas di benak Hugo, Devon dan Joshua sambil mengamati gerak-gerik Harza.

Harza memasuki ruang duduk sambil melipat laptopnya. "Udah bro sibuknya?" Hugo menyapa Harza dengan senyum sinis.

"Eh.. udah nih. Baru aja." Harza menjawab polos pertanyaan sarkas dari pemuda di sebrangnya.

"Jadi gimana cerita lengkapnya? Lu udah bisa ngobrol sekarang?" Joshua bertanya hati-hati pada Tarra. Ia tidak memperdulikan Harza disitu.

Tarra yang duduk di tengah sofa, menatap tajam ke arah Harza yang baru saja duduk di kursi paling pinggir. "Jo, sebelum gue jawab pertanyaan lu. Ada yang mau gue tanya sama laki-laki ini." Tarra semakin menatap lekat Harza.

Harza mengkerut ditatap tajam oleh Tarra. Yap itulah Harza. Edgy in public, soft glow in private. Ketiga pasang mata lainnya diruangan itu turut menatap tajam kearahnya.

"I-iya kenapa, Ta? Mau tanya apa?" Harza menjawab pelan. Duh siap-siap digebuk tiga cowo ini ga sih kalo salah jawab, batin Harza.

"LU! Ngapain ngikutin gue sampe parkiran juga?!!" Tarra bertanya dengan tegas.

"HAH??" Harza semakin bingung.

"Iya, lu ngapain ada di Park Grande, di parkiran yang sama areanya sama area gue?? Jam 1 malem?? Ngapain Harza??!!"

Harza merasa disidang untuk kejahatan yang....tidak ada. "Lah... gue emang tinggal sini."

"DIH! Jangan bilang lu sengaja beli apartemen disini cuma buat ngikutin gue? Lu udah kayak stalker gini, bisa gue laporin polisi loh!" Tarra semakin emosi. "Iya gue tau duit lu banyak, tapi ga kayak gini anjir, nyeremin."

"Tarra...." Harza menarik nafasnya panjang sebelum menjawab tuduhan itu. "...Gue tinggal di sebrang. Di Loft sebrang. Gue unit 1501."

"WAH GILA! Sampe sengaja beli Loft juga, luar biasa, Za." Saking kesalnya, Tarra nyaris membanting cangkir kopi ditangannya.

Harza kembali menarik nafas panjang. Antara ngeri dan bingung harus menjelaskan apalagi. Seketika muncul idenya untuk membela diri. "Ta, lu gue tinggal disini udah berapa lama?

"Hampir dua bulan, kenapa?"

"Gue disini dari gue balik ke Indo. Berarti... udah hampir empat tahun gue tinggal disini Tarra." Ucap Harza sambil menyerahkan kartu aksesnya. "Nih, liat aja tanggalnya."

Run Harza Run [completed]Where stories live. Discover now