PART 19

32.6K 6K 412
                                    

GRAYSON

Aku memesan presidential bungalows yang dilengkapi dengan dua kamar tidur, ruang tamu, ruang piano, kantor, dapur, taman dan kolam renang pribadi. Aku nggak tahu sampai kapan kami akan terjebak di sini, jadi lebih baik memilih akomodasi yang paling nyaman.

Melody terpekik lirih saat resepsionis mengucapkan sesuatu. Aku nggak terlalu menyimak, jadi aku menatapnya dengan alis terangkat penuh tanya. Melody berjinjit untuk berbisik di telingaku. Tapi bahkan dengan berjinjit-pun ternyata dia belum sampai. Aku tersenyum geli lalu menundukkan kepalaku hingga bibirnya mencapai telingaku.

"Kamu yakin memilih kamar itu? Harganya nggak masuk akal. Aku rasa aku bahkan bisa membeli mobil dengan uang segitu," bisiknya.

"Kamu mau membeli mobil? Nanti aku belikan." Aku balas berbisik.

"Bukan itu maksudku." Dia menghentakkan satu kakinya kesal. Aku menyeringai lalu merangkulkan tanganku di pundaknya. Syukurlah dia nggak menolak.

"Don't worry, Babe, aku mampu membayar kamar ini dan membelikanmu mobil. Nggak perlu memilih salah satu," bisikku di puncak kepalanya. Kali ini Melody hanya mendengus.

Aku terkekeh lalu menyerahkan black American Express card-ku pada salah seorang resepsionis. Setelah membereskan pembayaran, kami melangkah menuju bungalow yang letaknya di lantai satu.

Melody tercengang saat kami memasuki ruang bungalow yang memang meneriakkan kemewahan. Aku jadi teringat lagi keinginannya bekerja sebagai housekeeper. Apa dia mengalami kesulitan keuangan? Aku semakin penasaran siapa sebenarnya dia. Tadi dia menyebutkan namanya adalah Melody James, jadi apa dia salah satu kerabat William James? Tapi kenapa dia bekerja sebagai housekeeper jika dia adalah kerabat William? Terlalu banyak pertanyaan. Tapi ada hal penting yang terlebih dahulu harus dibicarakan.

"So Melody, apa kamu memang benar-benar penggemar Chris Evans?" tanyaku sambil duduk di salah satu sofa yang ada di ruang tamu. Melody kelihatannya nggak berniat duduk, dia berjalan mengitari ruangan, mengamati setiap sudutnya dengan seksama.

"Wow, ini ruangan yang sangat indah," ucapnya takjub. Aku hanya mengedikkan bahu. Dia belum melihat rumahku yang di Malibu.

"Jadi kamu tipe yang nggak suka musisi tapi menyukai aktor?" tanyaku lagi. Melody melangkah ke arah jendela kaca, menatap birunya air kolam di luar sana.

"Hmm, nggak juga, aku hanya suka menonton film, terutama film action. Captain America dan Avengers termasuk film favorite-ku," jelasnya. Aku manggut-manggut.

"Jadi kamu menyukai film Chris Evans, bukan menyukai Chris Evans?" Aku memastikan. Melody mengedikkan bahu, tangannya sibuk menyusuri rangkaian bunga yang ada di atas meja kecil dekat jendela.

"Tentu saja aku juga menyukai Chris Evans, dia aktor yang hebat. Wow, these flowers are so beautiful," gumamnya.

I don't freaking care about the flowers.

"Hanya sebagai aktor? Atau kamu menyukai Chis Evans as a person? Do you think he's hot?"

Kali ini Melody menoleh ke arahku dengan kening berkerut. "Kenapa kita membicarakan tentang Chris Evans?" Sepasang matanya terlihat bingung.

Good questions. Seharusnya kami membicarakan tentang gosip kami pacaran, atau tentang wartawan yang menunggu di luar sana, atau tentang handphone-ku yang terus berdering, tapi kuabaikan sedari tadi. Aku sudah mengaturnya di mode silent tentu saja. Tampaknya Melody juga melakukan hal yang sama karena aku nggak mendengar handphone-nya berbunyi. Bukannya membicarakan itu semua, aku malah membicarakan tentang Chris Evans. What the hell is wrong with me?

Broken MelodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang