Bab 28

34.3K 6K 238
                                    

Haii, maaf banget lama baru update. Semoga belum lupa ceritanya....

"Kamu juga merasakannya, kan?" tanyanya parau. Aku hendak menggeleng tapi daguku masih ada dalam kuasanya.

"Aku nggak mengerti apa yang kamu maksud." Aku berusaha menyangkal.

"Liar." Senyum mengejek terkembang di bibir Gray.

"Oh, lapar maksud kamu? Ya tentu saja aku juga lapar, hari sudah siang, sebaiknya aku..."

"Yeah, lapar, sangat...sangat lapar." Gray memotong ucapanku. Matanya lekat menatap bibirku. Jelas menyiratkan lapar yang sangat berbeda.

Aku menelan ludah gugup, teringat ciuman yang hampir terjadi di pantai. Ombak menyelamatkanku tadi, aku nggak yakin aku seberuntung itu sekarang. Aku bahkan nggak yakin ingin diselamatkan. Ya Tuhan, pikiran gila macam apa itu? Tampaknya aku harus menjauh, sebelum segalanya terlambat. Aku menepis tangannya dari daguku lalu berdiri.

"Ok, karena kita sama-sama kelaparan, dan karena kemarin kamu sudah masak, tampaknya sekarang giliranku masak, so please excuse me..."

Aku hendak berjalan tapi Gray bergerak lebih cepat. Tangannya merengkuh pinggangku lalu tiba-tiba saja aku sudah terduduk di atas deretan tuts piano. Bunyi nyaring piano yang tertekan bokongku terdengar bersamaan dengan debum suara kursi yang terjatuh. Mataku membola menyadari sekarang dia berdiri di hadapanku, tepat di antara kedua kakiku yang terbuka, sementara kedua tangannya yang menumpu di kedua sisi tubuhku.

"Why are you always running away from me, Melody?" Suara Gray begitu dalam. Sepasang matanya menuntut jawaban. Dadaku berdebar sangat kencang.

"Why are you always chasing me?" Aku balik bertanya, bibirku gemetar, tapi mataku dengan berani membalas tatapannya.

Satu tangan Gray merayap di pahaku sementara tangannya yang lain terangkat, meraih sejumput rambutku, menggenggamnya, lalu menyentaknya ke belakang hingga kepalaku mendongak. Wajahnya menunduk, bibirnya membayang di atas bibirku.

"Jangan pura-pura nggak tahu apa yang aku inginkan." Suaranya sangat lembut tapi berbahaya.

"Aku memang nggak ta...."

Dia menciumku. Suara kesiapku tertelan panas dan basah bibirnya. Bibirku dilumat, lembut tapi sangat menuntut. Seluruh tubuhku seketika dijalari gelenyar. Mataku terpejam. Kabut gairah menyelubungiku dengan cepat, membuatku nggak bisa berpikir jernih. Semalam bukan ciuman, inilah ciuman sesungguhnya. Aku bisa merasakan aroma mint yang segar berpadu dengan aroma maskulin laki-laki dalam setiap pagutannya. Dia menikmati bibirku bagai makanan lezat, menggigit, menjilat, menyesap kuat hingga aku yakin bibirku nanti akan bengkak.

"God, aku sudah ingin melakukan ini sejak pertama kali melihatmu," gumamnya serak sebelum bibirnya kembali menguasai bibirku.

Aku merintih dan dia memanfaatkan kesempatan itu untuk menyelipkan lidahnya masuk. Menjerat lidahku dengan lidahnya, melilit, menggoda, seakan mengajakku bermain kembali bersamanya. Kali ini dalam permainan yang sangat berbeda. Dan aku tergoda, malu-malu bibirku membalas setiap kecupan, lidahku menyambut setiap belaian. Gray menggeram, dan ritme ciuman kami pun berubah semakin cepat. Bibir kami berdansa dengan begitu serasi, diiringi decap basah yang berpadu harmoni. Menciptakan alunan erotis yang membuat sekujur tubuhku merinding.

Tanganku terangkat melingkari lehernya sementara kedua tangannya kini merengkuh pinggangku lalu menarikku maju hingga aku merasakan sesuatu yang keras menyentuh bagian di antara kedua pahaku yang terbuka. Astaga, itu benar-benar berdiri, menumbukku tepat di titik yang berdenyut nyeri. Aku bisa merasakannya dengan jelas, walau terhalang celananya dan celana dalam tipisku. Desah nikmat meluncur tanpa dapat kutahan.

Broken MelodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang