Bab 38

35.3K 5.3K 256
                                    

GRAY

"Aku ingin bertemu." Aku langsung bicara saat panggilan teleponku diterima.

Pesawat pribadiku baru saja mendarat di bandara internasional JFK New York dan hal pertama yang kulakukan adalah melakukan panggilan ini.

"Fucking finally! Aku pikir kamu akan menghindar selamanya." Suara di seberang sana terdengar sinis dan sarat akan emosi.

"Hari ini?" Aku memakai topi dan kaca mata hitamku lalu melangkah keluar dari pesawat dan berjalan melewati lorong garbarata yang menghubungkan pesawat dengan terminal kedatangan.

"I can't. Aku masih di New York, nanti aku kabari kalau aku sudah kembali ke LA."

"Aku ada di New York sekarang." Aku berjalan cepat sambil menunduk saat keluar dari garbarata dan langsung menuju pintu khusus tempat sebuah mobil sudah siap menjemput.

Di sebelahku, Steve, bodyguardku, sibuk mengamati keadaan sekeliling. Dia mengenakan pakaian kasual, kaos dan jeans, hampir mirip dengan yang kukenakan. Hal terakhir yang kuinginkan adalah menarik perhatian. Aku nggak ingin kepergian mendadakku ke New York tercium oleh fans atau lebih parah lagi pers.

Sejenak di seberang sana hening, lalu suaranya kembali terdengar, kali ini lebih tenang.

"Aku menginap di The Plaza, kamar nomor 502, dan aku nggak ada acara sampai malam."

Terik matahari menyambutku begitu aku keluar dari pintu VIP. Sebuah mobil SUV hitam sudah menanti.

"Aku ke sana sekarang." Aku mengakhiri panggilan telepon lalu buru-buru masuk ke dalam mobil sebelum seseorang mengenaliku.

"The Plaza," ucapku pada supir yang langsung mengemudikan mobilnya keluar dari bandara.

Aku mengirim pesan pada Alex agar mengurus pemesanan kamar di The Plaza selama seminggu. Sebenarnya, setelah urusanku selesai, aku ingin langsung pulang ke LA. Kalau bisa hari ini juga. Aku nggak sanggup meninggalkan Melody terlalu lama, belum apa-apa aku sudah merindukannya.

Tapi tentu saja Alex memanfaatkan kesempatan ini untuk memberiku pekerjaan. Dia menerima tawaran iklan yang sebelumnya sudah kutolak karena harus shooting-nya di New York, padahal aku nggak mau meninggalkan LA.

Aku nggak ingin meninggalkan Melody sendirian, tapi setelah peristiwa semalam, saat dia membiarkanku menyentuhnya di tempat yang belum pernah tersentuh, saat tubuhnya luruh dalam dekapanku, saat matanya menatapku pasrah, sayu dan begitu percaya, maka aku tahu aku nggak bisa lagi menunda pembicaraan ini.

Melody mungkin baru mempercayaiku dengan tubuhnya dan bukan hatinya, tapi aku tahu itu merupakan sebuah langkah yang besar untuknya.

Karena itu saat semalam dia kembali ke kamarnya dengan wajah merah karena malu, aku merasa harus melakukan sesuatu. Aku nggak mau Melody berpikir rendah tentang dirinya setelah apa yang kami lakukan. Aku nggak mau dia menyesalinya.

Namun aku tahu, mengungkapkan padanya kalau bagiku semua ini serius, dan bukan hanya pura-pura hanya akan membuatnya semakin lari ketakutan. Aku tahu dia belum siap. Meski begitu, aku tetap ingin mengungkapkannya. Kalau bukan pada Melody, maka setidaknya pada seseorang. Aku ingin ada seseorang yang tahu betapa kuatnya perasaanku padanya. Dan aku langsung tahu siapa seseorang itu.

Pintu kamar nomor 502 langsung terbuka begitu aku membunyikan bel. William James berdiri di ambang pintu, menatapku dengan mata coklatnya yang sendu. Damn, masih nggak percaya rasanya aku nggak bisa mengenali Melody sebagai putri William sejak pertama kali kami bertemu. Mata mereka sangat mirip.

Aku mendongakkan dagu, membalas tatapan William tanpa gentar. Sejenak kami hanya saling menatap hingga William geleng-geleng kepala lalu berdiri menyamping, memberi ruang agar aku bisa masuk.

Broken MelodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang