Part 29

31.7K 6.2K 256
                                    

Hampir tengah malam, siapa nih yang masih begadang? Enjoyyy!!

Aku mondar mandir di dalam kamar, nafsu makanku menghilang, pikiranku dipenuhi bayangan-bayangan tak diinginkan. Tentang Gray yang saat ini pasti sedang...okay stop memikirkan apa pun yang sedang dilakukan Gray sekarang. Dia boleh melakukan apa saja yang dia inginkan, bukan urusanku.

Otakku terus mengingatkanku itu tapi hatiku seakan nggak mau tahu. Setiap detik yang terlewati, semakin gelisah hatiku. Bagai bom waktu yang memantik ketakutanku. Aku nggak kuasa menghentikannya. Dan itu membuatku sangat frustrasi.

Aku menghempaskan tubuh di tempat tidur, memejamkan mataku, mungkin tidur bisa membantuku lupa, tapi bayangan ciuman kami tadi langsung muncul. Setiap pagutan dan decapan. Tanganku terangkat, menyentuh bibirku. Gemetar saat merasakan volumenya yang seakan membengkak, bagai pengingat betapa kuatnya tadi Gray menyesap, betapa rakusnya.

Seluruh tubuhku rasanya panas terbakar. God, jika ciuman saja sudah membuatku seperti ini, bagaimana dengan hal-hal lainnya? He said he's a good kisser. Well, tampaknya aku akhirnya membuktikan sendiri. Dan dia nggak bohong. Aku nggak punya pembanding tentu saja. Mungkin ciuman siapa saja akan menimbulkan efek yang sama? Aku mendesah kesal, karena bahkan bagian otakku yang paling logis meragukan itu.

Kenapa juga aku harus terlibat dengan Grayson King? Laki-laki berpengalaman yang terlalu tampan, terlalu berbakat, terlalu punya segalanya hingga nggak bisa menelan kenyataan kalau ada hal-hal yang nggak bisa dimilikinya. Mungkin memang nggak ada. Bahkan aku sendiri nggak yakin, aku nggak ingin dimilikinya. Kalau yakin, pasti nggak akan sesakit ini rasanya.

Aku membuka mata, menatap langit-langit kamar dengan tatapan hampa. Laki-laki. Aku nggak mengerti tentang mereka. Daddy, Gray, mereka makhluk egois yang hanya peduli pada keinginan mereka. Apa mereka pernah mencoba memahami perasaan orang lain? The hell with them. Aku harus melakukan sesuatu agar pikiranku teralihkan dari mereka.

Aku bangkit dari tempat tidur, keluar kamar lalu melangkah menuju pantry. Aku memasak scrambled egg, memanggang roti lalu makan walau sebenarnya nggak merasa lapar. Setelahnya, aku nggak tahu lagi harus melakukan apa. Rumah besar ini benar-benar sepi, nggak ada satu orang pun yang bisa aku ajak bicara.

Akhirnya aku duduk di patio, menikmati birunya laut dan deburan ombak. Ada gitar Gray tersandar di kursi. Aku menahan diri agar nggak mengambilnya, tapi setelah beberapa saat akhirnya aku menyerah pada godaan. Gray nggak keberatan aku bermain pianonya, aku yakin dia juga nggak akan keberatan aku meminjam gitarnya sebentar.

Jari-jariku rasanya kaku saat mulai memetik senar. Sudah cukup lama aku nggak bermain gitar. Namun, dalam sekejap aku sudah terbiasa. Aku bermain dan terus bermain. Memuaskan dahagaku akan musik. Melarikan diri dalam alunan melodi. Aku memberanikan diri memainkan Sleeping Child, dan bahkan mulai bernyanyi, membiarkan air mata mengalir di pipiku, membiarkan kenangan masa lalu menyelimutiku, Saat Daddy memainkan lagu itu untukku. It's heartbreaking. But in a way, aku juga merasa, satu persatu, ikatanku pada masa lalu mulai terlepaskan.

Hari sudah larut malam saat aku kembali masuk ke dalam rumah. Gray belum juga pulang, jadi aku rasa dia akan menginap. Well, dia sudah menyewa kamar di hotel, rugi kalau nggak memanfaatkannya dengan maksimal. Aku mengabaikan rasa nyeri di hati yang kembali menusuk.

Setelah makan malam seadanya, aku mencoba untuk tidur. Sayangnya pikiranku nggak bisa diajak beristirahat. Ada simpul masa lalu yang belum terurai. Aku butuh penjelasan sebelum bisa benar-benar melepaskan. Dan aku nggak bisa selamanya bersembunyi di sini. Bahkan mungkin besok Gray akan mengusirku pergi. Dia nggak pulang hari ini karena aku ada di sini, padahal ini adalah rumahnya.

Broken MelodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang