Bab 34

36.6K 6.2K 289
                                    

Berbanding terbalik dengan asumsinya, aku sama sekali nggak berniat pergi kemana pun dengan hanya selembar handuk membalut tubuhku. Walau kami hanya akan pergi ke ruangan studio di lantai satu. Aku meminta Melody menunggu sebentar sementara aku kembali ke kamarku untuk mengganti baju dengan kaos hitam dan celana jeans belel abu-abu.

Setelah selesai, aku melangkah menuju studio sementara Melody mengikuti di belakangku. Decak kagumnya terdengar saat aku membuka pintu studio. Studioku memang luar biasa artistik, luas dengan lantai kayu, dinding-dindingnya dipenuhi memorabilia yang berkaitan dengan dunia musik. Satu sisi dinding dipenuhi jendela kaca yang menampilkan pemandangan samudra biru. Walau begitu, ruangan ini sepenuhnya kedap suara.

Alat-alat musik lengkap tersebar di sekeliling ruangan, dengan grand piano hitam bertengger anggun tepat di tengah-tengah. Berbagai macam perangkat komputer untuk kebutuhan rekaman tertata rapi menghadap ruangan berdinding kaca yang digunakan untuk take vocal. Sofa-sofa besar diletakkan di berbagai sudut, membuat ruangan jadi terlihat nyaman.

"Wow, ruangan ini pasti benar-benar surga buatmu," komentar Melody takjub.

Aku mengangguk. "Yeah, aku memang paling sering menghabiskan waktu di sini."

Aku beranjak mengambil gitar lalu duduk di sebuah sofa. Aku menatap Melody sambil menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahku. Dia menghela napas panjang, tapi akhirnya menurut dan duduk di sebelahku.

"Aku ingin mendengarmu menyanyi secara live dulu sebelum kita mulai proses rekaman." Aku mulai memetik gitarku.

Melody melongo. "What? Tapi untuk apa? Aku bukan penyanyi, aku nggak mau rekaman," tolaknya.

Aku menghela napas. "Okay, tapi kamu nggak keberatan menyanyi live sambil aku iringi dengan gitar, kan?"

Aku mengalah karena dari peristiwa kemarin, ada satu hal yang aku pelajari dari Melody. Semakin aku memaksa, semakin dia akan melawan. Aku butuh bersabar sampai dia menyadari sendiri kalau dia memang ditakdirkan untuk jadi penyanyi dan juga jadi milikku. Bersabar dan tentu saja melakukan rayuan-rayuan yang lebih halus.

Melody mengangguk, matanya berbinar. Satu tanda kalau sebenarnya dia sangat suka menyanyi. Aku kembali memetik gitar, tapi berhenti saat teringat sesuatu. Aku meletakkan gitar, berdiri lalu berjalan mengambil kamera dan tripod yang ada di sudut ruangan. Aku meletakkan kamera itu di depan sofa tempat kami duduk. Melody langsung melotot.

"Buat dokumentasi aja," ujarku sebelum dia sempat protes. Syukurlah dia nggak lagi membantah.

Aku kembali duduk setelah menyalakan kamera dan mengatur fokusnya. Aku mengambil gitar lalu memetiknya. Intro akustik Broken Melody mengalun. Aku menaikkan kuncinya karena aransemen lengkap Broken Melody yang kuberikan padanya menyesuaikan dengan suaraku. Tadi aku bisa mendengar kesulitannya di beberapa nada rendah, dan nggak maksimal di nada-nada tinggi. Walau hasilnya tetap indah tapi kali ini akan jauh lebih sempurna.

Setelah intro usai, suara Melody pun masuk. Halus, jernih dan penuh perasaan. Bulu kudukku merinding, nadiku berdenyut lebih cepat. Bukan ilusi. Suara melody ternyata memang seindah itu. Jariku terus menari di antara senar gitar sementara Melody menyanyi.

Suara beningnya yang mengalunkan lirik teramat pedih menyatu dengan melodi yang begitu pilu, bagai jeritan derita yang menusuk kalbu. Rasa sakit dalam lagu ini terdengar sangat jelas dan nyata, pasti meremas jantung siapa pun yang mendengarnya.

Saat lagu mencapai chorus, aku ikut bernyanyi. Mengambil nada yang berbeda, tapi tetap selaras. Suara serakku dan suara jernihnya berpadu, bersahut-sahutan dengan indah, menciptakan harmonisasi yang sempurna. Aku berusaha menahan egoku. Membiarkan suara Melody tetap jadi pemimpin sementara aku hanya bayangannya. Aku nggak pernah melakukannya sebelumnya. Sejak awal karirku bernyanyi, aku selalu adalah vokalis utama. Aku adalah raja dalam musikku. Namun kali ini untuk Melody, aku menyerahkan tahtaku.

Broken MelodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang