[41] Stevan Rindu Valerie

103 10 2
                                    

Jam sudah menunjukkan pukul 2 siang. Siang ini, suasana koridor SMA Avenue terlihat sangat sepi karena para murid sedang melangsungkan kegiatan belajar di dalam kelas seperti hari biasanya.

Raga, Kennan, dan Alceo pun terlihat sangat serius memerhatikan guru matematikanya yang sedang memberikan materi.

Semenjak tidak ada Darel, ketiga lelaki itu jarang membolos di jam pelajaran. Hanya di pelajaran kimia, semenjak Darel tidak ada, Raga dan Kennan membolos. Alceo tetap seperti biasanya. Mengikuti kegiatan belajar dengan baik untuk menghindari masalah menghampirinya.

Kenya dan Revan pun sama. Semenjak tidak ada Valerie, mereka seperti kehilangan moodnya. Kenya semakin malas untuk belajar karena biasanya, saat Kenya tidak mengerti sebuah materi, Valerie lah yang menjelaskannya pada Kenya. Namun kini, cewek itu tidak ada. Membuat Kenya total tidak memahami materi pelajaran satu minggu belakangan.

Berbeda dengan Stevan. Lelaki yang biasanya selalu fokus mengerjakan apapun, kini tak lagi mampu melakukannya. Dirinya memang berada di sekolah. Namun, pikirannya terus menerus tertuju pada Valerie yang masih belum jelas kapan akan kembali.

Di jam pelajaran bahasa Prancis, Stevan hanya mencoret-coret buku bagian belakangnya secara asal. Ia merasa jenuh menghafal kosa kata yang diminta oleh gurunya itu. Sesekali Stevan melirik guru berambut bondol itu yang terlihat asik memainkan ponselnya.

Ia mendengus pelan. Sering kali disetiap pelajaran ini, para murid diminta untuk menghafal sekitar 20 kosa kata dalam waktu satu jam yang kemudian akan diuji di sisa satu jam pelajaran. Menurutnya, wanita itu terlalu malas untuk memberikan materi hingga anak muridnya hanya dipasrahkan pada buku paket saja.

Stevan melempar pandangannya ke luar jendela. Memandang koridor yang terlihat sepi. Hanya ada dua orang cleaning service yang sedang menyapu lantai.

Stevan kembali menghela napasnya, entah untuk yang keberapa kalinya. Ia benar-benar jenuh saat ini. Pikirannya tidak bisa diajak bekerja sama untuk fokus pada pelajaran dan berhenti memikirkan Valerie. Cewek itu benar-benar memenuhi seluruh ruang di dalam otaknya, hingga kemanapun ia memandang, hanya Valerie lah yang terbesit dipikirannya.

Stevan tidak bisa membohongi bahwa dirinya sangat merindukan Valerie. Cowok itu sebenarnya hampir setiap hari mengunjungi Valerie. Namun, setiap ia berkunjung, Darel si lelaki sialan itu terus menyuruhnya untuk segera pergi. Walaupun bisa saja Stevan tidak menurutinya, ia lebih memilih untuk pergi daripada membuat keributan di rumah sakit.

Oh, tuhan. Tidak bisakah Valerie sadar dari komanya dan kembali bersekolah secepatnya agar ia bisa melihat cewek itu lagi? Stevan seolah memberi pupuk pada rasa rindunya pada Valerie hingga perasaan itu semakin hari kian semakin tumbuh besar.

"Stevan."

Stevan kembali pada dunianya begitu mendengar seseorang memanggil namanya. Ia menoleh ke arah guru Prancisnya yang menatapnya dengan mata memicing.

"Maaf, bu. Ada apa?" Jawabnya sopan.

"Kamu melamun?" Tanya Bu Andin, guru Prancis tersebut.

"Nggak, bu."

"Terus, kenapa nggak denger waktu saya panggil?"

Stevan menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia meringis karena ketahuan berbohong. "Maaf, bu. Saya kurang fokus."

Bu Andin berdecak. Ia lalu menyuruh Stevan untuk maju menghadapnya dan menyetorkan hafalan yang sudah ia perintahkan. Stevan menurut. Untung saja ia sudah menghafal cukup banyak kosa kata dalam bahasa Prancis. Karena hampir setiap malam sebelum pelajaran ini, Stevan sudah mempelajari dan menghafalnya.

Huh! Semua karena lo,Va. Gue nggak pernah bisa fokus cuma gara-gara kangen sama lo, batinnya.

•••

Di sebuah rumah sakit yang cukup padat, seorang pria yang mengenakan stelan biru dongker dengan sepasang sepatu pantofel coklat yang mengkilat berjalan menelusuri lorong dengan dua bodyguard yang berjaga di belakangnya, membuat beberapa pengunjung rumah sakit itu menaruh perhatian padanya.

Xaphire memang sudah memiliki dua orang anak. Ia bahkan sudah dua kali menikah. Namun, pesonanya tak mampu dibohongi. Ia tetap memiliki paras yang mampu membius kaum hawa yang melihatnya. Tak hanya karena tampan, tubuh Xaphire pun terbentuk dengan sempurna dibalik stelan rapih yang selalu dikenakannya.

"Ini kamar nona Valerie, tuan." Ujar salah seorang bodyguard yang mengawalnya.

Xaphire memandang sejenak pintu coklat dihadapannya. Ia sejujurnya sedikit ragu untuk datang kemari. Namun, ucapan Christian kemarin membuat hatinya tergerak.

"Saya akan masuk. Kalian tunggu disini." Ujar Xaphire sebelum membuka pintu dan memasuki ruang inap Valerie.

Salah seorang bodyguard menutup pintu begitu Xaphire telah masuk dan melangkah menjauhi pintu.

Xaphire yang kakinya baru mengambil lima langkah itu tiba-tiba saja berhenti. Ia terpaku pada tempatnya saat melihat anak gadisnya tertidur di atas brankar rumah sakit dangan alat bantu pernapasan dan jarum infus yang terpasang di salah satu lengannya.

Ini pertama kali baginya, melihat Valerie dalam kondisi seperti itu. Tidak berdaya. Kaki Xaphire terasa berat seketika.

Xaphire memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong celana dan berjalan hingga sampai ke samping brankar dimana Valerie masih belum sadarkan diri. Ia sudah mendengar mengenai kondisi anaknya dari Rafael, bodyguard yang ia percaya untuk memantau Valerie.

Pria itu sempat terdiam sejenak. Hanya matanya yang terus fokus memandangi wajah Valerie yang pucat. Semenjak hubungannya dengan Valerie merenggang, Xaphire jàrang memerhatikan kedua anaknya. Sekarang, ia baru menyadari bahwa wajah Valerie sangat amat mirip dengan almarhumah istrinya, Quenna, membuat Xaphire tersenyum tipis.

"Ternyata kamu sama cantiknya dengan bundamu." Gumamnya.

Pintu kamar mandi terbuka, menampilkan Darel yang berbalut kaos putih polos serta celana jeans dengan warna senada. Cowok itu baru saja menyelesaikan acara mandinya. Darel yang melihat seorang pria masuk dan berdiri di samping gadisnya lalu mengerutkan kening bingung. Ia tak pernah melihat pria ini sebelumnya.

Xaphire pun tidak menyadari kehadiran Darel. Pria itu masih terus memandangi Valerie dengan segala pemikiran di dalam otaknya. Sampai Darel yang sudah berdiri di sampingnya itu menepuk pelan pundaknya, membuat Xaphire tersadar dan langsung menoleh.

"Anda siapa?" Tanya Darel langsung. Ia memandangi pria itu dari atas sampai bawah. Dari cara berpakaiannya, pria ini sepertinya adalah seorang pengusaha kaya.

Xaphire tak langsung menjawab pertanyaan Darel. Ia sejenak memerhatikan Darel dari ujung kepala sampai ujung kaki, membuat Darel menaikkan satu alisnya.

"Pak? Maaf, anda siapa ya? Kenapa tiba-tiba masuk kamar pacar saya?"

Xaphire menatap Darel tepat di iris mata lelaki yang tingginya sama dengannya.

"Kamu pasti Darel." Ujarnya membuat Darel semakin bingung.

"Darimana anda tau?" Tanya Darel mengangkat kedua alisnya.

Xaphire menghela napasnya sebelum menjawab pertanyaan Darel. "Saya Xaphire, papa dari gadis yang kamu sebut sebagai pacar kamu."

•••••

To be continue...

Cassiopeia [Slow Update]Where stories live. Discover now