[13] Malam mingguan

1.3K 47 2
                                    

Sometimes, all you need to do is cover up your scars, and live your own life like you never get that pain.
-Agatha Valerie-
○○○

Darel meletakkan cangkir berisi cokelat panas buatannya ke atas meja, lalu kembali duduk di samping Valerie yang melamun. Sudah lima belas menit sejak Darel menenangkan Valerie, namun sepertinya gadis itu masih enggan untuk mengeluarkan sepatah katapun. Setiap Darel bertanya, Valerie hanya akan menggeleng, atau tersenyum tipis.

"Lo mau sampe kapan diemin gue, coba?"

Valerie bahkan tak mau repot meresponnya. Ia tetap diam, memandang kosong ke arah jendela apartemennya.

Darel menghela napasnya. Ia perlu tau mengapa Valerie bisa sampai seperti ini. Kembali, untuk pertama kalinya Darel melihat kerapuhan dari sosok yang selama ini tak pernah Darel duga akan mengalaminya. Darel masih berpikir bahwa Valerie hidup dengan begitu baik. Serba indah, serba sempurna. Tanpa tangis, dan hidup dengan manis.

Darel mengambil tangan Valerie dan menggenggamnya. Membuat Valerie menoleh dan menatap matanya. Darel tersenyum. Setidaknya, Valerie berhenti memandang kosong seperti tadi. Jujur, ia takut Valerie akan kerasukan.

"Gue nggak tau apa yang buat lo nangis kayak tadi. Gue juga nggak bisa nebak itu. Lo susah dibaca, Ta." Darel berhenti sejenak. "Ta, gue tau lo sedih, meskipun gue nggak tau gimana persisnya yang lo rasain. Tapi Demi Tuhan, Ta. Jangan kayak gini. Lo bikin gue ngerasa aneh. Gue rela, kok, kalo lo maki-maki gue. Ketusin gue juga nggak apa-apa, tapi jangan diem aja. Kalo lo mau, lo bisa ceritain apa masalah lo. Gue bakalan pasang telinga dua kali duapuluh empat jam." Darel berhenti dan mengerutkan kening. "Eh. Jangan, deh. Kelamaan. Dua jam aja ya? Nanti tidurnya gimana? Kalo nggak cukup, kita lanjutin besok pagi."

Valerie memutar bola matanya, dan menarik tangannya dari genggaman Darel. Dasar Darel. Tidak bisakah lelaki itu tidak menambah kejengkelannya hari ini? Valerie pikir Darel akan mengucapkan sesuatu yang berfaedah. Ternyata malah hal konyol yang terucap dari bibir itu.

Darel menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Eng.. Ta? Gue bukan cenayang. Bukan orang yang ahli buat ngasih lo ketenangan. Bukan juga orang yang mahir buat ngertiin perasaan. Tapi gue mau bilang, lo boleh ngerasa kalo diri lo kuat buat hadapin semua rasa sakit lo. Lo boleh bilang gapapa disaat lo lagi kenapa-kenapa. Lo boleh nangis sendirian disaat lo ngerasa perlu untuk nangis. Tapi inget. Nggak selamanya lo bisa kayak gitu. Suatu hari nanti, lo pasti nyesel karena selalu mendam itu sendiri. Ibarat lo terluka, terus lo biarin itu luka sampe infeksi. Suatu saat nanti, luka itu bakalan hancurin sistem tubuh lo sendiri. You will destroy yourself with your own body."

Valerie menurunkan pandangannya dan berhenti pada tato di tangan Darel. Cewek itu tersenyum tipis, mengambil tangan Darel dan mengusap tato yang terukir di dekat ibu jari cowok itu. "Kenapa lo tato tangan lo?"

Darel menaikkan satu alisnya, memadang Valerie dan tangannya secara bergantian. "Dulu ada bekas luka disitu. Jelek. Jadi gue inisiatif buat tutupin pake tato."

Valerie menghembuskan napas panjang lalu menatap Darel tepat di iris mata cowok itu. "That's what the exactly i do. Gue nggak pernah pura-pura kuat, Rel. Gue nggak pernah mendam perasaan gue sendiri. Buat apa gue cerita kalo pada dasarnya, bukan itu yang sebenarnya gue butuhin? Buat apa gue mengumbar apa yang gue rasain, kalo pada akhirnya mereka cuma tau apa yang gue rasain, bukan ngerti gimana yang gue rasain. Tau sama mengerti itu beda, Darel. Gue ngelakuin sama dengan apa yang lo lakuin ke bekas luka lo ini. Gue ngerasa jelek kalo lukanya keliatan. Makanya gue menutupnya. Cuma cara kita beda. Lo nutupin dengan sesuatu yang lebih indah dan terlihat. Sedangkan gue nutupinnya dengan sesuatu yang nggak terlihat, dan nggak akan pernah bisa dijangkau."

Cassiopeia [Slow Update]Where stories live. Discover now