Bab 3 "Escape to Black Forest"

30 11 5
                                    

Sekeping koin perak sangat berharga bagiku. Bisa digunakan untuk membeli sekarung gandum yang cukup untuk makanku selama sebulan. Yah, walaupun aku harus berburu juga di hutan untuk menambah lauk yang kumakan. Untungnya, beberapa hari lalu aku membeli sekarung gandum. Jadi koin ini bisa kugunakan untuk membeli lauk. Setidaknya, untuk beberapa minggu, aku bisa bersantai tak perlu lagi berburu.

Di selatan Ibukota, di dalam sebuah gubuk kecil, aku sedang beristirahat. Merebahkan tubuh di tempat tidur yang hanya beralaskan kulit rusa. Keadaan gubuk ini begitu sepi, sejak kedua orang tuaku meninggal beberapa tahun lalu. Waktu itu, Ayah kembali dari perburuan di Black Forest dengan tubuh yang tak utuh lagi. Baju berwarna hitam yang dipakainya untuk berburu terlumuri darah merah pekat. Kaki dan tangannya putus, dimakan monster hutan terlarang itu. Beberapa hari setelahnya, Ibu meninggal mengenaskan dalam kesedihannya. Mereka meninggalkan anak satu satunya, yaitu Vano---aku sendiri---berjalan melewati kehidupan yang keras.

Kupegang belati yang menggantung di ikat pinggang. Ini benda yang diwariskan oleh Ayah padaku, beserta ikat pinggang kulit berwarna coklat yang kupakai saat ini. Panah yang sering kupakai juga miliknya. Ayah adalah seorang pemburu, hanya peralatan miliknya saja yang ia wariskan. Aku tahu, dia mewariskan semua peralatannya padaku, untuk membantu bertahan hidup, sekaligus mewarisi pekerjaannya.

Aku bangkit, berjalan ke jendela yang terbuka. Hutan yang ditumbuhi pepohonan tinggi besar menjulang, dengan daun yang masih hijau. Hutan itu merupakan jalan menuju Black Forest, hutan yang banyak monster dan hewan buas di dalamnya. Namun, belum pernah kutemui monster di sana seumur hidup aku berburu. Tapi aku tak mau mengambil resiko dengan mencarinya di hutan. Gegabah sekali.

"Dimana tempat tinggal Vano Elias!?" Sebuah teriakan mengagetkan diriku.

Hah? Siapa yang mencariku?

Aku keluar dari gubuk, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tak lupa, kubawa busur panahku di punggung. Sekelompok Wizard mengerumuni seseorang di dekat gubukku. Seorang nenek tua renta dipukuli oleh mereka. Aku mengenalnya, dia Nenek Sophie tetanggaku!

"Ampuni saya, Tuan. Ampuni saya." Nenek Sophie bersujud pada para Wizard itu. Para Wizard malah makin keras memukuli dia.

"Jawab saja pertanyaanku! Dimana orang yang bernama Vano Elias!?" Seorang Royal Wizard mencekik Nenek Sophie hingga tubuh rentanya terangkat. Kulit keriput Nenek Sophie memucat, wajahnya memerah. Ia melirikku yang sedang melihatnya dari kejauhan.

"Vano...." Nenek Sophie berucap pelan. Royal Wizard yang mencekik Nenek Sophie mengalihkan pandangan, menuju arah yang Nenek Sophie lihat.

"Ohh, jadi dia yang bernama Vano Elias, ya?" Sang Royal Wizard melepaskan cengkeramannya pada Nenek Sophie, menyebabkan Nenek terjatuh dengan suara keras ke tanah.

"Nenek!" teriakku.

"Pergilah, Nak," ucap Nenek Sophie pelan.

Para Royal Wizard mendekatiku sambil mengacungkan tongkat saktinya. Aku mundur perlahan, mereka melangkah maju. Kuambil anak panah dari kantung panah, hendak membidik mereka. Namun, para Royal Wizard itu meluncurkan serangan bola api.

"Menyerahlah sebelum kami melakukan cara yang keras," desis salah seorang Royal Wizard.

"Ibu! Tolong aku!" teriakku. Para Royal Wizard menoleh ke belakang, mencari orang yang kupanggil. Tak kusia siakan kelengahan mereka, aku berlari kencang menuju Black Forest.

"Hei! Jangan lari!" Para Royal Wizard menyadari kelengahannya, dan ikut mengejarku ke Black Forest.

Aku berlari secepat mungkin dari para Wizard yang mengejarku. Mereka menaiki sapu terbang untuk mengejarku. Untungnya, pepohonan di hutan ini tinggi besar dan penuh dahan, memperlambat kecepatan terbang mereka. Dan hutan bukanlah halanganku, ini adalah tempat yang sudah kulalui berkali kali. Tidak seperti para Royal Wizard itu yang hanya diam di Menara Sihir.

Vano The Fugitive WizardOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz