Bab 4 "I Want to Go Home"

33 10 5
                                    

Mataku membuka perlahan, memperlihatkan pemandangan pohon gosong yang hampir rubuh. Sekujur tubuhku masih sakit akibat serangan dari serigala Black Forest.

"Kau sudah bangun rupanya, Nak." Suara berat tapi lembut itu membuatku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Seorang pria tua berjubah merah berdiri tak jauh dari lokasi aku berbaring.

"Tu--Tuan Alanor! The Great Wizard!" ucapku terkejut. Aku membetulkan posisiku menjadi duduk menyender ke pohon yang masih utuh. Rasa sakit seketika menjalar ke seluruh tubuhku. Aku mendesis kesakitan, merasakan perih di beberapa bagian.

Tuan Alanor menghampiriku. Dengan hati hati, beliau membantuku untuk duduk. "Kau seharusnya jangan banyak bergerak dulu," ucap Tuan Alanor.

"Terima kasih, Tuan," ucapku pada Tuan Alanor.

Tuan Alanor duduk di sampingku. Sebelum duduk, dia membersihkan area rerumputan hangus yang akan ia duduki. Tuan Alanor memasukkan tongkat saktinya kedalam jubah, lalu duduk dengan posisi bersila.

"Mengapa kau berada di Black Forest, Nak?" tanya Tuan Alanor.

"Sa--saya dikejar oleh para Royal Wizard, Tuan," jawabku gugup. "La-lu, tiba tiba aku sudah berada disini."

"Kenapa Royal Wizard mengejarmu, Nak?" Aku terdiam sesaat. Apa aku harus menjawab pertanyaan ini?

"Hei, Nak. Kenapa melamun?" Tuan Alanor menepuk bahuku. Membuatku tersadar dari lamunan.

"Eh, tidak. Tidak ada apa apa," jawabku cepat. Kulihat, alis Tuan Alanor bertaut.

"Apa karena kau telah menyedot kekuatan seorang Wizard?" Pertanyaan Tuan Alanor seketika menohokku. Aku yang mendengar pertanyaan itu terkejut dibuatnya. Ia mengetahui apa yang terjadi sebelumnya padaku. Dengan mudahnya ia mengetahui apa yang kualami beberapa waktu lalu. Apa dia bisa membaca pikiran?

"Ya. Aku bisa membaca pikiranmu." Tuan Alanor tersenyum.

"Tuan pasti sudah mengetahui segalanya," gumamku pelan.

"Semuanya terlihat jelas di matamu, Nak," ujar Tuan Alanor, "apalagi melihat auramu yang tak murni. Itu sudah jelas."

"Tolong jangan laporkan saya ke Royal Wizard...," pintaku pada Tuan Alanor. Royal Wizard itu memang kejam. Mereka bahkan tega menyiksa Nenek Sophie yang tua renta. Itu yang mereka lakukan pada orang yang tak bersalah. Apalagi aku, orang yang telah menyebabkan hilangnya kekuatan seorang Wizard Tingkat Empat. Mereka pasti menjatuhkan hukuman yang berat untukku.

"Tentu tidak. Kau tak sepenuhnya salah." Perkataan Tuan Alanor membuatku lega. Setidaknya, ada seorang Wizard berpendapat bahwa menyedot kekuatan seorang Wizard itu bukanlah kesalahan.

Tangan Tuan Alanor memeriksa pahaku yang terlihat jelas akibat celanaku robek gara gara digigit serigala. Lalu beliau menyentuh tanganku yang penuh bekas gigitan dengan darah yang sudah mengering. Ia juga memeriksa bagian kaki yang agak sakit saat kugerakkan. Apa yang akan ia lakukan?

"Sepertinya lukamu sudah mengering," ucap Tuan Alanor, "tinggal sentuhan terakhir." Tuan Alanor mengeluarkan tongkat sihirnya dari balik jubah merah yang ia kenakan. Mulut Tuan Alanor berkomat kamit merapalkan mantra. Ia mengarahkan tongkatnya ke bagian tubuhku yang terluka akibat gigitan serigala Black Forest. Cahaya berwarna hijau bersinar dari ujung tongkat milik Tuan Alanor. Sedikit demi sedikit, bekas luka gigitan di tubuhku menghilang.

"Bagaimana keadaanmu sekarang, Nak?" Tuan Alanor bertanya. Kugerakkan kaki dan tanganku. Nyerinya sudah berkurang dibandingkan tadi.

"Sudah membaik, Tuan," ucapku, "terima kasih."

"Sebaiknya, kauminum ramuan ini." Tuan Alanor memberikan sebotol potion berisi cairan berwarna kehitaman. "Ramuan ini dapat mempercepat penyembuhanmu."

Kuambil potion itu dari tangan Tuan Alanor, lalu menggigit penutup botol yang terbuat dari gabus untuk membuka. Setelah terbuka, kuminum potion pemberian orang yang menolongku itu. Sensasi dingin mengalir di tenggorokan. Namun beberapa detik kemudian, aku muntah muntah mengeluarkan cairan hitam dari mulut. Tuan Alanor hanya memperhatikanku dalam diam.

"Pahit sekali!" keluhku.

"Itu memang rasa yang wajar dari abu Black Forest Tree dan darah dari Black Forest Wolf." Pantas saja rasanya begitu menyebalkan! Namun sekarang rasa nyeri akibat gigitan dan terjangan para serigala itu berkurang drastis. Benar benar potion yang mujarab, walaupun aku tak suka rasanya.

Masih dalam keadaan mual, kucoba untuk bangkit. Mengambil pedang milikku yang tergeletak tak jauh dari tempatku. Kusarungkan pedangku ke pinggang. Tapi, dimana busur panahku? Seingatku, bukannya kupakai untuk menembaki para serigala?

"Ini." Tuan Alanor bangkit, menepuk nepuk jubahnya yang mungkin terkena abu. Ia menyerahkan sebuah busur panah. "Kau pasti mencari ini."

"Terima kasih, Tuan, atas pertolongan Anda," ucapku. Aku mengambilnya dari tangan Tuan Alanor. Kupasang busur milikku di punggung, lalu kuucapkan, "saya permisi," pada Tuan Alanor. Kulangkahkan kakiku, menjauhi Tuan Alanor yang tengah berdiri.

"Sebaiknya kau jangan lakukan itu. Royal Wizard pastilah mengincarmu." The Great Wizard itu menentang apa yang akan kulakukan, walaupun hanya baru beberapa langkah darinya. "Saat ini, mereka pasti sedang merencanakan penangkapanmu."

"Saya hanya ingin melihat keadaan di sana, Tuan," balasku.

"Nenek Sophie? Kau khawatir padanya?" Lagi lagi, Tuan Alanor membaca pikiranku.

"Iya, Tuan. Ia diserang oleh Royal Wizard yang mengejarku."

"Baiklah jika kau bersikeras." Tuan Alanor mendekat padaku. "Biar kuantarkan."

"Terima kasih, Tuan," ucapku pada Tuan Alanor.

***

Berada di ketinggian membuatku bisa melihat hutan ini dari sisi yang berbeda. Biasanya, yang kutemui hanyalah dahan pohon berdaun lebat yang mampu menahan cahaya matahari masuk, juga rerumputan yang lebat tanpa ada yang memotong. Dari atas, aku bisa melihat pepohonan yang membentuk kanopi yang menyatu dengan pohon lain. Terlihat jelas dari atas sini, bekas api yang dikeluarkan oleh Tuan Alanor untuk mebghalau serigala yang menyerangku. Kawasan pepohonan berwarna hitam itu jelas adalah pepohonan yang terbakar. Agak sulit sebenarnya, membedakan warna alami pepohonan Black Forest dengan pohon yang terbakar itu, keduanya berwarna kehitaman.

Tuan Alanor mengajakku menaiki awan. Tentu saja bukanlah awan biasa. Awan ini adalah awan ciptaan Tuan Alanor yang bisa ia kendalikan. Jika awan biasa mengikuti arah angin bertiup, awan buatan ini mengikuti perintah dari Tuan Alanor. Benar benar luar biasa.

Melaju dengan kecepatan sedang, kami sudah berada di kawasan hutan perbatasan Ibukota. Begitu praktisnya menaiki awan ini untuk melintasi kawasan Black Forest yang terkenal akan hewan buas dan monster yang banyak disana. Aku tak perlu repot lagi bertarung dengan hewan buas--serigala misalnya--untuk pulang ke rumah. Tuan Alanor benar benar baik, ia bersedia mengantarkanku pulang untuk mengecek keadaan Nenek Sophie, orang yang selalu memperhatikan keadaanku.

"Dimana rumahmu, Nak?" tanya Tuan Alanor.

"Disana, Tuan," tunjukku ke perumahan dekat perbatasan hutan. Tapi ada yang aneh. Tak biasanya desa ini terlalu sepi untuk ukuran desa yang berada di pinggiran ibukota.

"Keheningan sebelum badai...." Kudengar Tuan Alanor bergumam. Keheningan sebelum badai?

Di tengah keheningan desa tempat tinggalku, suara ledakan terdengar memekakkan telinga. Api dengan cepat melahap gubuk gubuk dan perumahan yang terbuat dari kayu, mempercepat penyebaran api. Asap hitam tebal seketika memenuhi langit cerah di sore hari ini. Jeritan beberapa warga yang berada di desa terdengar begitu memilukan.

Dengan cepat, Tuan Alanor mengarahkan awannya untuk putar balik. Memacunya dengan kecepatan tinggi menuju ke hutan. "Sudah kuduga, mereka pasti merencanakan ini."

_________________________________

Bogor, Jumat, 13 Mei 2022

Ikaann

Vano The Fugitive WizardWhere stories live. Discover now