Bab 25 "Teamwork"

10 6 0
                                    

Tubuh Wizard berjubah biru itu tak ditemukan. Jika ia terjatuh, seharusnya tubuhnya itu ada di area dekat benteng. Namun, setelah dicari pun, tubuhnya itu tak ditemukan. Karena hari sudah sore, Tuan Alanor dan aku memutuskan untuk istirahat di dalam gua.

"Padahal kekuatan elemen pasirku tak sekuat itu. Mengapa ia bisa menghilang?" tanyaku. Elemen pasir paling terakhir dikuasai olehku, dan hanya dasarnya saja yang baru kukuasai.

"Sepertinya ia melakukan teleportasi." Tuan Alanor menjawab. "Atau mungkin saja, ia berkamuflase lalu menyamar."

"Apa itu karena aura hitamnya?" Aura hitamnya bisa digunakan untuk membentuk perisai kuat yang mampu menangkal serangan sihir, walau lemah terhadap serangan fisik. Dengan aura hitamlah, ia mengendalikan semua monster disini.

"Bisa jadi. Sihir hitam tak mudah untuk diprediksi," jawab Tuan Alanor, "perisai itu mudah hancur olehmu karena pedang milikmu itu pedang anti sihir."

"Pedang anti sihir?" Aku terkejut. Kubolak balikkan bilah pedangku, tak ada yang istimewa selain beratnya yang ringan dan bilahnya sedikit berkilau.

"Bukan hanya itu, baju besi itu sangat kuat resistensinya terhadap serangan sihir maupun non sihir." Tuan Alanor menjelaskan. Ia mengambil pedang yang kupegang, membolak balikkan pedangku seakan meneliti pedang itu. "Sepertinya pedang dan armor-mu terbuat dari logam langka, Mythril."

"Mythril?" Aku masih asing dengan logam yang disebutkan oleh Tuan Alanor itu.

"Logam yang hanya bisa ditemukan di Pegunungan Utara, Kerajaan Dwarf," jawab Tuan Alanor.

Di tengah perbincangan kami, Raja Rigel memasuki gua. Baju zirah emasnya penuh dengan goresan dan darah. Keringat bercucuran dari dahinya yang mulai keriput. Tuan Alanor segera berdiri, lalu membungkuk pada Raja Rigel yang baru datang. Aku bangkit, lalu membungkuk pada Yang Mulia Raja, seperti yang dilakukan Tuan Alanor.

"Selamat datang, Yang Mulia Raja. Silahkan duduk di gua kami." Tuan Alanor menyapa Raja.

"Terima kasih, Tuan Alanor," balas Raja. Ia duduk, menyandarkan bahunya ke batu gua. Tuan Alanor dan aku ikut duduk bersama Raja.

"Kepala Royal Wizard itu mengkhianati Kerajaan Xylonia." Raja berucap dengan nada yang tinggi, namun suaranya pelan. Urat urat di dahinya timbul.

Tuan Alanor membalas perkataan Raja. "Pengkhianatan merupakan kejahatan terbesar, Yang Mulia. Dia tak pantas untuk diampuni."

"Padahal, jasanya untuk Kerajaan sangat besar. Banyak penemuan sihir diciptakan olehnya," ucap Raja Rigel.

"Namun sekarang, ia sudah mengancam keselamatan Baginda dan Kerajaan. Bahkan, ia mengendalikan para monster Black Forest untuk membunuh Anda," ucap Tuan Alanor.

"Ia berencana untuk menguasai kekuatan Power Taker." Aku mendongak saat mendengar ucapan Raja. "Memiliki Power Taker berarti dapat memenangkan perang dengan kerajaan lain dengan mudah."

Jadi, mereka ingin memanfaatkanku sebagai senjata kerajaan? Bukan untuk menghukumku saat mengambil kekuatan seorang Wizard waktu itu?

"Harus Anda ketahui, Yang Mulia," ucap Tuan Alanor, "kekuatan sihir tak bisa dipindahalihkan begitu saja pada orang lain."

"Anda tahu bahwa Power Taker itu merupakan kekuatan legenda? Kekuatan yang telah dituliskan oleh para leluhur Xylonia pada masa lalu." Raja menyebut bahwa kekuatanku itu kekuatan legenda?

"Memanfaatkan sihir secara berlebihan akan merugikan sang pengguna sihir itu sendiri." Tuan Alanor berucap.

"Sekarang aku akan bertanya pada muridmu," ucap Raja, "maukah kau menjadi Wizard yang bekerja padaku?"

Aku melirik pada Tuan Alanor. "Jawablah, Nak."

"Aku tak mau menjadi Wizard yang menyiksa satu desa hanya untuk mencapai keinginanku." Aku menjawab tegas. "Kita sekarang memiliki musuh bersama, yaitu Kepala Royal Wizard Eleanor."

"Jadi, kau menolaknya?" Raja bertanya lagi.

"Tentu saja. Kita semua akan mati jika tak segera mengalahkannya," jawabku.

"Kalau begitu, aku akan meminta bantuan pada kalian, dengan balasan yang layak." Raja menawar. "Kita akan bersatu melawan Wizard pengkhianat itu."

"Aku akan menyetujuinya dengan satu syarat," ucap Tuan Alanor, "bebaskan muridmu, Vano, dari semua rencanamu."

Raja terdiam setelah mendengar ucapan Tuan Alanor. Namun, ia membalas persyaratan Tuan Alanor. "Baiklah. Jika itu yang kalian inginkan, aku akan menyanggupinya."

***

Pemandangan Black Forest di malam hari tak ada bedanya dengan hutan mati. Kegelapan menghampar sejauh mata memandang, tak ada cahaya sama sekali kecuali dari bulan dan bintang di langit. Berdiri di atas menara benteng membuatku bisa melihat pemandangan sekitar benteng. Di dalam benteng, ratusan tenda berdiri tegak dibangun oleh para Knight dan Wizard yang diizinkan masuk oleh Tuan Alanor. Beberapa Wizard juga berjaga di beberapa menara benteng. Melihat mereka membuatku teringat kejadian tadi siang. Raja menawarkan kepadaku untuk bergabung dengan pasukannya. Permintaannya itu tentu saja kutolak. Tujuan Raja untuk merekrutku masuk ke pasukannya adalah untuk menjadi senjata saat perang melawan kerajaan lain. Aku akan menjadi penyiksa orang tak berdaya demi kata kemenangan. Aku akan tak ada bedanya dengan Royal Wizard yang membakar desa tempat tinggalku.

"Kau memikirkan kejadian tadi, Nak?" Suara tiba tiba itu membuatku bergetar terkejut.

"Tuan! Anda membuat saya kaget!" teriakku.

"Pemandangan yang baru kaulihat seumur hidup, ya?" tanyanya.

"Tentu saja. Saya tak akan melihat ini lagi nanti," jawabku.

"Kau tak ingin menjadi bawahan Raja. Mengapa?"

"Aku tak ingin menjadi orang yang kejam, Tuan," jawabku.

"Kau masih teringat pada warga desa?" Tuan Alanor bertanya.

"Tentu saja. Mereka membuatku nyaman dengan segala kebaikan mereka setelah kedua orang tuaku meninggal, apalagi Nenek Sophie." Aku menjawab pertanyan Tuan Alanor. Tanpa sadar, setetes air jatuh dari mataku. Wajah Nenek Sophie yang keriput terbayang dalam pikiranku. Aku kembali mengingat saat sekumpulan Royal Wizard menyiksa orang yang selalu peduli padaku itu. Semua kenangan itu terbakar dalam api yang membara, menjadi abu yang tak bisa diubah lagi.

"Bukan Yang Mulia Raja yang memerintahkan itu, tetapi Eleanor, Kepala Royal Wizard." Tuan Alanor berucap.

"Apa seharusnya kuterima saja tawaran Raja?"

"Semuanya kembali lagi padamu, Nak. Aku tak berhak ikut campur." Jawaban Tuan Alanor malah membuatku semakin bimbang.

"Musuh kita tinggal Eleanor, kan, Tuan?"

"Tentu," jawab Tuan Alanor, "para Knight dan Wizard akan membantu kita."

"Aku tak boleh kalah darinya! Harapan warga desa berada di tanganku!" Aku bersumpah atas nama warga desa yang telah dibunuh atas perintah Kepala Royal Wizard kejam itu.

***

Di pagi hari yang cerah, para Knight dan Wizard yang merupakan pasukan Raja Rigel sudah berbaris rapi di halaman benteng. Semuanya telah menggenggam senjata andalnnya masing masing, untuk melawan musuh bersama, Kepala Royal Wizard pengkhianat itu.

Dari atas menara, aku memantau semua pasukan itu. Jumlah sebanyak itu takkan cukup untuk melawan para monster yang dikendalikan oleh Eleanor. Dengan tenagaku yang masih penuh, kubentuk puluhan bola yang terbuat dari empat elemen dasar. Aku membayangkan semua bola itu berubah menjadi prajurit seperti para Knight di bawah sana. Dari semua prajurit itu, kugandakan mereka menjadi ratusan. Kini, kami telah siap untuk menghadapimu, Wizard jahat.

_________________________________

Bogor, Jumat 3 Juni 2022

Ikaann

Vano The Fugitive WizardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang