Bab 6 "A Magic Wand"

23 9 2
                                    

Ini sudah hari ketujuh aku mempelajari elemen dasar. Tinggal elemen air saja yang belum berhasil aku kuasai. Saat ini, aku berada di sebuah air terjun di dalam Black Forest, bersama Tuan Alanor yang membimbingku di kejauhan.

"Tarik napas dalam dalam! Tenangkan dirimu, Vano." Tuan Alanor berucap dari kejauhan.

Saat ini, aku duduk tepat di bawah air terjun. Tetesan air sejuk sedaritadi menghujaniku yang bertelanjang dada. Kutarik napas dalam dalam, mengisi penuh dadaku dengan udara. Beberapa detik kemudian, kuhembuskan napas keluar dari hidung. Kulakukan berulang kali, hingga ketenangan berhasil menggapai hatiku. Buliran buliran air berkumpul disekitarku, memutari diriku yang masih fokus berlatih.

"Selamat Vano! Kau berhasil menguasai elemen air." Tuan Alanor bertepuk tangan. Aku segera bangkit, berjalan menuju Tuan Alanor yang berada di pinggir kolam air terjun. Tuan Alanor memberikan sehelai pakaian untukku, baju cokelat lusuh---pakaianku.

"Sebagai hadiah dari kerja kerasmu, kuberikan sebuah tongkat sihir untukmu." Tuan Alanor mengambil sebilah tongkat yang ia sebut tongkat sihir padaku. Tongkat berwarna cokelat sepanjang 30 cm itu ia pegang, lalu menyerahkannya padaku. Kuambil tongkat sihir hadiah dari Tuan Alanor, meraba raba tongkat sihir itu. Teksturnya cukup halus, banyak motif kayu alami terlukis. "Tongkat sihir mampu menghemat mana yang dikeluarkan untuk mantra, sekaligus mampu memperkuat serangan sihir," ucap Tuan Alanor.

"Tongkat yang bagus," pujiku.

"Tentu saja. Tongkat itu terbuat dari kayu langka, Xylon Wood, dan berisi kristal yang peka terhadap sihir," ucap Tuan Alanor menjelaskan material bahan tongkat ini.

"Terima kasih, Tuan." Aku membungkukkan badan sebagai tanda terima kasih pada Tuan Alanor.

"Hari sudah mulai gelap. Sebaiknya kita pergi ke kemah," ajak Tuan Alanor. Aku menurut saja, memang matahari sebentar lagi akan terbenam.

***

Hari telah berganti, menunjukkan lembaran baru yang harus dijalani. Hari ini, aku sedang berlatih mengucapkan empat mantra dari keempat elemen dasar bersama Tuan Alanor. Sebelumnya, Tuan Alanor memberikan sebuah tongkat sihir padaku. Tongkat yang menurut ucapan Tuan Alanor, terbuat dari material yang langka. Aku dan Tuan Alanor berdiri saling berhadapan, menggenggam erat tongkat masing masing.

"Pyro!" teriakku, namun tak ada yang terjadi.

"Kau harus berkonsentrasi, Nak. Bayangkan sebuah bola api kecil melayang di pikiranku," ucap Tuan Alanor. Tuan Alanor menutup matanya. Dia terdiam sebentar, sebelum mengucapkan mantra. "Pyro!" teriak Tuan Alanor. Sebuah bola api berukuran sedang melayang di hadapanku.

"Whoaa," kagumku.

"Seperti itulah caranya." Tuan Alanor menghilangkan bola api yang ia ciptakan. "Cobalah, Nak."

Pertama tama, kututup mataku, mencoba memusatkan konsentrasi. Dalam pikiranku, kubayangkan sebuah bola api kecil melayang di hadapanku, seperti yang dilakukan Tuan Alanor. Setelah itu, kuucapkan mantranya, "pyro!" Namun sekali lagi, tak ada apapun yang terjadi.

"Konsentrasilah, Nak. Konsentrasi." Tuan Alanor mengingatkan.

Kuulangi lagi hal yang kulakukan tadi. Kututup mataku, berusaha untuk lebih keras berkonsentrasi. Kubayangkan dalam pikiranku sebuah bola api berukuran sedang melayang di hadapanku. Gambaran itu semakin nyata, hingga rasa panas menyengat tanganku. Kuucapkan mantra yang telah diajarkan oleh Tuan Alanor.

"Pyro!" teriakku. Benar saja, sebuah bola api dengan ukuran sedang melayang di hadapanku. Aku berhasil!

"Sekarang, cobalah serang aku dengan bola api itu," ucap Tuan Alanor.

Pelan pelan kuarahkan tongkatku pada Tuan Alanor sembari membayangkan bola api itu meluncur ke arahnya. Kutarik napas dalam dalam, lalu mengembuskannya pelan. Kuacungkan tongkat pada Tuan Alanor, meluncurkan bola api itu padanya. Bola api berukuran sedang yang kuciptakan berhasil meluncur pada Tuan Alanor, dan Tuan Alanor dengan mudah menghindarinya.

"Bagus," puji Tuan Alanor sambil bertepuk tangan. "Sekarang, cobalah lakukan itu lebih cepat."

Kubayangkan sebuah bola api berukuran sedang, memusatkan pikiran bahwa bola api itu nyata. Dalam bayanganku, bola api itu sudah terbentuk, lalu aku mengucap mantra, "Pyro!" Kemudian meluncurkan bola api itu pada Tuan Alanor yang berdiri di hadapanku.

"Lebih cepat lagi!" Tuan Alanor berteriak. Sontak, semangatku berkobar seperti api yang membara.

Sekarang aku mulai terbiasa menggunakan elemen api untuk menyerang. Dengan cepat, kubayangkan bola api meluncur dari tongkatku menuju Tuan Alanor. Kemudian aku mengucapkan mantra lagi. "Pyro!"

"Lebih cepat lagi!" Tuan Alanor kembali berteriak.

Bayangkan, ucapkan mantra, lalu luncurkan. Bayangkan, ucapkan mantra lalu luncurkan. Aku menyerang Tuan Alanor bertubi tubi dengan satu satunya elemen yang kukuasai, yaitu api. Di hadapanku, Tuan Alanor sedang berusaha menghindari serangan bola apiku yang bertubi tubi, nampaknya ia kewalahan. Namun, Tuan Alanor menyuruhku untuk tetap menyerangnya dengan kecepatan penuh. Tetapi, seranganku yang bertubi tubi membuatnya harus menggunakan tongkat.

"Aero!" Tuan Alanor mengucapkan sebuah mantra dengan lantang. Sebuah pusaran angin berputar melidungi dirinya, menghalau serangan bola api yabg kuluncurkan. Pusaran angin itu membesar, menerbangkan dedaunan pohon disekitarnya. Semakin lama, aku tak kuat lagi untuk menyerang. Pusaran angin itu berhasil membuatku terpental hingga menabrak sebuah pohon.

"Aarrgh!" Aku berteriak.

"Sudah cukup untuk hari ini," ucap Tuan Alanor. Ia menghentikan pusaran anginnya. "Kita akan lanjutkan besok dengan pelajaran bertahan sekaligus menyerang."

***

"Kau harus berkonsentrasi!"

"Jaga pusaran anginmu agar tetap stabil!"

"Gunakan elemen api untuk menyerang!"

Begitulah Tuan Alanor dalam melatihku. Aku dipaksa harus bertahan dalam pusaran angin, sekaligus menyerangnya dengan elemen api. Mencoba menyerangnya dengan elemen api itu percuma, apiku tak bisa menembus pusaran angin pelindungku. Jika terus mempertahankan pusaran angin, Tuan Alanor tetap menggempurku dengan kekuatan apinya bertubi tubi.

"Jika kau tak bisa melindungi dirimu dengan pusaran angin, halau seranganku dengan serangan lagi!" Tuan Alanor berucap.

"Baik, Tuan!" balasku.

Tuan Alanor kembali menyerangku bertubi tubi. Beberapa bola api meluncur sekaligus padaku, sedangkan aku terlalu lambat dalam menghalau serangan cepat dari The Great Wizard itu. Beberapa kali aku terkena serangannya, dampaknya membuat kulitku melepuh dan pakaian lusuhku hampir gosong. Sudah seminggu aku melakukan ini bersama Tuan Alanor, dan aku belum mencapai perkembangan yang berarti.

"Sepertinya, kita harus melakukan dengan elemen lain," ucap Tuan Alanor. "Cobalah bertahan menggunakan elemen tanah."

"Baik, Tuan!" Aku membalas.

Tuan Alanor kembali menyerangku bertubi tubi dengan bola api. Namun, sebelum bola api itu menyentuhku, mereka terhalang oleh dinding tanah yang baru kuciptakan. "Geo!" Kuucapkan mantra elemen tanah.

"Sekarang, lakukan serangan!" perintah Tuan Alanor.

Berada di balik dinding yang kuciptakan setidaknya membuatku aman beberapa waktu dari serangan Tuan Alanor. Itu memberiku kesempatan untuk merapal mantra dasar elemen. Kuucap mantra elemen api, lalu kuluncukan sebuah bola api menuju Tuan Alanor. Dengan mudah Tuan Alanor menghindarinya. Tuan Alanor melontarkan bola api besar padaku. Aku mempertebal dinding tanah yang kuciptakan, mecoba bertahan dari serangannya. Namun, tanpa diduga, Tuan Alanor sudah berada disampingku sambil menodongkan tongkatnya padaku. Dia berteleportasi!

"Sepertinya sudah berakhir," bisik Tuan Alanor tepat di telingaku.

___________________________________

Bogor, Minggu 15 Mei 2022

Ikaann

Vano The Fugitive WizardWhere stories live. Discover now