Bab 12 "Black Forest Again"

13 9 0
                                    

Benar! Memang dia orangnya!

Seorang Wizard Tingkat Empat datang memasuki toko senjata. Ciri ciri pria itu sangat mirip dengan Wizard yang kusedot kekuatannya. Pria berjanggut hitam dengan tubuh yang tegap, urat urat di kepalanya yang mulai botak menonjol, menandakan sang Wizard sedang marah.

"Hei pria tua! Mana pesanan amulet-ku!" Ia berteriak keras.

"Mohon tunggu sebentar, Tuan. Pesanan Anda akan saya ambilkan," ucap sang kakek. Ia meletakkan pedang yang akan kubeli, lalu bergegas masuk ke pintu di belakangnya.

"Pedang itu tak berguna untukmu, Nak," cibir si Wizard. Bisa bisanya ia memgatakan pedang itu tak berguna. Padahal, ia lebih tak berguna lagi karena sudah tak memiliki kekuatan. Aku diam saja tak menanggapi ucapan si Wizard sombong itu.

Tak lama kemudian, si kakek telah kembali. Ia membawa sebuah kotak kayu kecil di tangannya. Sang kakek meletakkan kotak yang ia bawa di atas lemari kaca pendek, tempat orang yang memesannya menunggu. "Ini pesanan amulet Anda, Tuan."

Si Wizard sombong itu membuka kotak yang dibawa oleh kakek. Kulihat isi kotak itu, sebuah kalung penuh batu sihir berada di dalamnya. Batu sihir itu berkilau seperti berlian. Sedangkan kalungnya terbuat dari emas murni yang tentu harganya sangat mahal.

"Sesuai perjanjian, kan?" tanya si Wizard pada kakek penjaga toko ini. Aku tak paham apa yang dikatakan olehnya. Namun, si kakek mengangguk.

"Benar, Tuan. Sesuai perjanjian," jawab si kakek.

"Sebentar, aku akan melihat lihat apa yang kau buat disini. Layanilah anak itu dulu," ucap sang Wizard dengan nada sombong. Ia berjalan ke lemari kaca di ujung ruangan.

"Baik, Tuan," jawab kakek pemilik toko.

"Berapa harganya, Kek?" tanyaku pelan. Aku harus memelankan suaraku agar Wizard itu tak mengenaliku.

"Hanya satu koin emas saja, Nak. Totalnya dua keping koin emas, dengan armor yang kaupilih." Sang kakek pemilik toko menjawab. Kurogoh kantung di pinggang, mengambil dua keping koin emas pemberian Tuan Alanor. Kuletakkan koin itu di atas lemari kaca. Aku memasang ikat pinggang hitam yang menempel langsung ke pedang yang kubeli.

"Terima kasih sudah membeli senjata di toko ini," ucap sang kakek ramah.

"Sama sama," bisikku. Segera kubawa armor ini ke luar toko, bergegas agar si Wizard itu tak mencurigaiku.

***

Menapaki jalan yang sama untuk ke penginapan yang kutuju, Orchid House. Tempat itu adalah tempatku dan Tuan Alanor menginap beberapa hari ini. Penginapannya berada tak jauh dari jalan utama. Penginapan yang mempermudah orang sepertiku untuk mencarinya.

Aku berjalan menuju ke daerah utara. Rumah yang terbuat dari batu bata berjejer di kiri kanan jalan. Kutemui lagi para pedagang pasar yang menjajakan dagangannya. Mereka tetap saja bersemangat dalam berdagang.

Hatiku merasa tak tenang. Diriku seakan diawasi dari kejauhan oleh orang tak dikenal. Aku mempercepat langkahku, ingin segera sampai di penginapan. Bulu kudukku naik, sensasi dingin menjalar di punggungku. Kutengok ke belalang, tak ada satupun orang yang mencurigakan. Hanya para pedagang dan penduduk yang sedang berjalan yang kudapati.

Aku mempercepat langkahku, masuk ke salah satu gang kecil dekat sebuah rumah berbata merah. Bukannya menghilang, hawa itu malah semakin kuat. Bahkan sekarang rasanya seperti ada arwah yang mengikuti. Namun itu mustahil. Hari masih siang saat ini.

Kulewati gang demi gang, menghindar dari sumber hawa tak menyenangkan ini. Bahkan sekarang aku berlari, membuat suara keras di jalanan batu yang kulewati. Namun, ada suara serupa yang mengiringi langkah kakiku. Sambil berlari, kutengok ke belakang. Wizard yang kusedot kekuatannya berada tak jauh dariku.

"Kau! Aku tahu kau adalah orang itu!" Sang Wizard berteriak.

Ini gawat! Ia mengetahui identitasku!

"Kau tak bisa kabur lagi dariku, keparat!" Wizard itu melayang cepat di atas tanah, mengejarku yang berlari darinya. Bukankah kekuatannya sudah kuambil waktu itu? Kenapa ia bisa melayang di atas tanah? Apakah karena kalung batu sihir yang ia beli di toko itu? Ini gawat!

Hawa menakutkan yang kurasakan, menguat beberapa kali lipat. Udara di sekitarku mendingin seakan musim salju akan tiba sebentar lagi. Langkahku melambat, kehabisan tenaga akibat berlari. Pada akhirnya, aku menyerah. Tanganku bertumpu pada lutut yang sudah gemetar, napasku tak beraturan.

"Aku takkan memgampunimu!" Wizard itu berteriak sekeras petir yang menggelegar. Wizard sombong itu bergerak semakin cepat ke arahku.

Dalam keadaan terdesak, sebuah ide muncul di pikiranku. Apa kugunakan saja Power Taker-ku untuk menyerap energi kalung yang dikenakan Wizard itu? Sekalian memulihkan Gerbang Mana milikku yang rusak. Itu bukan ide yang buruk. Namun aku harus cepat merapalkan mantranya.

Kutarik napas dalam dalam dan mengeluarkannya, kuulangi berkali kali untuk membuatku tenang dalam keadaan ini. Setelah tenang, kuucapkan mantra kekuatanku dengan cepat. "Power Taker!"

Sesaat, Wizard yang mengejarku itu berhenti setelah memdengar aku mengucapkan mantra yang membuatnya kehilangan kekuatan. Dia meraba kalung di lehernya yang ia beli beberapa waktu lalu. Kulihat dari sini, batu sihir yang menempel di kalung tak berkilau seperti pertama kali aku melihatnya.

Setelah mengucap mantra, dapat kurasakan ada aliran energi yang masuk ke dalam gerbang mana milikku. Rasa sakit akibat merapal mantra Power Taker terobati oleh energi yang kuserap dari batu sihir milik sang Wizard. Wizard itu membelalakkan matanya padaku, ia mundur beberapa langkah.

"Awas kau! Aku akan membunuhmu nanti!" ucapnya. Ia kemudian pergi dengan cara melayang. Tatapannya masih melekat padaku. Aku tahu, energi di kalung itu belum kuserap semuanya. Ia masih bisa menggunakan sihir. Aku segera menuju jalan utama, yang tak jauh dari tempatku saat ini.

***

Berjalan cepat di jalan utama, aku tak kesulitan mencari penginapanku. Orchid House tepat berada di hadapanku. Aku langsung masuk ke penginapan itu, lalu menaiki tangga ke lantai satu. Kucari kamar bernomor 2, kemudian aku memasukinya. Di dalam, Tuan Alanor sedang menerawang di bola orb. Bola itu menunjukkan sebuah pemandangan hutan penuh pohon hitam.

"Kenapa lama sekali, Nak?" tanyanya.

"Sa-saya ... dikejar ... oleh seorang ... Wizard..., " jawabku masih dalam keadaan terengah engah akibat kejadian tadi.

Tuan Alanor beranjak dari kursinya. "Oleh Wizard yang pernah kausedot kekuatannya? Ini gawat." Ia bergumam.

"Dia sekarang ... sudah bisa menyihir ... karena memiliki sebuah ... kalung batu sihir...."

"Lalu, kau menyedot energi batu sihir itu?" Tuan Alanor langsung mengatakan apa yang kupikirkan. "Ini gawat, mereka sudah mengetahui identitasmu."

"Apa yang harus saya lakukan ... Tuan?" tanyaku.

"Kita harus kembali ke Black Forest," jawab Tuan Alanor. "Namun sebelum itu, aku harus merapal mantra penjinak monster terlebih dahulu. Monster di sana masih terlalu ganas."

___________________________________

Bogor, Sabtu 21 Mei 2022

Ikaann

Vano The Fugitive WizardWhere stories live. Discover now