Bab 10 "Healing Potion"

17 9 0
                                    

Tuan Alanor telah membawaku ke Ibukota Kerajaan Xylonia. Dalam keadaan genting, beliau segera menuju penginapan terdekat. Tuan Alanor menutupi wajahnya dengan sebuah topeng agar ia tak dikenali. Setelah berhasil mendapatkan kamar, ia segera menidurkanku di kasur.

"Kau kehabisan tenaga. Sebaiknya kita beristirahat dulu," ucap Tuan Alanor. Aku menganggukkan kepala sebagai jawaban.

"Kita harus menyamar, kemungkinan besar Royal Wizard sedang memburu kita," ucap Tuan Alanor lagi. Aku hanya mengangguk.

"Tuan ... luka saya...," rintihku.

"Aku harus mengobatimu terlebih dahulu." Tuan Alanor mengeluarkan tongkatnya dari balik jubah. Ia mengarahkan tonglatnya padaku yang masih terbaring di kasur. Seberkas sinar hijau keluar dari tongkat The Great Wizard itu, membuat lukaku yang masih terbuka, menutup berhenti mengeluarkan darah. Cahaya itu juga memulihkan tenagaku yang sudah sekarat.

"Kita tinggal menunggu tenagamu pulih. Setelah itu, kita harus segera pergi dari sini," ucap Tuan Alanor.

"Kenapa ... Tuan?" tanyaku.

"Kita harus mewaspadai pergerakan Royal Wizard. Mereka pasti sudah menyiapkan rencana untuk menangkapmu," jawab Tuan Alanor.

"Baik ... Tuan...."

***

Tiga hari kemudian, keadaanku sedikit membaik. Tenagaku belum pulih sepenuhnya. Aku masih belum bisa menggunakan kekuatan Power Taker-ku setelah peristiwa ledakan gelombang energi tiga hari lalu. Setiap harinya, Tuan Alanor rutin memberikanku sebotol healing potion untuk mempercepat pemulihan luka. Disamping itu, dia juga melakukan penyembuhan dengan mantra. Hasilnya, dalam waktu tiga hari, aku bisa mengeluarkan mantra dasar, walaupun masih terbatas.

Pagi hari ini, aku dan Tuan Alanor sarapan di restoran penginapan. Restoran ini berada di lantai dasar, tidak seperti kamar kamar yang berada di lantai satu. Restoran cukup ramai oleh orang orang yang hendak makan. Tempat ini cukup mewah menurutku, peralatan makan yang disediakan terbuat dari besi, bukan terbuat dari kayu seperti peralatan makan orang miskin sepertiku. Kursi dan meja kayu disini pun halus dan nyaman.

Tuan Alanor memanggil seorang pelayan untuk mencatat pesanan kami. Aku memesan daging panggang dan teh, seperti yang Tuan Alanor lakukan. Aku enggan memesan yang lain, karena merasa tak enak pada Tuan Alanor. Berada di restoran dan penginapan ini pun aku sudah senang.

"Kenapa kau tak enak? Toh aku takkan marah," ucap Tuan Alanor membaca pikiranku.

"A-anu, saya hanya tak ingin merepotkan Anda, Tuan," jawabku gugup.

"Apa pakaian yang kuberikan nyaman untukmu?" Aku paham apa yang Tuan Alanor maksud. Sekarang, aku tak memakai pakaian biasa --pakaian berburu-- milikku, melainkan jubah layaknya seorang Wizard. Beberapa hari lalu, Tuan Alanor memutuskan untuk menyamar. Beliau membelikanku sebuah jubah untuk penyamaran. Rencananya, Tuan Alanor menyamar sebagai guruku dan aku akan menyamar sebagai Wizard muridnya agar identitas kami tak diketahui.

"Saya belum terbiasa dengan pakaian ini, Tuan," jawabku jujur.

"Kau harus terbiasa. Karena kau akan terus memakai pakaian itu." Tuan Alanor menimpali.

Tak lama kemudian, pesanan kami sudah datang. Seorang pelayan perempuan membawakan dua porsi daging panggang dan dua cangkir teh. "Permisi, Tuan. Ini pesanan Anda," ucap pelayan itu. Dia meletakkan satu persatu pesanan ke atas meja.

"Berapa total harganya?" tanya Tuan Alanor pada sang pelayan.

"Harganya satu keping koin perak, Tuan." Astaga! Ternyata makanan disini mahal sekali! Aku mampu membeli sekarung gandum dengan koin itu. Tuan Alanor memberikan satu keping koin perak pada si pelayan.

"Terima kasih, Tuan. Selamat menikmati," ucap pelayan itu sebelum ia pergi.

"Tak perlu sungkan, Nak. Silahkan makan," ucap Tuan Alanor. Ia memotong daging itu dengan pisau, lalu menusuknya dengan garpu yang tersedia. Begitukan cara orang terhormat sepertinya makan?

"Baik, Tuan. Terima kasih makanannya," ucapku. Aku mencoba meniru cara makan Tuan Alanor. Memotong sedikit daging dengan pisau, lalu menusuknya dengan garpu. Kemudian memasukkannya ke dalam mulut.

Saat sedang menikmati sarapan, suara lonceng terdengar begitu keras ke segala penjuru. Beberapa detik kemudian, orang orang berlarian panik. Dahi Tuan Alanor mengkerut sesaat, sepertinya ia memikirkan apa yang terjadi. Tuan Alanor segera menghentikan aktivitas makannya, ia membawaku naik ke kamar.

"Kunci pintunya. Jangan keluar sampai aku kembali," titahnya.

"Sebenarnya apa yang sedang terjadi?" tanyaku padanya.

"Ada serangan," jawab Tuan Alanor singkat. Ia langsung turun ke lantai bawah setelahnya. Aku segera mengunci pintu sesuai apa yang ia perintahkan.

Teriakan orang yang meminta tolong saling bersahutan. Kulihat ke jendela, keadaan sudah kacau disana. Tubuh manusia banyak tergeletak di jalanan, tubuh yang penuh luka dan darah. Sekawanan serigala hitam mengoyak tubuh tubuh yang sudah tak bernyawa itu. Tuan Alanor datang, ia mengusir para serigala dengan bola api yang ia luncurkan dari tongkat sihir.

Serigala serigala itu, bukankah berasal dari Black Forest? Mengapa mereka ada disini?

Ini benar benar gawat. Mereka bisa mengejarku hingga Ibukota. Jika Ibukota dengan keamanan tinggi bisa ditembus oleh sekumpulan monster, ini pasti keadaan darurat.

Para serigala makin banyak berdatangan. Mereka mengadang Tuan Alanor dari segala arah. Dengan cepat, Tuan Alanor melakukan gerakan memutar sambil menciptakan api dengan tongkatnya. Sebuah pusaran api terbentuk, menghalau para serigala yang hendak menyerang Tuan Alanor. Semakin lama berputar, pusaran api itu mengganas. Membakar para serigala yang mengepung Tuan Alanor. Ia berhasil menghadapi semua serigala itu.

Apa yang terjadi setelahnya benar benar membuatku terkejut setengah mati. Seekor serigala hitam berhasil masuk ke kamar yang terbuat dari kayu ini. Hewan itu masuk melalui atap dengan cara melubanginya sambil menerjang. Alhasil suara keras dari kayu yang rusak terdengar. Serigala itu menggeram, berjalan pelan ke arahku yang masih terpaku karena kedatangannya. Ia mengeluarkan cakar dari kakinya yang kokoh. Serigala itu menyeringai lebar.

Dari bawah, kudengar Tuan Alanor berteriak panik. "Nak! Apa kau baik baik saja?" Ia pasti khawatir setelah mendengar suara keras itu.

"Mangsa incaran yang empuk," ucapnya. Aku tak terkejut hewan itu bisa bicara. Beberapa hari lalu aku sudah mendengar pemimpin mereka bicara layaknya seorang manusia.

Aku tak boleh menyerah. Aku harus melakukan perlawanan.

Kuacungkan tongkat sihirku pada makhluk buas itu. Serigala yang mengincarku berlari kencang ke arahku, ingin melukaiku dengan cakarnya yang teracung. Sebelum itu terjadi, aku menciptakan dinding tanah sebagai perisaiku. Serigala yang mengincarku pun menabrak dinding tanah. Cakarannya meleset. Serigala itu terbaring di lantai untuk beberapa waktu. Aku terengah engah setelah menciptakan dinding. Tenagaku belum pulih sepenuhnya, mengakibatkanku tidak leluasa dalam menyerang. Jika saja keadaanku lebih baik, akan kuserang serigala yang terbaring lemas di lantai itu.

Tersadar dari rasa sakit akibat menabrak dinding, serigala hitam itu bangkit. Tak pantang menyerah, ia kembali menerjangku dari arah yang berbeda. Cakar serigala itu tinggal beberapa centi lagi dari kulitku, namun meleset karena lemparan sebuah batu besar dari arah lain. Serigala itu terpental ke dinding kayu, menembusnya hingga ia jatuh ke lantai bawah.

"Kau tak apa apa, Nak?" Tuan Alanor menghampiriku.

"Saya baik baik saja, Tuan," jawabku lemas akibat tenaga yang belum pulih.

___________________________________

Bogor, Kamis 19 Mei 2022

Ikaann

Vano The Fugitive WizardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang