Bab 22 "Rise"

8 5 0
                                    

Perasaan hangat membaluti sekujur tubuhku. Kubuka mata untuk melihat keadaan sekitar. Dalam cahaya yang remang, bebatuan gua berjajaran rapi. Di dekatku, tergeletak jubah berwarna merah dan sebuah baju besi, beserta sebuah sarung dan pedangnya. Baru kusadari kemudian, aku tak memakai baju besi dan jubah milikku. Aku sekarang memakai pakaian sehari hariku, kemeja cokelat lusuh dan celana hitam. Perlahan, aku mencoba untuk bangun dari posisi tidurku. Kaki dan tanganku masih terasa nyeri akibat kejadian serangan burung besar itu. Sialnya, aku malah terjatuh dari menara benteng hingga keadaanku begini.

Ah! Mereka masih menyerang! Aku harus melawan mereka!

"Ughh!" Sial! Kaki dan tanganku masih sakit.

"Nak, apa kau sudah bangun?" Seorang kakek tua berjubah merah memasuki gua. Di wajahnya, banyak bekas luka yang belum mengering. Dia adalah guruku, Tuan Alanor.

"Tu-tuan?" ucapku.

"Ini adalah bayanganku," ucap orang yang sangat mirip Tuan Alanor itu. "Kugunakan ia untuk menyembuhkanmu dan memberitahukan ini padamu."

"Memberitahu apa?"

"Di bawah jubahmu, aku sudah menaruh sebotol healing potion. Minumlah agar kau cepat pulih." Bayangan Tuan Alanor itu berucap. Setelah menyampaikan pesannya, bayangan itu memudar hingga tak bersisa lagi.

Kusingkap jubah merah yang tak jauh dariku. Sebuah botol kecil berisi cairan berwarna merah tergeletak begitu saja. Kugigit tutup gabus botol potion itu, untuk membuka botol berisi ramuan penyembuh pemberian Tuan Alanor itu. Kuteguk perlahan cairan merah di botol itu hingga tak tersisa. Sensasi hangat menjalar ke sekujur tubuhku. Tangan dan kaki yang tadinya terasa sakit, mulai pulih seperti semula.

Suara memilukan dari burung yang terbang begitu memekakkan telinga. Raungan serigala menggema ke segala penjuru, menambah kebisingan yang ditimbulkan oleh burung burung itu. Suara keras itu tanda bahwa perang belum berakhir. Wizard berjubah biru itu masih mengendalikan semua monster yang ada di Black Forest untuk menghancurkan kami semua. Dalam waktu singkat, Wizard itu membuat semua monster yang ada berada dalam kendalinya. Itu artinya, ia lebih kuat dari Tuan Alanor. Tuan Alanor membutuhkan waktu semalam untuk menjinakkannya. Bukan Wizard yang bisa diremehkan.

Lalu, apa aku harus duduk menunggu perang berakhir? Bersantai sendiri di dalam gua, sedangkan yang lain berjuang untuk mengalahkan musuh utama? Aku tak bisa diam saja.

Kukenakan baju besi kokoh milikku. Ukurannya cukup pas untukku yang berbadan kecil. Kupasangkan ikat pinggang milikku di baju besi, menggantungkan sebilah pedang dan sarungnya. Kuambil jubah yang tergeletak di tanah, lalu kupasangkan di badan. Jubah merah itu menyelimuti bahu sampai kaki, menutupi baju besi yang kupakai. Sekarang aku siap untuk bertempur.

Berjalan perlahan ke mulut gua, semuanya menjadi berbeda. Ratusan Knight beristirahat di dalam benteng. Tubuh mereka dipenuhi oleh luka, bahkan ada yang kehilangan tangan maupun kaki. Di udara, ratusan burung terbang mengitari benteng, namun mereka tak bisa memasuki benteng. Di menara, Tuan Alanor berdiri menghadapi para monster. Tongkatnya teracung ke udara, menghalau burung burung yang mendekati benteng. Aku yang melihat itu, langsung membuat sebuah bola angin untuk terbang ke menara, membantu Tuan Alanor yang sedang mengadang para monster.

"Kau sudah pulih, Nak?" tanya Tuan Alanor. Ia mengayunkan tongkatnya ke segala arah, menyapu monster burung itu menjauh.

"Ya, Tuan. Berkat potion dari Anda," balasku. Kuluncurkan banyak bola api dari tongkatku pada semua monster yang mendekat. Burung dan serigala yang terkena bola apiku tangsung hangus terbakar.

"Perisai yang kubuat takkan bertahan lama jika para monster terus menyerang," ucap Tuan Alanor, "kita harus segera mengatasi ini."

"Saya akan menciptakan beberapa prajurit elemen untuk membantu kita," ucapku.

"Silahkan, Nak," ucap Tuan Alanor.

Aku langsung menutup mata. Kutarik napasku perlahan dari hidung, lalu mengeluarkannya dari mulut. Otakku membayangkan empat bola yang terbuat dari empat elemen dasar berada di depanku. Keempat bola itu mengganda menjadi enam belas bola. Dalam pikiranku, enam belas bola yang terbuat dari elemen dasar itu berubah menjadi prajurit elemen. Aliran energi keluar sangat banyak dari gerbang mana-ku pada enam belas prajurit itu. Kubuka mataku perlahan, dan enam belas prajurit elemen sudah berbaris rapi di hadapanku.

"Bunuh para monster yang menyerang benteng!" perintahku pada prajurit elemen yang kubuat. Enam belas prajurit yang kubentuk segera menyebar ke penjuru benteng, membunuh setiap monster yang mencoba menghancurkan perisai Tuan Alanor.

"Kau sudah semakin ahli dalam membuat pasukan elemen. Bahkan kau sekarang kau bisa memerintah mereka tanpa tongkat," puji Tuan Alanor.

"Itu semua takkan terjadi tanpa bimbingan dari Anda, Tuan," balasku.

Gempuran para monster semakin kuat. Di bawah benteng, ratusan serigala menerjang lapisan pelindung yang dibuat oleh Tuan Alanor. Serigala yang menerjang seketika berubah menjadi debu saat menyentuh perisai pelindung. Di udara, banyak monster burung yang menabrakkan diri ke perisai pelindung yang menutupi seluruh benteng. Sama seperti serigala, burung burung itu berubah menjadi debu.

"Jangan biarkan para monster menghancurkan dirinya ke perisai! Energi perisai akan cepat habis!" seru Tuan Alanor.

Pasukan elemen ciptaanku berjaga di depan perisai, mencegah para monster untuk menghancurkan perisai dengan cara menabrakkan dirinya sendiri hingga menjadi debu. Dari atas menara, kuhujani para monster dengan bola api ciptaanku. Para monster yang hendak menabrakkan diri ke perisai, telah terbakar terlebih dahulu oleh bola apiku.

"Mengapa mereka tak ada habisnya?" Aku meggerutu.

"Kepala Royal Wizard, Eleanor, terus menerus memanggil para monster ke benteng kita," ucap Tuan Alanor. "Dia mengincar Yang Mulia Raja Rigel."

"Dia ... melakukan kudeta?" tanyaku.

"Ya, untuk mengambil kembali apa yang telah Raja ambil darinya," jawab Tuan Eleanor.

"Kekuatannya luar biasa." Kepala Royal Wizard itu mengendalikan semua monster lalu digunakan untuk menyerang rajanya sendiri. Benar benar berbahaya.

"Dia bisa melakukan hal yang lebih parah dari ini, Nak," ucap Tuan Alanor membaca pikiranku. "Beruntungnya kita, ia sudah terluka parah karena naga api yang kuciptakan untuk menyerangnya."

"Bukankah aku bisa menyedot kekuatannya? Itu akan menjadi mudah jika sekarang aku menyedot semua kekuatannya." Aku segera membuat bola angin, untuk mencari keberadaan Wizard yang tak waras itu.

"Jangan, Nak!" cegah Tuan Alanor. "Para monster menjaganya ketat. Kau tak bisa menghadapi mereka semua."

"Ini kesempatan emas, Tuan!"

"Dan kesempatan emas itu akan hilang jika kau tewas, Nak." Tuan Alanor meraih tanganku, mencegahku untuk kabur dari benteng. Dengan berat hati, aku mengurungkan niatku.

Dalam amarah, kuluncurkan banyak sekali bola api dari tongkatku dalam sekali ayunan. Kuhujani para monster yang mencoba untuk menghancurka benteng buatan guruku ini. Seketika itu, para monster yang menyerang langsung mati terbakar terkena bola api yang kuluncurkan. Para monster yang melihat rekan rekannya terbunuh dalam sekejap, langsung mundur ke pepohonan yang masih cukup kuat untuk berdiri.

__________________________________

Bogor, Selasa 31 Mei 2022

Ikaann

Vano The Fugitive WizardWhere stories live. Discover now