37

34 5 0
                                    

Aku berjalan santai di trotoar jalan tengah kota, melihat gedung-gedung menjulang tinggi di atas ku, saat aku kembali sadar, aku tidak tahu bagaimana bisa, tapi aku menemukan diriku berdiri di depan gedung apartemen lama Kei. Banyak pertanyaan mulai muncul dikepala ku, dan yang paling mencolok adalah, apa yang memanggilku untuk datang kemari.

Sejak Kei tidak pernah mengambil pass card ku, aku masih memiliki akses untuk sampai di lantainya, mungkin aku bisa bertemu Zahra dan berbicara padanya? Aku tahu kebanyakan orang tuli bisa membaca gerakan bibir, semoga saja Zahra salah satunya. Begitu lift membuka, aku merasakan segala hal familiar yang tertanam di dalam kepala ku saat aku membuka pintu, mataku langsung bertatapan dengan Zahra.

Ia mengambil langkah mundur cepat, seolah ia merasa takut dengan ku. Apa yang ku lakukan sampai membuatnya takut? Aku hanya membuka pintu, tidak menodongkan pisau atau apapun. Kenapa ia merasa takut pada ku?

"Aku tidak akan melakukan apapun," ucapku lambat. Kalimat ku cukup bekerja, karena sekarang ia berjalan kembali mendekat ke arah ku dan menatap mata ku

"Halo," ucapnya, nada bicaranya terkesan janggal

"Aku tidak bisa isyarat," ucapku tersenyum

"Aku bisa membaca bibir, dan bicara," ucapnya balas tersenyum

"Oh, aku berharap kau berkata seperti itu," ucapku merasa lega

Zahra senang berkebun, tetapi ia terlalu malu untuk melakukannya saat orang lain melihatnya, karena itu ia berkebun di atap milik Kei. Kei yang sangat baik hati menciptakan taman itu khusus untuknya, membelikannya semua alat yang dibutuhkan, dan sebagai gantinya, Kei memiliki taman kecil pribadi yang luar bisa indah dan terawat. Aku bertanya padanya di mana ia tinggal dan mengapa aku tidak pernah melihatnya saat aku tinggal di sini, kau tahu apa yang ia katakan? 'Kei tidak suka sendirian, dan sejak ia tidak ada teman, aku menemaninya di sini, tapi sejak kau pindah kemari dan tinggal bersamanya, aku tidak lagi tinggal untuk menemaninya'. Ia menjawab semua yang aku tanyakan kecuali 2 pertanyaan: berapa lama dia telah mengenal Kei dan bagaimana ia mengenal Kei. Aku tidak ingin menekannya, jadi aku tidak lagi menanyakan 2 pertanyaan itu dan membiarkannya saja lewat. Dia memang tuli, tapi bukan berarti dia bodoh, ia tahu apa yang harus menjadi hal pembicaraan santai dan yang bukan.

Setelah aku puas berbicara dengan Zahra, yang di akhir kunjungan menenangkan kalau hubungannya dengan Kei hanya sekedar platonik, aku menuruni lantai dengan lift. Biasanya, lift akan terus menuruni lantai-lantai tanpa henti, tapi hari ini, adalah hari yang berbeda, karena lift berhenti dilantai 25 dan membuktikan kalau teori dunia ini sempit benar. Di lantai itu aku bertemu 2 orang yang sangat tidak mood untuk ku temui. Jeremy Livington dan—silahkan coba tebak dulu!—Antonio Carlini. Aku sungguh membenci ini! Bagaimana di saat yang sama aku bisa bertemu dengan pria yang tidak mau memperdulikan ku dan pria yang tidak bisa berhenti memperdulikan ku? Yang satu tidak pernah menyadari ku, yang satu lagi terlalu menyadari ku. Aku berani bertaruh Jeremy Livington masih tidak tahu siapa diriku walaupun kita sudah bertemu sering sekali selama 8 tahun di kampus.

"Oh, wow, Shakira Alice!" ucap Jeremy sangat tidak diduga. Tunggu... dia mengenal ku?

"Jeremy Livington, sungguh baik kau akhirnya tahu namaku," balasku tersenyum malas

"Siapa yang tidak tahu kau? Kau sering ada di TV!" ucapnya sama sekali tidak memberikan celah untuk Antonio berbicara

"Dan kau sang pengacara besar," ucapku memuji dan menyindirnya di saat yang sama

"Terima kasih," ucapnya mengangguk sombong, "dengar, aku tahu kau telah menikah dan sebagainya, tapi apakah ada kemungkinan aku bisa mengajak mu keluar minum?" ucapnya tiba-tiba

"Aku tidak minum," balasku mengangkat bahu santai

"Kopi?" tawarnya

"Selama tidak pagi hari," balasku

Love Me Not.Where stories live. Discover now