Tsalaatsata 'Asyaro١٣

5.5K 329 3
                                    

Semester 5

Agha

Mungkin ini semester 5 buat Arshiya. Namun gue udah lulus dan segera ditugaskan di perbatasan untuk menjaga keamanan negara namun seringkali gue blusukan ke desa buat mengajarkan anak desa disana membaca, menulis dan tata krama.

Aku tengah beristirahat di depan markas barang duduk duduk sebentar dan memulihkan tenaga untuk kembali bertugas.

"Gha! Ada telpon nih buat lo!" Gnapti keluar dari dalam markas dan memanggilku dengan suara beratnya.

"Dari siapa?" Aku menolehkan kepalaku sambil mengusap rambutku yang panjang helainya hanya 3-5 cm.

"Gatau"

Apa itu Arshiya?

Ketika aku mengangkat telepon itu, aku mendengar sedikit suara dari lubang telepon itu. Dan aku kenal suara itu, kalau itu

Bukan Arshiya.

"Hai Agha, gimana kabar lo?. Udah setahun ya. Gue di bagiankantor dan lo terjun di lapangan". Tidak salah lagi, itu Ashira. Orang yang namanya selalu membuat pikiranku di lindas oleh nama Arshiya.

"Gue baik, lo?" Nada ku tidak kegirangan seperti aku berbicara kepada Arshiya.

"Gue baik juga. Oh iya, setelah tugas lo selesai dan dapet hari libur. Temenin gue check up ya" Bahkan Arshiya ga semanja ini sama gue. Dia emang cuek, tapi gue tau dia punya hati nurani dan kemanusiaan berperasaan lembut yang tinggi di hatinya..

"Gha?"

"Ohh.. Iya ntar gue anter. Tenang aja". Jawabku. Ashira punya penyakit kanker namun masih stadium awal. Dia bisa masuk TNI ini karena papanya Jenderal Kolonel sehingga penyakitnya masih dapat di tolerir.

"Okay. Thanks ya. I wish that we could together me. And accompany me in my whole life". Gue tertegun mendengar kata-katanya. Apa maksudnya. Gu--gue gamau ada apa-apa sama dia.

Ashira segera menutup teleponnya. Aku bahkan masih merenungi kata-katanya hingga lupa meletakkan telepon tersebut hingga aku melangkah dan menjatuhkan telepon itu tanpa sengaja.

Waduh. Potong gaji nih.

"Kenapa lo Gha? Ada masalah?" Gnapti menepuk-nepuk bahuku. Sangat halus tidak seperti Ghozy yang kasar.

"Banyak. Tapiii lupakanlah!. Just let it flow" . Aku berkata dengan efek slow motion.

"Gabisa gitu lah. Masalah ya masalah dan harus diselesaikan Gha".

You don't say. Bukan the next Mario Teguh lagi 'kan lo?

"Udah.. Gausah dipikirin. Oh iya kok nametag baju lo bukan Gnapti?". Aku mengalihkan topik. Strategi ku untuk menghindar dari interogasi orang lain.

"Kayaknya gue yang harus cerita masalah gue ke lo. I lose"
"Jadi, sebenarnya gue lahir di keluarga non-muslim. Gue muallaf. Gue doang dan gaada kaitannya sama keluarga gue. Gue mutusin buat jadi muslim karena pacar gue yang muslim dulu, meskipun dia bukan muslim yang hijabnya sempurna tapi dia menjalani perintah Allah dengan khusyuk. Solat dan puasanya gapernah tinggal dan gue ngeliat hidupnya enak banget dengan keluarganya dan akur sama sodara-sodaranya. Ga kayak gue yang brokenhome dan kakak kakak gue ada yang narkoba dan sejenisnya. Dari situ gue mutusin buat jadi muslim meskipun gue sempet di marah-marahin sama papa gue, ya.. Mama gue udah nikah lagi dan gapernah nongol lagi. Gue sempet dikurung digudang dan dicelupin ke bak mandi sampe pingsan pas gue udah jadi muslim. Akhirnya gue ke rumah pacar gue, gue ga tahan sama kemarahan bokap gue, ortu pacar baik banget dan ngebolehin gue nginep di rumahnya. Gue salut sama mereka dan gue berusaha ngelupain keluarga gue dengan ganti nama gue. Giovardi Nason Alexo Prim Teptaflouis Infargo. Yang bisa di singkat, Gnapti.
Pacar gue sempet nasehatin gue buat akur sama bokap tapi gue nolak dan marah sama dia. Dia sabar banget orangnya. Tapi, pacar gue meninggal karena gue, gue gasengaja ngagetin dia pas lagi ngelamun, gue gatau kalo jantung dia lemah. Dan ortunya bahkan ga marah sama gue, dia masih mau nampung gue disana, tapi gue mutusin pergi dan sekolah Akmil karena gue tau ada asramanya. Gue salut banget sama orang islam, disitu gue tau arti kehidupan dan mulai bersabar dan bijak dalam melakukan apapun, sekalipun kita kehilangan orang yang paling berharga. Dan gue bertekad jadi muslim yang alim". Curhatnya yang panjang bahkan sempat membuatnya meneteskan air matanya.

"Turut berduka ya. Kehilangan itu rasanya emang sakit banget Ti. Gua lebih salut lagi karena lo sangat tabah sekalipun lo diperlakukan kasar sama bokap lo".

"Yaudah ya gue mau ngelanjutin ngajar anak-anak di pedesaan ya". Aku pergi meninggalkannya, berat memang, tapi mau gimana lagi. Ini tugas dan kewajiban.

Mengajar anak-anak kecil berkulit hitam sangatlah menyenangkan. Selain dapat berbagi, kita juga dapat merasakan kasih sayang satu sama lain yang belum tentu kita dapatkan di kehidupan sana.

Arshiya

Hari ini aku berangkat dengan Nelo. Sudah setahun akhir ini aku berangkat dan pulang dengannya meskipun dia sudah bekerja. Akhir - akhir ini sikapnya aneh kepadaku. Terlalu menumpahkan perhatian kepadaku. Maksudnya memang baik, tapi aku sedikit risih.

Saat aku beranjak keluar dari mobilnya. Nelo menggenggam pergelangan tanganku.

"Lepas! Please" aku menatap tajam tangannya yang menggengamku. Yang membuatnya segera melepaskannya.

"Gue rasa selama ini gue udah cukup care sama lo. Lo ga peka sama sekitar lo Ars. Sehingga, ini semua memaksa gue untuk ngomong yang jelas tanpa kode kode yang gajelas". Tatapannya berubah serius. Ngeri.

"Ngomong apaan sih lo? Ga peka apaan coba?" Entah kenapa bawaanku selalu ingin jutek dengannya.

"Gue mau lo nerima gue buat nemenin gue selama hidup gue". Mukanya memelas minta dikasihani.

"Lah? Ini namanya bukan nemenin? Gue berangkat sama lo tiap hari lo ngerasa masih kesepian? Gue dianggep apa? Lo harusnya bilang makasih dong, gue udah ngerelain ga berangkat sama Yumna". Nadaku meninggi dan ngotot.

"Tuh kan. Bahkan gue udah ngomong jelas lo masih ga peka. Apa gue perlu ngelakuin sesuatu sama lo?! Gue ini mau lo jadi pacar gue!"

Nelo nembak gue? Nelo nembak gue?. Nelo gila!. Nelo gatau diri!. Nelo bego!.

Tapi Nelo ga bikin gue baper. Aneh.

"Maaf Nel, semua yang lo lakuin udah cukup buat gue. Gue sebenernya gamau nyakiti perasaan lo. Disisi lain gue juga gamau nyakitin perasaan gue dan janji gue buat ga pacaran kalau gue mampu dan mulai hidup normal".

"Apa pacaran ga normal menurut lo?" Protes Nelo.

"Normal bagi gue relatif Nel. Bukan itu doang Nel alibi gue buat ga pacaran. Ada hal yang bikin gue mantep gamau pacaran yang gabisa gue bilang ke lo". Menolak seseorang yang mencintai kita tanpa disangka-sangka sangatlah berat dan penuh rasa tidak enak. Apalagi cowok baik kayak Nelo.

"Maafin gue Nel. Saat lo ini, ga tepat Nel". Untuk kedua kalinya aku meminta maaf pada Nelo.

"Oke gue paham maksud lo! Maaf gue bikin lo ga nyaman. Tapi lo tetep mau pulang berangkat bareng sama gue 'kan?"

"Tentu. Selama kehadiran gue ga nyakitin lo, gue bakal mau pul-ber sama lo kok!" Aku tersenyum memberi semangat padanya yang mungkin sedang terpuruk atas perkataan ku barusan.

Gue keluar mobil dan terus memikirkan penolakan gue tadi. Apa gue salah?. Apa gue egois?. Apa semua ini masih karena Agha?. Apa gue menolaknya udah demi ketaatan gue pada Allah?. Apa yang membuat gue linglung begini?. Apa maksud semua ini?. Apa yang membuat gue mempertanyakan semua ini pada diri gue?. Lalu, apa yang membuat gue selalu berkata 'apa' pada setiap butir pertanyaan gue?.

Semuanya seolah singkat buat gue. Menolak pernyataan cinta dari orang lain yang jelas jelas sudah menampakkan keseriusan dan kepeduliannya pada gue seolah sangat mudah buat gue untuk menjatuhkan harapannya. Tapi, kenapa hanya untuk melupakan orang yang jelas jelas tidak jelas keberadaannya dan orang yang masih dicintai orang lain itu sangatlah susah dan bahkan tidak akan bisa dilupakan. Apalagi memori tentangnya malah menyakitkan saja.

Tawakal.

Kata yang dapat menjadi tameng diri gue saat ini.

[A/N]

Maaf banget ya baru bisa update, akhir2 ini sibuk banget sama lomba, perjusa, ulangan dan remedialnya wkwk.
Maaf juga kalo isi part-nya tijel.

Makasih juga yang udah mau baca sejauh ini :')) *terharu*

Because AllahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang