Tsalaatsata wa 'Isyruuna ٢٣

5.4K 256 14
                                    

Aku tengah berjalan diantara reruntuhan bangunan, seperti biasa, aku sudah selesai memeriksa orang di posko kesehatan dan hari sudah senja, aku akan pulang menyusul mereka berempat yang sudah pulang duluan. Di tempat ini sebenarnya cukup sepi, bahkan aku rasa orang Indonesia hanya kami berlima.

Saat pertengahan perjalanan, aku melihat masjid cukup ramai anak kecil, sepertinya sedang ada pengajian. Aku kan sudah pernah bilang, kalau aku suka dengan perkumpulan-perkumpulan Islan seperti ini.
Dengan melalui jalan setapak yang dibuat dari susunan bongkahan batu sedang, aku bisa sampai ke masjid itu.

"Assalamualaikum" sapaku, para santri disana menengok kearahku dan menjawab salam.

Anehnya, aku tidak melihat guru pembimbing disini, apa mungkin sedang beser ya?.

"Hai semua, sedang mengaji ya? Boleh kakak ikutan?" Tuturku dengan sangat manis.

"Boleh kak" jawab mereka yang sebenarnya masih malu dan ragu.

Akupun duduk melingkar bersama mereka pula, disampingku ternyata Maryam, aku senang.
Suasana sempat hening, para anak kecil berumur antara 5-10 tahun melihatku intens dan menatapku terus-terusan. Mungkin mereka bingung.

Aku berusaha memecah keheningan "Dimana guru kalian?" Aku menatap mereka satu-persatu.

"Sudah di surga bu gara-gara ada benda yang terbang terus meledak disini bu" jawab salah satu anak di depanku.

Masha Allah, masa ada rudal nyasar? Katanya ini zona aman.

Sempat sedikit terkejut, namun aku segera bertanya-tanya lagi "Innalillahi wainnaillaihi raji'un, lalu kalian mengaji sama siapa?"

"Sendiri bu" jawab Maryam

"Kata bu guru, kita harus tetap solat dan mengaji serta do'a sama Allah walau kita sedang di serang atau sedang ada baku tembak bahkan meski bu guru sudah tidak ada untuk kita" tutur anak kecil yang berumur sekitar 10 tahun.

Aku merasa tersentuh, aku ingat kalau aku jarang sekali baca Al-Qur'an.

"Kalian anak hebat. Mau mengaji bersama? Bu guru punya permen loo" aku membangkitkan wajah murung mereka dengan memberinya permen.

"Mau!!!" Jawab mereka sangat girang. Aku senang melihat mereka melahap makanan itu, pasti mereka sudah lama tidak memakannya.

"Kak, ada lagi gak?" Pinta santri lain.

"Ada, tapi kita ngaji dulu ya" aku mengelus rambut hitam bocah lelaki tersebut yang masih sangat halus.

"Oke kak"

Kami pun mengaji bersama dan aku sempat mengajarkan mereka aqidah yang aku ketahui, kami semua tertawa girang hingga lupa kalau hari sudah gelap.

"Sampai ketemu lagi kak" satu persatu anak melambaikan tangannya serta mencium punggung tanganku, mereka melenggang kembali ke tempat tinggal mereka masing-masing.
Sampai akhirnya tinggal aku dan Maryam seorang. Kami duduk di teras masjid.

"Kamu kenapa ga pulang?" Aku mengelus hijabnya yang sangat syar'i karena menutup hingga pinggangnya. Aku jadi malu, hijabku saja hanya sampai menutup dada.

"Gapapa kak" pandangan Maryam kosong, tampaknya ia sangat sedih.

"Kamu tinggal dimana? Mau kakak antar?" Aku duduk menghadapnya.

"Kita semua yang udah gapunya orangtua tinggal di tempat yang sama, di rumah di ujung sana" tunjuknya namun seperti ngawur.

"Gimana rasanya tinggal disana?"

"Enak banyak temen, tapi gaada mama sama papa yang cium kening aku dan bacain ayat suci kalau aku mau tidur, gaada yang bikinin aku susu, gaada yang jagain aku kalau ada nyamuk dan gaada yang meluk aku kalau aku kedinginan" Maryam mengerucutkan bibirnya, aku tau pasti ia sangat sedih, saat orangtuaku pernah sakit saja, aku sudah sangat sedih bukan main, apalagi jika mereka telah tiada.

Because AllahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang